Tuesday 24 March 2009

Mengintip Interaksi Sosial Alternatif Dalam Branded Product


Satu sore yang sumpek di Pejompongan..
Berada di jalan-jalan Jakarta waktu sore bukanlah hal yang menyenangkan. Ritual sore hari di Jakarta belum berubah, yah macet menjadi realitas pahit yang mesti ditelan bulat-bulat warganya tanpa ampun. Kejadian saling serobot, menang sendiri, dan menjadi arogan seakan menjadi bumbu penyedap kekacauan jalanan Jakarta. Toh, warga Jakarta masih tetap bertahan artinya mereka menerima hal itu, jika nggak mau dibilang masih betah tinggal disini.

Satu waktu saya punya keperluan meeting di daerah Sudirman dan baru selesai menjelang pukul 5 sore. Jam 5 sore keatas memang jadwal prime time acara macet-macetan di daerah bisnis; seperti Sudirman dan sekitarnya. Kebetulan di hari yang sama motor saya sedang masuk kamar perawatan di bengkel langganan dan baru selesai hari berikutnya; jadilah saya dengan sukses ngeteng naik kendaraan umum. Maksud hati menghindari macet, saya ambil insiatif ambil jalan alternatif akses Pejompongan. Tapi hasilnya justru terjebak di dalam kemacetan yang bikin panas kepala. Blue Bird yang saya tumpangi parkir mendadak di depan hotel Shangrila, karena jalanan stuck sudah hampir 20 menit. Habis kesabaran dengan argo taksi yang terus berkedip dan makin bertambah, saya nekat turun; mendingan juga jalan pikir saya dalam hati. " Pak, sudah saya sampai disini aja deh.. Makasih pak " saya bergegas turun setelah menerima uang kembalian dari pak taksi yang nggak kalah mangkelnya.

Ternyata keputusan nekat saya bukanlah keputusan yang tepat. Karena untuk berjalan di trotoar jalan pun butuh perjuangan besar, karena saya mesti berbagi lahan dengan motor-motor yang ternyata jauh lebih nekat untuk sekedar menyalip sesama pengendara motor didepannya. Dua kali sikut saya terserempet motor, gawatnya mereka cuma ngeloyor pergi; menoleh korbannya pun nggak. Waduh kalo model begini sih saya nyerah deh. Sampai di depan Pemakaman Umum Karet saya melihat bemo yang putar balik dan tanpa pikir panjang saya setop dengan satu lambaian tangan, jadilah saya penumpang ke-4 didalam bemo sumpek dan sempit itu. Sebelum saya sudah ada 3 penumpang lain, 2 perempuan dan 1 laki-laki. Tipikal orang Jakarta yang individualitasnya setinggi langit, senyuman saya tidak berbalas; yasudahlah kenal pun nggak toh. Belum lepas 20 meter dari posisi saya naik ternyata ada 2 penumpang baru yang ikutan naik, saya pikir saya-lah penumpang terakhir; ternyata nggak!.

Setelah jumlah penumpang mencapai 6 orang, bemo rasanya jadi 'neraka'. Panasnya udara makin ketara, aroma badan setelah seharian bekerja ditambah parfum berbagai merk pun campur aduk jadi satu baik cowok maupun cewek; suasana jadi lembab dan nggak karuan. Dari penampilan penumpang lain saya coba-coba identifikasi, mereka sama seperti saya; belum genap mencapai 30 tahun dan baru pulang dari tempat bekerjanya masing-masing. Tapi, satu hal yang bikin saya bingung adalah kondisi dengkul antar penumpang yang saling menempel ternyata belum cukup untuk sekedar membuka bahan obrolan (berinteraksi). Entah karena pikiran bahwa berinteraksi dengan orang asing hanya membuang-buang energi, atau karena tingkat kewaspadaan yang terlampau berlebih hingga individualitas kaum urban sangat kuat.

Saya adalah TOD'S dan ZARA saya..
Entah dengan mereka, tapi pikiran saya berkecamuk sepanjang perjalanan panas dalam bemo ini. Satu penumpang perempuan yang duduk paling luar mengeluarkan Blackberry-nya dengan silicon warna oranye dari dalam tas Bottega Venetta. Asik perempuan itu mengobrol dengan seseorang diujung telepon sana, kadang tersenyum, atau kadang hingga tertawa keras. Penumpang cowok selain saya, juga sibuk membalas sms dengan handphone Nokia CDMA keluaran lama. Sekilas saya menilai, strata sosial kedua orang itu berbeda; jelas penilaian saya didasarkan pada merk dan jenis ponsel yang mereka gunakan.

Lain cerita dengan cewek disebelah saya yang mulai mantuk-mantuk mungkin karena matanya sudah ngantuk. Saya perhatikan tas jinjing-nya bermerk TOD'S, yang kebetulan 2 hari lalu saya lihat sama persis model dan warnanya di majalah Harper's Bazaar; komentar saya WOW! Branded Booook.. Atau perempuan yang dengkulnya bertempelan dengan saya, coba perhatikan jam tangan nya Cartier yang setahu saya itu juga bukan merk sembarangan. Coba bandingkan dengan perempuan disebelahnya, dengan tas jinjing ber-merk Sophie Martin dan jam tangan Alba; tentu pikiran saya mengatakan, si TOD's dan Cartier pasti strata sosialnya lebih tinggi.

Jalanan belum juga bersahabat, suara klakson saling bersambut tanpa harmonisasi sama sekali; seakan jadi penyambung lidah para pengendaranya yang mulai hilang kesabaran. Si bemo sendiri jalan berlelet-lelet macam siput, padahal jam ditangan sudah menunjukkan pukul 7:15.

Kembali pandangan saya tujukan ke para penumpang bemo ini yang sebelumnya saya 'telanjangi' status sosialnya dari barang-barang yang mereka pakai. Saya putar ulang pikiran saya, kok bisa-bisanya saya menyimpulkan status sosial orang-orang ini? karena sejak saya naik kedalam bemo hingga sekarang, tak ada sepatah kata pun yang terucap antara saya dengan mereka sebagai bentuk komunikasi sebagai media transfer informasi tentang hal ini. Apakah cukup fair dan berdasar perkiraan saya? Apakah barang bermerk yang mereka pakai betul asli, atau malah barang Melawai dan Mangga Dua? Apakah penampilan mereka merupakan wujud asli yang merepresentasikan status sosial mereka sebenarnya atau justru hanya menjadi topeng dari para pemakainya? Pertanyaan yang cukup mendasar dan cukup mengusik perhatian saya.

Interaksi simbolis, interaksi alternatif..
Coba lebih dalam saya buka lembaran-lembaran memori pikiran sebagai mahasiswa sosiologi beberapa tahun yang lalu. Metode komunikasi dan interaksi seperti diatas sebetulnya sudah dibahas oleh para sosiolog terdahulu, dan cara 'pembacaan simbolik' seperti itu dinamakan Interaksionisme Simbolik oleh G.H Mead sebagai penemunya. Pemikirannya terfokus pada metode interaksi dalam suatu kondisi spesifik melalui daya pembacaan simbol-simbol yang nampak dan di-selaraskan pada social action seseorang. Dalam kasus ini, tercermin pada para penumpang bemo dan harmonisasi penampilan yang dipilihnya. Artinya, terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa model penampilan yang dipilih didasari orientasi 'keluar' untuk dijadikan media komunikasi yang tersembunyi (implisit). Artinya, Anda atau saya sendiri dapat menyampaikan pesan-pesan yang unik dalam penampilan, salah satunya untuk menegaskan status sosial Anda, atau sebaliknya justru menyembunyikan status sosial Anda yang sebenarnya.

Secara sederhana, Anda ingin dinilai sebagai TOD'S atau ZARA yang Anda kenakan. Dan hal ini dilakukan secara sadar dan terencana sebelum Anda meninggalkan rumah Anda untuk beraktivitas, Anda merangkainya menjadi satu untuk diperhatikan oleh orang lain! Apakah aksi yang terkesan pamer ini lumrah? William Isaac Thomas menjawabnya, sosiolog pertengahan 1930-an ini menemukan beberapa elemen kejiwaan manusia yang wajib dipenuhi, yaitu salah satunya 'mandapatkan penghargaan' secara sosial. Sehingga rumusan Thomas menjelaskan bahwa hal itu adalah elemen kejiwaan manusia dan lumrah.

Atau mungkin rumusan Irving Goffman dalam konsep Dramaturgi-nya yang terkenal itu bisa memperjelas hal ini. Goffman menganalogikan bahwa kehidupan seseorang dalam hidup ini bagaikan kehidupan panggung yang penuh dengan rekayasa dan pertimbangan secara sosial. Mungkin hal ini juga menjelaskan mengapa penampilan kita berbeda saat menghadiri resepsi pernikahan di hotel berbintang dengan acara arisan keluarga di salah satu mal atau cafe. Bedanya seorang wanita karier saat mempresentasikan gagasan-nya di forum meeting formal dengan caranya menjelaskan alasan telat pulang kantor kepada putrinya di rumah. Rekayasa dan pertimbangan memang mutlak diperlukan toh.

Ditengah individualisme masyarakat perkotaan Jakarta seperti sekarang, saya pikir menjadi konsekuensi logis jika interaksi dialogis melalui bahasa dan obrolan memang menemui banyak sekali keterbatasan. Dengan demikian, diperlukan satu metode interaksi alternatif yang applicable. Interaksi sosial adalah hukum wajib dari bangunan lingkungan sosial, dengan kebutuhan penghargaan akan eksistensi seseorang ditengah lingkungan masyarakatnya yang juga mesti terpenuhi. Sehingga interaksi melalui perantaraan simbolis seperti dalam hal penyampaian status sosial yang implisit melalui merk barang-barang branded menjadi begitu logis adanya; tentu sejauh para pesertanya menerima metode ini.

Lamat-lamat volume kendaraan makin berkurang, saya pun turun dari bemo tadi yang berbelok menuju Bendungan Hilir, kemudian saya melanjutkan perjalanan dengan taksi. Sambil duduk di kursi belakang yang lapang dan suhu ruangan yang sejuk, saya belum selesai memikirkan realitas yang baru saya alami di bemo tadi. Adakah kita mewujudkan kepribadian yang sebenarnya dalam penampilan, atau justru kita bersembunyi dibalik penampilan yang kita kenakan sebagai 'topeng kepribadian' kita sendiri?

Intinya saya ingin segera sampai dirumah, dan mandi air hangat supaya besok bisa beraktivitas kembali dengan kondisi terbaik...

2 comments:

Muhammad Rizal said...

Gw rasa klo kita ngeliat orang-orang di Jakarta makin hari makin hidup dalam keteraturan yang salah, dan terpaksa menerima pembodohan dari orang-orang yang ingin kita untuk terus bodoh..
Setuju gak ris??

atmosfer kata-kata said...

uumm.. kalo menurut gue nih mas,hehe
standar keteraturan dlm hidup itu memang berbeda-beda aja.

boleh aja kita bilang salah (coba ingat false consciousness-nya Marx..) tapi tentu cara hidup suatu komunitas sendiri kan bentuk dari kolektivitas interpretasi subjektif juga. artinya disitu ada jg aspek mempertimbangkan, estimatif, dan seleksi yang ikut ambil bagian. serta di-amini oleh komunitas tadi.

kalo disebut terpaksa (ter-hegemoni) sepertinya masih debateable deh. toh, mobilitas orang jakarta baik vertikal maupun horisontal masih sangat deras juga; orang bebas sesuka hati milih ini atau itu, mau jadi ini dan jadi itu,, atau bisa jadi ini, bisa juga jadi itu,bukan?

jadi, sederhananya kita hidup dalam keteraturan yang berbeda aja kali yaah. ndak ada standar baku mana metode hidup yg benar dan salah kok..hehe

*kita bisa buka2 lg pemikiran Foucoult atau bahkan Nietzsche soal dekonstruksi cara hidup yg ideal ;)

salam!