Monday 27 October 2008

Menteri paling Miskin di Indonesia adalah.. (shipment)

Baru semalam saya melihat iklan TV persembahan Departemen Pertanian di Trans 7. Tentu sang pimpinan departemen ikutan muncul juga didalamnya. Layaknya iklan yang berasal dari kantor kementrian, isinya pasti seputar prestasi yang berhasil diraih selama menjabat. Misalnya iklan Mennegpora, meng-highlight prestasi olahraga yang berhasil diraih selama dirinya menjabat di pemerintahan SBY-JK, seperti tradisi emas olimpiade, bla bla bla. Tentu Adyaksa Dault ambil peran dominan selama durasi iklan berjalan. Nggak beda-beda jauh iklan dari Menteri Kesehatan, Fadillah Supari. Prestasinya merubah ''penjajahan negara maju'' dalam hal kesehatan di dunia masih jadi headline utama-nya.

Tapi selain prestasi tentu ada juga catatan-catatan penting yang harus diwarnai merah. Misalnya, prestasi bulutangkis yang belum mampu membawa pulang piala Thomas dan Uber ke bumi pertiwi, piala Sudirman, dan beberapa gelar lainnya. Atau, masih ada berapa banyak orang yang kurang beruntung dan masih sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Obat masih mahal, darah donor yang masih susah, buruknya standar kesehatan karena peredaran bahan-bahan yang buruk bagi tubuh tersebar luas di masyarakat.

Sebuah tulisan yang saya terima dan baca sepertinya bagus untuk kita perhatikan dan teladani. Adalah Menteri Pertanian, Anton Apriyanto yang memiliki kehidupan yang berbeda dibandingkan kolega-koleganya di kabinet Indonesia Bersatu. Dengan background "orang kampus" makin melegitimasi bahwa memang latar belakang sang Menteri lebih 'aman' dibandingkan saudagar, jenderal, politisi, atau pengusaha sekalipun.

Untuk dapat kita baca, Mas Ridlwan Habib menyusunkannya dengan sangat baik sekali. Tulisan ini jadi renungan buat saya pribadi, moga-moga juga buat teman-teman yang sempat membacanya sekarang. Selamat membaca.

Ke Daerah, dengan Tiket Ekonomi, Nginap di Rumah Petani. Di Kabinet Indonesia Bersatu, Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriantono dijuluki sebagai menteri termiskin. Sebab, berdasar laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), total kekayaannya "hanya" Rp 388.936 juta. Bagaimana kesehariannya?

Bikin janji untuk bertemu Anton Apriantono tidak terlalu sulit. Di antara menteri yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu, pria yang lama menjadi dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB) itu termasuk yang paling mudah dihubungi melalui ponselnya.

Kemarin sore, Jawa Pos diberi kesempatan bertamu di rumah Anton di kompleks perumahan dinas para menteri, tepatnya di Jl Widya Chandra V. Begitu masuk ke halaman rumahnya, seorang petugas keamanan dengan tulisan nama Sukim di dadanya ramah mempersilakan masuk. "Cari Bapak ya, silakan langsung saja ke ruang tamu," ujarnya.

Halaman depan rumah dinas Anton tampak bersih. Aneka tanaman hias disusun rapi dalam pot yang berisi tanah liat. Tidak ada tanaman perindang besar, kecuali sebuah palem kipas yang ditanam di pojok pagar. Berbeda dari rumah menteri lainnya, di garasi rumah Anton, hanya ada dua mobil yang diparkir. Yakni, Kijang abu-abu keluaran 1994 dan mobil dinas menteri Toyota Camry bernomor RI 24. Pemandangan tersebut berbeda dari rumah dinas menteri-menteri lain yang, selain berisi mobil dinas, terdapat beberapa mobil lain keluaran terbaru.

"Assalamu 'alaikum, apa kabar?" kata Anton ramah yang muncul dari ruang tengah. Pria kelahiran 5 Oktober 1959 tersebut muncul dengan kemeja lengan panjang bercorak garis-garis. "Hari ini banyak tamu. Maklum, masih suasana Idul Fitri," ujarnya.

Dia menceritakan, selama Lebaran, keluarganya lebih banyak berada di Jakarta. Hanya hari pertama keluarganya berkunjung ke Serang dan Bogor, Jawa Barat. Pada awal pembicaraan, dia lebih banyak menceritakan tentang kesibukannya sebagai menteri, sehingga waktu untuk keluarga berkurang. "Karena itu, setiap di rumah, saya manfaatkan betul untuk keluarga. Rasanya sih mereka tidak pernah mengeluh," ungkapnya.

Sejak menjadi menteri, Anton memboyong keluarganya tinggal di rumah dinas. Rumahnya di Bogor dibiarkan kosong. Di tengah mengobrol dengan Jawa Pos, putri tunggalnya, Sri Rahayu, masuk membawa secangkir teh. "Silakan diminum. Kebetulan, saat ini saya sedang puasa Syawal," kata menteri yang diusulkan dari partai yang lahir pada masa reformasi itu.

Ketika disinggung seputar kekayaannya berdasar LHKPN dan diumumkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dia hanya tersenyum. "Saya bersyukur dianggap begitu (disebut menteri termiskin). Pokoknya, kalau dibandingkan menteri lain, nggak mungkin bisa ngejar, apalagi sama Pak Ical (Menko Kesra Aburizal Bakrie yang dijuluki sebagai menteri terkaya dalam kabinet SBY, Red)," ujarnya lantas tertawa.

Dia menjelaskan, sejak menjadi dosen dan kepala laboratorium di IPB, Anton terbiasa menabung. Hasilnya, dia mampu membeli aset berupa tanah di Bogor. Kegemaran berhemat itu diteruskan sampai sekarang. "Sebagian berasal dari gaji dan uang perjalanan ke luar negeri. Itu pun sudah berlebih," tegasnya.

Suami Rossi Rozzana tersebut mengaku, kehidupannya saat masih menjadi dosen sudah cukup. "Apalagi sekarang, apa sih yang mau kita kejar? Makan saja tak lebih dari sepiring," katanya.

Sebagai menteri, dia mengaku digaji Rp 19 juta per bulan. Selain dari gaji, pendapatan Anton diperoleh dari honor menjadi narasumber di seminar. Sebelum menjadi menteri, dia memang sering diundang sebagai ahli di bidang kimia pangan. "Tapi, honorarium dari seminar biasanya dikelola staf," jelasnya.

Menurut doktor lulusan University of Reading, Inggris, tersebut, kunci perbaikan departemen yang dipimpinnya bermula dari diri sendiri. "Kalau pemimpin tak bisa jadi uswah (teladan, Red), jangan berharap anak buah mengikuti," ujarnya.

Anton lantas mencontohkan saat dirinya melakukan perjalanan dinas ke daerah menggunakan pesawat. Dia tidak pernah mau naik kelas bisnis. Dia selalu minta diberi tiket ekonomi. Demikian pula ketika harus menginap di suatu daerah. Anton tidak pernah mau diinapkan di hotel berbintang lebih dari tiga. "Kalau menterinya (pakai) ekonomi, anak buahnya nggak ada yang berani (di kelas) bisnis," ungkapnya lantas tersenyum.

Menurut dia, budaya Orde Baru, yakni daerah harus selalu menyambut pejabat pusat dengan servis VVIP, harus dikikis habis. "Saya lebih suka menginap dirumah petani daripada di hotel. Mereka itu orang yang apa adanya. Tidak ada yang dibuat-buat, " tegasnya.

Dia lantas menceritakan pengalamannya ketika menginap di rumah salah seorang petani di Karawang. "Saat itu, atap rumahnya sudah mau roboh," katanya seraya tersenyum lebar. Anton mengaku, saat ini dirinya sedang memperjuangkan budaya keterbukaan di departemen yang dipimpinnya. Salah satu contohnya, nomor HP-nya terbuka bagi seluruh anak buahnya. Termasuk, pegawai dan penyuluh lapangan di daerah. "Dari mereka, saya bisa tahu keluhan di lapangan. Termasuk, jika ada laporan korupsi, langsung saya minta ditindaklanjuti oleh Irjen (inspektorat jenderal, Red)," jelasnya.

Dia juga sering mengajak anak buahnya outbound (training di alam). "Kalau di alam, perilaku aslinya terlihat," ujarnya. Dua minggu sekali, dia menggelar rapat pimpinan yang diakhiri dengan masing-masing saling memberi nasihat. "Jadi, kalau tidak sesuai dengan yang diomongkan, orangnya malu," katanya.

Kesederhanaan tersebut Anton diakui sekretaris pribadinya, Dr Abdul Munif . "Saya sampai malu karena bapak sering ngotot pakai kelas ekonomi saat kunjungan ke daerah. Kadang-kadang, sampai saya akali dengan mengatakan tiket ekonomi sudah habis," ungkapnya.

Alumnus Bonn University, Jerman, yang mendampingi Anton sejak sebelum menjadi menteri itu mengaku, hal tersebut dilakukan untuk menjaga kehormatan Anton sebagai menteri. "Itu kalau kebetulan sedang bersama menteri lain atau ada tamu dari luar negeri. Kalau berangkat sendiri, hampir selalu ekonomi,"jelasnya.

Saat mengunjungi daerah, Munif mengaku banyak pejabat dan bupati yang heran mengetahui kebiasaan Anton. "Awalnya, mereka (bupati dan pejabat daerah) heran. Tapi, dua tahun ini sudah biasa. Mereka malah berterima kasih," ujarnya.

Dia menyatakan, satu hal yang paling berkesan adalah perhatian Anton kepada anak buah. Di antaranya, Anton selalu mengingat nama dan kebiasaan-kebiasaan kecil stafnya. "Beliau tak risi mengirimkan ucapan selamat ulang tahun atau memberikan bantuan ketika ada yang punya gawe," ungkapnya.

Tuesday 7 October 2008

Antara Ngobrol dengan Social Intimacy (Vol. one)




Suatu artikel dalam majalah (saya pun lupa namanya) yang bisa gratis kita bawa pulang dari kafe atau resto disekitar Jakarta, lumayan menyenggol pikiran saya. Dalam artikel tadi, baru-baru ini dilakukan survey kepada ratusan ribu orang yang tinggal dan bermukim permanen di kota-kota besar diseluruh dunia, mulai dari New York, London, Paris, Tokyo, Amsterdam, Roma, dan seterusnya. Sejauh saya tahu, kota-kota lokasi riset dilakukan itu adalah tempat-tempat impian untuk bisa dijadikan tempat tinggal, tidak terkecuali saya sendiri. Eiitz.. tapi tunggu dulu, rumput tetangga belum tentu lebih subur walaupun warnanya lebih hijau dibandingkan pekarangan rumah kita sendiri. Apa pasal? riset tersebut mengambil satu tema besar, menyoal kenyamanan seseorang untuk bisa tinggal secara benar-benar settled dan bahagia lahir dan batin disuatu kota. Ternyata yang cukup mengagetkan saya, kota-kota besar macam New York, London, atau Tokyo menempati lima besar untuk kota yang paling tidak nyaman huni (setidaknya hasil riset menunjukkan hasil itu), dan kota London dianugerahi sebagai juaranya.

Tidak nyaman huni disini bukan dalam konteks keterbatasan infrastruktur macam transportasi, kesehatan, maupun pendidikan. Kalo urusan beginian mah apa kabar negara kita sendiri, apa kabar Jakarta?! Diluar itu semua, 'ketidaknyamanan' mereka lebih pada kenyamanan yang bersifat batiniyah, kenyamanan perasaan, persaudaraan, dan solidaritas dalam konteks kemasyarakatan (sosial). Kok bisa? Ya bisa-bisa aja, survey tadi menyebutkan warga London dan kota lain ironisnya mengalami kesepian, tekanan psikis, dan takut mati seorang diri (tanpa didampingi keluarga atau orang-orang terkasih lainnya). Khusus untuk London, New York, dan Madrid kecemasan akan serangan teroris yang pernah terjadi masih sangat jelas membekas, dan kekhawatiran untuk kembali terulang masih cukup besar.

Kalau boleh diperhatikan lebih jauh, memang banyak negara-negara maju yang memiliki kualitas hidup yang relatif lebih baik, dengan indikasi usia harapan hidup yang lebih panjang atau rata-rata 75 tahun bagi laki-laki, dan 80 tahun untuk perempuan. Sayang hal ini nggak diimbangi sama sekali dengan pertambahan jumlah bayi yang lahir, seperti contohnya di Jerman angka kelahiran hingga dibawah 0% hingga minus. Belum lagi para lansia yang hidupnya cukup panjang tadi, umumnya mereka akan hidup sebatang kara tanpa anak atau keluarga lain yang mengurus segala keperluan hidupnya. Memang pemerintah Jerman secara penuh memenuhi kebutuhan mereka, mulai dari tempat tinggal, pakaian, makanan, hiburan, liburan, dan lain-lain. Tapi apakah keperluan lahiriyah sudah cukup menjamin kebahagiaan seseorang, ternyata terbukti tidak. Ada kebutuhan lain sebatas kecukupan lahiriyah. Nah. lantas apa hubungannya fenomena ini dengan hasil riset yang disampaikan sebelumnya?

Tentu ada hubungannya, dua-duanya sama-sama membuktikan kalo hal-hal materiil yang banyak dari kita mati-matian mengejarnya siang-malam, hampir nggak ada artinya kalo kebutuhan psikis nggak terpenuhi dengan baik. Dalam satu buku saya pernah baca, William Isaac Thomas (sosiolog dan psikolog sosial) bahwa ada 4 hal yang harus dipenuhi dalam hidup seseorang untuk memperoleh kebahagiaan yang sejati. Diantaranya, rasa untuk dicintai, kebutuhan akan pengalaman, rasa untuk merasa aman, dan rasa untuk dihargai (secara verbal dan simbolis). Dan semua kebutuhan psikis mendasar ini, hanya bisa dipenuhi lewat hubungan interaksi dengan orang lain (sosial interaction).

Bolehlah dengan materi, uang yang banyak, jabatan tinggi, atau tanah ratusan hektar bisa jadi sarana untuk mencapai kebahagiaan; tapi manusia sendiri ada batasnya, bukan? Apa artinya kekayaan yang berlimpah kalo hanya dinikmati sendiri? Mungkin teman-teman yang membaca bergumam " iya.. saya menikmatinya bersama-sama keluarga saya, membahagiakan keluarga saya ". Pertanyaannya, jika seluruh keluarga sudah kebagian kebahagian dari Anda tadi dan masih ada sisa banyak, mau dibawa kemana lagi sisa harta sebanyak itu? Bukankah manusia ada batasnya?

Sekarang coba kita pikir-pikir lagi, kalo boleh pinjam dialognya pak Harfan di film Laskar Pelangi "Sebaik-baiknya orang itu yang paling banyak memberi, bukan yang sebanyak-banyaknya menerima...". Nah, sudah berapa banyak yang sudah kita buat untuk manfaat orang banyak? Kalo saya sih masih payah banget untuk urusan yang beginian. Kalo ngga dipotong sama Ibu dari hasil gaji bulanan yang saya setor, yaa ngga mungkin inget sama zakat penghasilan yang mesti diambil 2,5% dari rezeki kita.

Atau boleh juga kita pikir, berapa banyak dari kita yang masih menambah jumlah teman di usia sekarang dan terus melanjutkan hubungan itu dengan baik? Saya pikir sangat sedikit kita menambah teman, atau sangat jarang dari perkenalan itu terus dijaga kelanjutan hubungannya. Walaupun dimudahkan melalui media Facebook atau Friendster sekalipun. Paling-paling yang sering kita comment, testimoni, sending message, post on wall, dan lain-lain masih juga orang yang sudah kita kenal lama. Mungkin teman satu geng masa SMA, boleh jadi teman se-organisasi waktu kuliah, atau temen kantor sendiri.

Bayangkan kalau saja kehidupan kita akan terus-menerus seperti ini, lama-lama 'keintiman sosial' --istilah yang digunakan Anthony Giddens-- akan memudar juga; karena sempitnya kehidupan kita itu. Mungkin kita berpikir, pekerjaan yang sudah dijalani 10-15 tahun belakangan sangat berarti bagi kehidupan kita. Sampai-sampai jarang mengunjungi orang tua, kumpul dengan keluarga, ibadah juga seadanya, atau porsi waktu yang sedikit sekali untuk anak dan istri. Padahal dalam hidup kita belum memberikan banyak baik untuk diri sendiri, keluarga, atau kepada lingkungan. Mungkin tekanan sosial yang kronis macam ini serupa dialami oleh ribuan orang-orang yang tinggal di kota London, New York, Madrid, Tokyo, Amsterdam, Paris, dan lain lain.

Apa cara mudah merenovasi bangunan solidaritas sosial yang mampu menyehatkan lingkungan masyarakat kita? Mengobrol adalah. . . .

-- to be continued --