Tuesday 30 September 2008

Ramadhan Bulan Kontemplasi









Momen.. sering kali kita membutuhkan suatu momen untuk membuat sesuatu lebih berarti. Hal yang paling umum adalah hari lahir, sangat sering momen ini digunakan seseorang untuk merefleksikan kehidupannya. Hal apa saja yang sudah diperbuat selama waktu yang sudah dilalui dan masa akan datang yang baru akan dijamahnya sesaat lagi. Hal ini wajar saja, karena pada dasarnya manusia itu makhluk yang berpikir, bukan?


Juga, sama sekali nggak salah kalo momen Ramadhan ini semaksimal mungkin kita manfaatkan untuk merenungkan kembali arti hidup itu sendiri. Mungkin secuil tulisan berikut bisa menjadi media yang bermanfaat. Sebuah tulisan yang dibuat sahabat, yang cukup ingin disebut sebagai FS membuat saya tersentu, bagaimana Anda..


Ada sebuah keluarga di Lhok Nga - Aceh, yang selalu menanamkan ajaran Islam dalam kesehariannya. Mereka adalah keluarga Umi Salamah dan Abi Usman. Mereka memiliki 4 bidadari yang solehah: Alisa Fatimah, (si kembar) Alisa Zahra & Alisa Aisyah, dan si bungsu Alisa Delisa.

Setiap subuh, Umi Salamah selalu mengajak bidadari-bidadarinya sholat jama ' ah. Karena Abi Usman bekerja sebagai pelaut di salah satu kapal tanker perusahaan minyak asing - Arun yang pulangnya 3 bulan sekali. Awalnya Delisa susah sekali dibangunkan untuk sholat subuh. Tapi lama-lama ia bisa bangun lebih dulu ketimbang Aisyah. Setiap sholat jama ' ah, Aisyah mendapat tugas membaca bacaan sholat keras-keras agar Delisa yang ada di sampingnya bisa mengikuti bacaan sholat itu.

Umi Salamah mempunyai kebiasaan memberikan hadiah sebuah kalung emas kepada anak-anaknya yang bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Begitu juga dengan Delisa yang sedang berusaha untuk menghafal bacaan sholat agar sempurna. Agar bisa sholat dengan khusyuk. Delisa berusaha keras agar bisa menghafalnya dengan baik. Selain itu Abi Usman pun berjanji akan membelikan Delisa sepeda jika ia bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.

Sebelum Delisa hafal bacaan sholat itu, Umi Salamah sudah membelikan seuntai kalung emas dengan gantungan huruf D untuk Delisa. Delisa senang sekali dengan kalung itu. Semangatnya semakin menggebu-gebu. Tapi entah mengapa, Delisa tak pernah bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.



26 Desember 2004

Delisa bangun dengan semangat. Sholat subuh dengan semangat. Bacaannya nyaris sempurna, kecuali sujud. Bukannya tertukar tapi tiba-tiba Delisa lupa bacaan sujudnya. Empat kali sujud, empat kali Delisa lupa. Delisa mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia punya waktu banyak untuk mengingatnya. Umi ikut mengantar Delisa. Hari itu sekolah ramai oleh ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa Delisa. Delisa maju, Delisa akan khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahma n tentang bagaimana khusuknya sholat Rasul dan sahabat-sahabatnya. "Kalo orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya satu." Nah jadi kalian sholat harus khusuk. Andaikata ada suara ribut di sekitar, tetap khusuk.


Delisa pelan menyebut "ta ' awudz". Sedikit gemetar membaca "bismillah". Mengangkat tangannya yang sedikit bergetar meski suara dan hatinya pelan-pelan mulai mantap. "Allahu Akbar".

Seratus tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai bertakbiratul ihram, persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang. LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA. Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan kilometer. Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian mencuat. Mengirimkan pertanda kelam menakutkan.


Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa, tepat ketika Delisa mengucapkan kata "wa-ma-ma-ti", lantai sekolah bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis lepas, berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa melewati ujian pertama kebolak-baliknya, Lhok Nga bergetar terbolak-balik.

Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja bu guru Nur jatuh. Pecah berserakan di lantai, satu beling menggores lengan Delisa. Menembus bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan ibu-ibu berteriak di luar. Anak-anak berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu. Situasi menjadi panik. Kacau balau. "GEMPAR"!


"Innashalati, wanusuki, wa-ma... wa-ma... wa-ma-yah-ya, wa-ma-ma-ti..."

Delisa gemetar mengulang bacaannya yang tergantung tadi. Ya Allah, Delisa takut... Delisa gentar sekali. Apalagi lengannya berdarah membasahi baju putihnya. Menyemburat merah. Tapi bukankah kata Ustadz Rahma n, sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat ketika punggungnya digigit kalajengking?


Delisa ingin untuk pertama kalinya ia sholat, untuk pertama kalinya ia bisa membaca bacaan sholat dengan sempurna, Delisa ingin seperti sahabat Rasul. Delisa ingin khusuk, ya Allah...


Gelombang itu menyentuh tembok sekolah. Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Umi yang berdiri di depan pintu kelas menunggui Delisa, berteriak keras .... SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi. Delisa ingin khusuk. Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami sempurna sudah membungkusnya. Delisa megap-megap. Gelombang tsunami tanpa mengerti apa yang diinginkan Delisa, membanting tubuhnya keras-keras. Kepalanya siap menghujam tembok sekolah yang masih bersisa. Delisa terus memaksakan diri, membaca takbir setelah "i ' tidal..." "Al-la-hu-ak-bar..." Delisa harus terus membacanya! Delisa tidak peduli tembok yang siap menghancurkan kepalanya.


Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu, tepat sebelum kepalanya menghantam tembok itu, selaksa cahaya melesat dari "Arasy Allah." Tembok itu berguguran sebelum sedikit pun menyentuh kepala mungil Delisa yang terbungkus kerudung biru. Air keruh mulai masuk, menyergap Kerongkongannya. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret. Tubuh Delisa terlempar kesana kemari. Kaki kanannya menghantam pagar besi sekolah. Meremukkan tulang belulang betis kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi. Ia sudah sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh. Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya. Sikunya patah. Mukanya penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah. Darah menyembur dari mulutnya.


Saat tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru Nur melepas kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan kerudung itu. Lantas sambil menghela nafas penuh arti, melepaskan papan itu dari tangannya pelan-pelan, sebilah papan dengan Delisa yang terikat kencang diatasnya.


"Kau harus menyelesaikan hafalan itu, sayang...!" Ibu Guru Nur berbisik sendu. Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid.


Minggu, 2 Januari 2005


Dua minggu tubuh Delisa yang penuh luka terdampar tak berdaya. Tubuhnya tersangkut di semak belukar. Di sebelahnya terbujur mayat Tiur yang pucat tak berdarah. Smith, seorang prajurit marinir AS berhasil menemukan Delisa yang tergantung di semak belukar, tubuhnya dipenuhi bunga-bunga putih. Tubuhnya bercahaya, berkemilau, menakjubkan! Delisa segera dibawa ke Kapal Induk John F Kennedy. Delisa dioperasi, kaki kanannya diamputasi. Siku
tangan kanannya di gips. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit. Muka lebamnya dibalsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur tubuhnya.


Aisyah dan Zahra, mayatnya ditemukan sedang berpelukan. Mayat Fatimah juga sudah ditemukan. Hanya Umi Salamah yang mayatnya belum ditemukan. Abi Usman hanya memiliki seorang bidadari yang masih belum sadar dari pingsan. Prajurit Smith memutuskan untuk menjadi mu ' alaf setelah melihat kejadian yang menakjubkan pada Delisa. Ia mengganti namanya menjadi Salam.


Tiga minggu setelah Delisa dirawat di Kapal induk, akhirnya ia diijinkan pulang. Delisa dan Abi Usman kembali ke Lhok Nga. Mereka tinggal bersama para korban lainnya di tenda-tenda pengungsian. Hari-hari diliputi duka. Tapi duka itu tak mungkin didiamkan berkepanjangan. Abi Usman dan Delisa kembali ke rumahnya yang dibangun kembali dengan sangat sederhana.


Delisa kembali bermain bola, Delisa kembali mengaji, Delisa dan anak-anak korban tsunami lainnya, kembali sekolah dengan peralatan seadanya. Delisa kembali mencoba menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Ia sama sekali sulit menghafalnya. "Orang-orang yang kesulitan melakukan kebaikan itu, mungkin karena hatinya Delisa. Hatinya tidak ikhlas! Hatinya jauh dari ketulusan." Begitu kata Ubai salah seorang relawan yang akrab dengan Delisa.


21 Mei 2005


Ubai mengajak Delisa dan murid-muridnya yang lain ke sebuah bukit. Hari itu Delisa sholat dengan bacaan sholat yang sempurna. Tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa dengan sempurna. Usai sholat, Delisa terisak. Ia bahagia sekali. Untuk pertama kalinya ia menyelesaikan sholat dengan baik. Sholat yang indah. Mereka belajar menggurat kaligrafi di atas pasir yang dibawanya dengan ember plastik. Sebelum pergi meninggalkan bukit itu, Delisa meminta ijin mencuci tangan di sungai dekat dari situ.


Ketika ujung jemarinya menyentuh sejuknya air sungai. Seekor burung belibis terbang di atas kepalanya. Memercikkan air di mukanya. Delisa terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap burung tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah Delisa menatap sesuatu di seberang sungai.


Kemilau kuning. Indah menakjubkan, memantulkan cahaya matahari senja. Sesuatu itu terjuntai di sebuah semak belukar indah yang sedang berbuah. Delisa gentar sekali. Ya Allah! Seuntai kalung yang indah tersangkut. Ada huruf D disana. Delisa serasa mengenalinya. D untuk Delisa. Diatas semak belukar yang merah buahnya. Kalung itu tersangkut di tangan. Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia. Putih. Utuh. Bersandarkan semak belukar itu.

UMMI.....

Subhanawloh......

Monday 29 September 2008

Malaysia Takut Musik Indonesia











Selisih waktu antara posting tulisan saya ini dengan yang terakhir terbilang cukup jauh, sampai-sampai membatin, "sebetulnya niat nggak sih buat blogspot?" hehe. Apalagi blog-nya sendiri diembel-embeli nama Atmosfer Kata-Kata, kalo gak pernah ditambah kata-kata yaa atmosfer-nya hampa udara toh? sak isi-isinya malah bisa jadi mati semua...

Yasudah, minta maaf terutama kepada diri saya sendiri deh untuk inkonsistensinya, abis menjelang 15 hari terakhir bulan puasa pekerjaan rasanya di-akselerasi untuk bisa selesai sebelum libur yang cuman berumur seminggu itu. Giliran masuk libur, ada aja keperluan keluarga yang sifatnya cicilan. Entah antar-jemput kesana-kemari, buka dirumah anu atau dirumah uni, macam-macam. Sebut saja kalau belakangan ini sedang agak sibuk, kalau ndak mau dibilang sedang malas menulis, fiiuuuuh..

Nah, sekarang saya punya obrolan yang mungkin menarik (mungkin juga nggak) untuk bisa kita diskusikan bareng. Ceritanya tentang kekhawatiran sejumlah seniman dan musisi asal Negeri Jiran terhadap masivitas perkembangan industri musik Indonesia, yang ikut berdampak pada iklim permusikan Malaysia.

Sebuah kelompok yang menamakan dirinya wartawan (nama yang aneh untuk suatu perkumpulan seniman musik) mendatangi kementrian budaya Malaysia dan minta dibuatkan kebijakan resmi berbentuk undang-undang atau peraturan dari pemerintah yang isinya membatasi pemutaran dan peredaran lagu-lagu Indonesia yang diputar di radio dan televisi Malaysia. Mereka beralasan bahwa jumlah hits-hits yang berasal dari Indonesia, kian waktu kian mengancam keberadaan industri musik Malaysia yang saat ini makin ditinggalkan anak-anak muda Malaysia. iiiih.. Males banget nggak si looh dengernya?!

Jujur aja nih, begitu saya membaca ulasan ini di harian umum Media Indonesia, saya kok jadi geli sendiri aja.. Najis bgt deh! Cocok sekali dengan pribahasa "" Buruk rupa jangan kaca dibelah", apa mereka (wartawan_pen) nggak sadar (baca: malu) kalo secara nggak langsung mereka terang-terangan menyampaikan ketidakmampuan, ketidakberdayaan, kelemahan, bahkan kekalahan dalam berkompetisi dengan industri musik negara tetangga (baca: Indonesia Raya yang selalu kucintai, hehe..) hingga mengemis kebijakan kepada pemerintahnya untuk membatasi, hingga restriksi masuknya hasil karya musisi Indonesia. Menurut saya tindakan seperti ini sangat buruk dan ndak mendidik terutama bagi sosialisasi perilaku pikir generasi muda Malaysia itu sendiri. Loh memangnya kenapa?

Pertama, jelas sekali kita ini hidup dalam kultur kompetisi yang sangat keras, inovasi dan kreativitas makin jadi tuntutan yang ' nggak bisa nggak!'. Apalagi kalo bicara dalam konteks industri, apapun lahan garap-nya tidak terkecuali industri musik. Unsur kreativitas dan produktivas karya dari kreatornya menjadi sangat penting. Jangan kalo nggak kreatif dan nggak produktif malah main gusur dan main sikut macam begini, najis bgt deh!

Kalo temen-temen ingat musisi pop-rock kawakan asal Malaysia, Amy Search. Ternyata si 'Isabella adalah..' ikutan juga berpendapat soal rame-rame masalah ini. Katanya dengan nada yang sedikit kecewa, Kuala Lumpur khususnya dan Malaysia secara umum tidak ubahnya seperti kota Jakarta kalo udah lewat jam 10 malam. Kenapa? Karena begitu kita 'stel' radio, hampir 90%-nya lagu-lagu hits Indonesia yang diputer disana. Band-band langganan macam Peterpan, GIGI, Ungu, DEWA 19, Nidji dan SO7 tetep jadi top request. Terus kenapa baru jam 10? Cuma itung-itungan pengelola radio aja, yaah bisa dibilang jaga sikaplah supaya nggak terlalu ngelunjak kesan-nya. Anak-anak muda juga udah pada duduk rapih begitu hampir jam 10-an. Arus SMS yang isinya pesan-pesan lagu dan kirim-kirim pantun maupun salam mulai membanjir.

Fenomena seperti itu yang menimbulkan kekhawatiran kelompok pemerhati musik Malaysia tadi. Mereka nggak mau mencontoh Singapura yang sudah sama sekali kehilangan musisi lokal yang bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri. Menurut kelompok Wartawn itu, kalau kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka kehancuran musik Malaysia tinggal urusan menunggu waktu saja.

Coba sedikit lagi kita berpikir, (ternyata) betapa kuat solidaritas dan kekuatan elemen bangsa Malaysia yang coba melakukan langkah antisipasi terhadap suatu keadaan yang diperkiraan akan terjadi di waktu akan datang. Suatau kondisi yang belum terjadi, bahkan kepastiannya untuk bakal terjadinya pun belum tentu. Nah, apa mungkin elemen musik Indonesia bisa mencontoh hal ini? Tentu bukan mencontoh untuk melarang musik ini atau musik itu, tapi mungkinkah kita bisa berkumpul jadi satu yang bertujuan melindungi karya musik anak bangsa?

Jangankan memikirkan bagaimana bentuk industri musik Indonesia masa depan, mengurusi masalah pembajakan pun mulai dari jaman baheula belum ada kemajuannya. Undang-undang perlindungan karya musik memang ada, tapi implementasinya di lapangan masih NOL besar! Walaupun hebatnya musisi Indonesia, segila apapun karya-nya dibajak, tapi hasrat bermusik tidak pernah surut. Coba kalo musisi Indonesia mogok masal, wah pasti besar sekali ekses-nya ke industri musik Indonesia secara makro.

Belum lagi ada statement-statement yang entah kenapa, tapi menurut saya sifatnya sangat tidak produktif. Terutama dari 'band-band indie' yang menjelek-jelek-kan band-band lain yang dianggap musik sampah. Band macam Kangen Band, ST12, MATTA band, Radja dan semacamnya itu dianggap menghambat peningkatan kualitas musik dalam negeri baik dari aspek kreator sekaligus pendengarnya. Tapi apa lacur, angka penjualan 'band-band sampah' tadi sampai tembus level double platinum atau minimal 250 ribu keping, fantastis!

Saya jadi khawatir, ada kecemburuan dari band-band indie tentang realitas kesuksesan band-band yang menurut mereka secara musikalitas sangat jauh dibawah standar itu. Mudah-mudahan sih nggak, karena kalo melihat track record band indie yang selalu "jujur" dalam bermusik. Mudah-mudahan! tujuannya murni dan cuma satu, supaya kualitas musik dalam negeri makin meningkat lagi.

Teman-teman, kita memang boleh berbangga dong ternyata hasil karya musisi dalam negeri dihargai dan mampu meng-invasi industri musik negara tetangga, seperti Malaysia. Tapi bukan berarti puas, sebaliknya nih karya-karya dalam negeri mesti tambah oke kedepannya.


Maju Terus Musisi Indonesia..!

Thursday 18 September 2008

Perjumpaan Rindu (shipment)



Saya dapat tulisan yang fiksi banget, tapi kalo ngomong masalah kandungan makna yang dikandung dalam tulisan ini, ngga ada matinya deh.. Memang ada banyak sekali tulisan yang bagus, atau minimal kita suka bahkan sampai terkesima dibuatnya. Bagi saya tulisan yang bagus, tulisan yang ketika dibaca badan saya sampe merinding dan minimal saya membaca ulang sampai dua kali. Tulisan dibawah ini yang ditulis oleh salah seorang sahabat, Syamsul Arifin jelas masuk kategori tulisan hebat. Cobain aja sendiri gimana reaksinya sama kamu. Selamat membaca yaa, dan merinding.

Oleh: Syamsul Arifin

"Dimanakah aku berada, sungguh taman yang sangat indah sekali. Belum pernah kulihat taman seindah ini sebelumnya", kakiku menyentuh tanah yang lembut, ku ambil segenggam tanahnya, aih, terasa harum wanginya,"apakah ini tanah yang bernama za'faran", batinku berguman. Ku amati kesekelilingnya, terlihat berkilau, owh, ternyata batu-batu dan kerikik di taman ini berupa emas dan perak, kemilaunya sungguh mempesona, memukau mata.

"Paman Yudi, Paman Yudi", sebuah suara mungil yang tak asing lagi terdengar sayup-sayup memanggil-manggil diriku dengan riang, menyadarkanku dari ketertegunan. Kutengokkan kepala ke arah samping, ow, ternyata seorang gadis kecil bernama Nadia. "Ah, bukankah ia telah meninggal seminggu yang lalu karena demam berdarah", pertanyaan itu berputar di kepala.

Dia menghampiriku dan memegang tanganku, dingin, terasa dingin.

"Akhirnya, Paman kesini juga", dia mulai berceloteh, "mari Paman, kukenalkan pada sahabat-sahabat baruku disini", dia menyeret tanganku tuk mengikutinya, menggiringku menembus keindahan taman. Dengan sedikit terhuyung-huyung aku mengikuti langkah-langkah kecilnya.

Kulihat lima orang yang sedang berdiri di kejauhan. Perlahan-laham kami mulai mendekat.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh" , seorang pria yang berada di tengah mengucap salam kepadaku, dia tersenyum padaku. Wajahnya bercahaya bagaikan bulan purnama(1). Perawakannya sedang, bisa dikatakan mendekati tinggi, kulitnya putih, jenggotnya hitam, bulu matanya panjang, dan berdada bidang.(2)

"Paman Yudi, perkenalkan ini Rasulullah Muhammad Shallalahu Alaihi Wassalam"

Hah, aku tertegun, degup jantungku hampir-hampir berhenti, kakiku lemas, hampir-hampir tak bisa menopang berat tubuhku, nafasku tercekat dalam tenggorokan.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh" , jawabku terbata-bata
"Apakah ini benar Rasulullah?" , aku mencoba mengendalikan diri.

"Ya, saya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, utusan Allah", beliau tersenyum, senyum terindah yang melumerkan segala rasa dalam dada. Beliau menyalamiku, menjabatku erat. "Sungguh, tangannya lebih lembut dari kain sutera(3)", batinku berbisik pelan.

"Paman Yudi adalah pengasuhku ketika di dunia, Rasulullah", Nadia kecil mengeluarkan suara, "dia mencukupi segala kebutuhanku dan ibuku".

"Aku dan pengasuh anak yatim kelak di surga seperti dua jari ini"(4), beliau menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan merapatkan keduanya, "maka pada hari ini, engkau akan didekatkan kepadaku"

Amboi, sungguh merupakan kemuliaan yang tak terperikan, aku hampir-hampir menangis mendengar kalimat yang keluar dari lisan beliau. Air mataku meleleh pelan.

"Perkenalkan sahabat-sahabatku" , beliau berkata.

Ku tengok kearah kanan beliau, berdiri disampingnya, seorang pria bertubuh kurus dan berkulit putih.(5) "Dia adalah Abu Bakar As-Shidiq", ujar Rasulullah, "disampingnya adalah Umar bin Khattab"

Bergantian setelah menyalami Abu Bakar, aku menyalami seorang lelaki yang tinggi, berkepala botak di bagian depannya, bermata hitam, dan berkulit kuning(6), Subhanallah, ini adalah pria yang ditakuti para setan, setan lari ketakutan jika bertemu dengannya, aku menjabat tangannya bangga.

"Sedang ini adalah Ustman bin Affan", Rasulullah melanjutkan perkenalan.

Ternyata Utsman adalah seorang sahabat yang rupawan, mempunyai jenggot yang lebat, berperawakan sedang, mempunyai tulang persendian yang besar, berbahu bidang, berambut lebat, dan memiliki bentuk mulut bagus yang berwarna sawo matang(7)

"Disebelahnya adalah Ali bin Abi Thalib", kata Rasulullah.

Aku menyalami pria terakhir yang memiliki kulit berwarna sawo matang, memiliki bola mata yang besar dan berwarna kemerah-merahan, berperut besar, berkepala botak, berperawakan pendek, dan berjanggut lebat. Wajahnya tampan dan memiliki gigi yang bagus, sedikit terlihat olehku bahwa beliau memiliki dada dan pundak yang padat dan putih, yang ditumbuhi bulu dada dan bahu yang lebat.(8)

"Paman Yudi ini biasa memberi aku dan ibuku uang setiap bulan, menyekolahkanku dan mengantarkanku makanan lho Rasulullah", celoteh Nadia kecil, Rasulullah tersenyum, sungguh aku malu dihadapan beliau mendengar celotehannya, wajahku memerah.

"Bahkan beliau tidak sungkan tuk nyuapin aku", tambah Nadia bangga.

"Haduh anak kecil, tidak bisakah engkau tenang dihadapan Rasulullah", batinku berujar.

"Paman Yudi, suapi aku dunk", kata Nadia, dia menyodorkanku sebungkus biskuit. Aku menatap Rasulullah, beliau mengangguk. Aku ambil dan membuka bungkusan biskuit tersebut, mengambil satu potong dan mematahkannya menjadi dua bagian kecil. Aku sedikit menunduk menyodorkan biskuit tersebut pada Nadia.

"Kalau engkau menyuapi Nadia, maka biar aku yang menyuapi dirimu", Rasulullah berkata sembari mengambil bungkus biskuit dari tanganku, beliau melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan, mengambil satu potongan biskuit, mematahkannya menjadi dua bagian, dan menyuapinya ke mulutku.

Terasa tangan Rasulullah menyentuh bibirku. Air mataku berderai. Aku tidak bisa menahan diri.

"Wahai Yudi, berpuasalah engkau esok hari, dan berbukalah engkau bersama kami", Rasulullah berpesan.

"Maksudnya ya Rasulullah?" , aku bertanya setelah menelan suapan pertamaku.

"Engkau besok akan berkumpul bersama-sama kami", beliau menjawab.

"Lantas bagaimana dengan keluargaku?" , aku bertanya.

"Sebagaimana engkau telah menjaga anak-anak yatim di dunia, maka sungguh Allah yang akan menjaga dan mencukupi kebutuhan mereka sepeninggalanmu" , beliau menenangkan, "Berwasiatlah kepada mereka agar tetap bertakwa kepada Allah, niscaya Ia akan mengumpulkan kalian pula di syurga ini". Aku mengangguk pelan.


Tersentak aku terbangun dari tidurku. Dadaku terasa dingin. Lidahku masih merasakan manis makanan suapan Rasulullah. Menangis aku tersedu-sedu. Tangisan bahagia.

Aku bangkit dari tempat tidurku, dan bersegera sujud syukur karena telah berjumpa dengan kerinduanku. Dalam sujud aku menangis. Dadaku berguncang-guncang. Ku panjatkan pujian syukur dan doa mengharap kebaikan bagi diriku dan keluargaku.

Istriku terbangun dari tidurnya

"Kenapa mas", tanyanya heran.

"Ah, tidak apa-apa, besok pagi kuceritakan" , jawabku sembari menyeka air mata, "yuk sekarang shalat qiyamullail dulu bareng-bareng" , aku beranjak bangkit dan menuju kamar mandi tuk mengambil air wudhu. Jarum jam menunjukkan angka 4.00.

Shalat malam kali ini, aku hanya membaca surat Muhammad, surat yang berisi tiga puluh delapan ayat itu sengaja kuulang-ulang dalam tiap rakaat. Aku masih saja menangis tak henti.

Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau (QS Muhammad: 36)

Sayup-sayup terdengar, makmumku satu-satunya pun menangis pelan.

Ya Allah, berkahilah kami…

---

Pagi harinya, ketika istriku hendak menyiapkan sarapan, aku berkata bahwa aku ingin berpuasa hari ini, sehingga ia siapkan makanan buat dirinya saja dan buat Novi Khansa, bidadari kecil kami satu-satunya. Ternyata ia mau menemaniku berpuasa. Sehingga ia hanya memasakkan telor untuk buah hati kamu yang berumur lima tahun itu.

Saat ia sedang menyuapi Novi , aku ceritakan mimpiku kepada istri tercintaku. Dia menangis. Anakku satu-satunya, Novi Khansa, pun perlahan-lahan turut ikut menangis, mengikuti ibunya.

Aku mendekat pada istriku, "sayang, tidakkah engkau berbahagia bahwa aku akan bertemu dengan Rasulullah?" , bisikku.

Tangisnya perlahan mulai mereda. Ia mulai mengatur nafasnya.

"Insya Allah toko baju kita di Tanah Abang bisa dijaga sama si Samir, dia bisa dipercaya dan sudah pandai mengatur segalanya", aku tersenyum padanya. Ia masih saja menunduk menahan tangisnya, jilbab coklatnya ia gunakan tuk menghapus airmatanya.

"Sayang, bolehkah aku titip pesan kepadamu", aku bertanya

"Ya mas, silakan", jawabnya masih dengan nada yang bergetar.

"Jika memang mimpi tersebut benar adanya, tolong engkau tabah, sabar dan ridha. Jangan terlarut terlalu dalam dengan kesedihan. Karena Insya Allah kita akan berjumpa kelak, jika kita bisa terus beristiqomah" , aku memeluknya, meletakkan kepalanya dalam dada.

"Sayang, jaga anak kita, jadikan ia menjadi seorang muslimah yang shalihah, ajari dan didik agar mengenal agama. Dan tetap sabarlah sampai kita berkumpul kelak", aku menahan tumpahnya air mata, bibirku gemetar, "berjanjilah engkau kan terus sabar hingga kita berkumpul kembali", aku merasakan anggukan pelan dari dirinya.

Cukup lama aku memeluk istriku. Entahlah, mungkin ini memang benar pelukan terakhirku.

" Novi pintar, jagain mama-mu ya", aku mengalihkan perhatian kepada anakku disamping, dia ikut aku peluk juga bersama ibunya, aku berkata sembari tersenyum, gadis kecilku mengangguk, entah paham entah tidak.

"Udah ya, udah jam delapan nih, nanti si Samir nungguin ayah buka pintu toko-nya kelamaan lagi, dia pasti sudah datang sekarang", aku perlahan-lahan melepas pelukanku. Jarak dari rumah ke toko sekitar dua puluh menit, dan hanya aku yang memegang kunci toko.

"Ayah berangkat dulu ya", aku mengambil helm, dan keluar sejenak tuk memanaskan motor.

"Mas, hati-hati ya", istriku berpesan

"Insya Allah", aku hampiri lagi istriku, mengecup pipi kiri-kanannya. Aku beralih ke anakku, mengangkat dan menggendongnya, serta menciuminya.

"Ayah berangkat ya, Assalamualikum" , kataku seraya menjalankan motor.

"Wa'alikumsalam" , lambaian tangan mereka mengiringi kepergianku.

---

Aku berkendara seperti biasa, kecepatan tertinggiku hanya mencapai tujuh puluh kilometer perjam, tidak perlu tergesa-gesa, kalau memang takut terlambat, maka seharusnya mereka berangkat lebih awal, begitu pikirku ketika melihat banyaknya pengendara motor yang memacu kendaraan mereka serasa sedang berpacu dengan waktu.

Di sebuah jalan yang relatif tanpa hambatan, sebuah motor dengan kecepatan tinggi memotongku terlalu dekat, roda belakangnya menyentuh roda depanku, aku oleng, dia pun oleng, namun ia dengan cepat berhasil mengendalikan kendaraannya, sedang roda depanku yang tersenggol olehnya menyebabkan motorku berayun tak terkendali.

Aku terjatuh, tabrakan beruntun mengawali hari, aku terjatuh, terpental beberapa meter, terasa sebuah motor melindas diriku. Astagfirullah, teriakku. Kejadiannya begitu cepat. Tanpa kusadari, aku sudah berbaring sepuluh meter dari motorku, aneh, aku tidak bisa menggerakkan apapun juga. Ahh…, sakit, terasa sakit sekali, "Ashadu alla ila ha illalah wa asyhadu ana muhammadar rasulullah", begitu ucapku ketika nafasku sudah tidak bisa lagi dapat kuhembuskan.


---000---

Jakarta , 15 Juli 2008
Syamsul Arifin

Peringatan: mimpi bertemu Nabi dalam cerita ini merupakan 100% kisah fiksi, tidak ada unsur kebenarannya sedikitpun (hanya daya imaginasi penulis belaka), sedang penggambaran- penggambaran Rasulullah dan para sahabatnya mengutip referensi yang tertulis sebagai berikut.

Referensi: Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan-Nihayah, Masa Khulafa'ur Rasyidin; Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, Sirah Nabawiyah; Ibnu Qayyim Al Jauzi, Tamasya ke Surga; Software HaditsWeb 3.0

Catatan kaki:
(1) Hadits riwayat Turmudzi dalam asy-syamail, Baihaqi dalam al-dala-il. Isnadnya dhaif
(2) Kitab al-adab al mufrad karya al-Bukhari bab idza at-tafat at-tafat jami'an
(3) Kitab al Manaqib karya al-Bukhari dalam bab sifat-sifat Nabi saw; kitab al-Fadha-il karya Muslim
(4) Aku dan pengasuh anak yatim (kelak) di surga seperti dua jari ini. (HR. Bukhari)
(5) Thabaqat Ibnu Sa'ad
(6) Idem
(7) Ibnu Sa'ad, ath-Thabaqataul Kubra; Ibnu Jarir, Thariq ar-Rusul wal Muluk
(8) Ibnu Sa'ad, ath-Thabaqataul Kubra; Tarikh ath-Thabari


Munajat Hari Ini (by Mayang Atia)











Apa yang membedakan antara bulan biasanya dengan bulan Ramadhan..


Atau jangan-jangan malah bagi sebagian orang ndak ada perbedaannya? Wah ini yang bahaya. Memang secara iklim maupun cuaca nggak berubah sama sekali, panas yah memang tetap panas, kalo wayahnya hujan yaa hujan. Tapi coba refleksi ulang, bagi saya pribadi setiap harinya di bulan Ramadhan itu lebih gimana gitu (gimana coba?) susah dibilang, tapi bisa dirasakan. Suasana! Nah, itu yang mungkin paling mendekati perasaan yang saya rasakan ketika masuk Ramadhan dan ibadah shaum pastinya.

Memang untuk disebut alim saya mah masih jauh sekali, apalagi disebut soleh. Wong hampir tiap hari saja pulang kerja baru sampe jol ke rumah yah malam jam 9-an, alias orang-orang pada terawihan di Mesjid udah pada buyar. Kalo dikuat-kuatin sih terawih munfarid, loh kalo males (ini lebih sering) yaa amblas tenan..

Diluar itu semua, saya tetap menganggap Ramadhan sebagai bulan yang teramat spesial. Seperti pak ustad di Mesjid kompleks rumah tempat saya tinggal pernah bilang " Kalo ente semua ngarti gimana gede-nya tuh ganjaran pahala di bulan puase.. Pasti ente minta Romadon dibuat jadi 12 kali setaon.. ". Tentu pernyataan Ustad tadi menyiratkan pesan betapa utama nih satu bulan yang cuma singgah sekali dalam satu tahun.

Mumpung masih dalam bulan Ramadahan, coba deh baca tulisan yang sama terima dari satu saudara yang dijamin kesoleha-an-nya, Mayang Atia. Selamat menunaikan 10 hari terakhir di bulan Ramadhan ini.


Assalamu'alaikum Wr.Wb

Munajat hari ini

Nuh berkata : ' Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu, (yaitu) sembahlah olehmu Alloh SWT, bertaqwalah kepada Nya dan ta'atlah kepadaku, niscaya Alloh SWT akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Alloh SWT apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui "

(Nuh QS. 71:2-4)

Wassalamualaikum!

Monday 8 September 2008

Gagasan, Propaganda, dan Film (reposted)


Ada banyak sekali cara dalam menyuarakan gagasan dalam diri seseorang. Ide dan gagasan memang mutlak hadir dalam benak setiap orang, menanti untuk digarap dan mampu mentransmisikan pesan dalam format kontekstual, tematik, bahkan propagandis. Bila media podium dalam masa modern saat ini semakin membatasi jika tidak ingin dikatakan melelahkan sebagai wahana penyampaian ide, saluran lain yang lebih terkesan intelek dan estetik dengan ‘efek getaran’ yang lebih luas menjadi metode alternatif yang sulit untuk ditampik. Umumnya bahasa tulisan merupakan opsi kebanyakan, selain keluasan raihan akses yang mampu dijangkau baik dalam tulisan artikel media cetak, internet, bahkan ruang-ruang blog yang kian ramai disambangi menjadi target utama perantaraan gagasan seseorang. Dari sekian banyak cara dan saluran yang tersedia dalam penyampaian gagasan tadi, media film yang menawarkan kekuatan visual dan audio yang maksimal; dapat dijadikan gulungan dialektika yang relatif paling baik. Walaupun sama sekali bukan barang baru bila ‘dunia layar’ ini dimanfaatkan sebagai lahan garap untuk mewacanakan sesuatu.

Film adalah sebuah media yang mampu memadukan banyak aspek dalam berwacana. Dalam film dibutuhkan rangkaian cerita, rangkaian bahasa, penokohan, tatanan busana serta riasan lainnya, plot-plot dengan sequence dramatis yang diharapkan, music scoring yang mampu membangkitkan suasana, pilihan visual fotografis, efek visual sebagai penyempurna, dan banyak aspek lainnya bila secara rigid kita mau membahasnya. Anda mungkin bergumam, “ bukankah media lain juga mampu meng-cover aspek-aspek diatas tadi? ”. Mungkin yang Anda maksud buku novel, otobiografi, bibliografi, dan seterusnya. Memang media buku mampu memenuhi aspek rangkaian cerita, plot, bahasa dan penokohan dalam lembaran-lembarannya. Namun, harus diakui bahwa keterbatasan audio dan visual dalam buku menjadi handicapped yang mampu dipenuhi dengan sempurna dalam produksi film. Sama halnya keterbatasan media radio dalam menyampaikan pesan-pesannya, dimana kebutuhan visual belum cukup terpenuhi dengan baik kecuali Anda mengikuti jalan produksinya on the spot. Atau sebagian Anda bergumam lebih dalam lagi ” Saya menonton pertunjukkan teater, panggung teater cukup akomodatif kok!? ”. Memang seni pertunjukan macam teater menjadi media transmisi yang paling mendekati, didalamnya ada cerita, penokohan, tata bahasa dan visual gestures dari para pemerannya, plot, busana dan tata riasan, efek suara, tata cahaya dan efek khusus, dan seterusnya. Sekali lagi, namun pertunjukkan teater hanya digelar pada satu waktu, satu tempat, dan suatu kesempatan saja. Untuk memenuhi ‘efek getar’ yang lebih luas, pertunjukkan teater sangat mengandalkan review dalam media massa terbitan hari selanjutnya, atau syukur-syukur jika saja para penonton yang merasa puas ikut menyisipkannya dalam obrolan informal kepada teman maupun kerabat dekatnya pada suatu kesempatan informal; karena belum pernah penulis mendengar penyelenggaraan bedah teater layaknya bedah buku yang khusus membicarakan content dari karya dialektis tersebut

Jika dibandingkan dengan penyampaian gagasan lewat film yang mampu dipertunjukkan secara massal, dan diakses publik yang jauh lebih luas bahkan berskala worldwide yang mendunia; maka tentu saja hal ini menjadi tambahan bahwa karya film memang menjadi karya dialektis yang paling efektif dalam menyampaikan suatu gagasan. Tentu kita masih ingat film G 30 S PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia) karya Arifin C. Noer yang ditelurkan dari orderan khusus pemerintahan orde baru pada masa itu. Betapa efek pembentukan wacana yang terjadi sangatlah hebat. Dengan penggarapan yang sangat baik, film itu mampu menanamkan pemahaman yang diharapkan mengenai siapa musuh, siapa pahlawan, dan siapa yang menjadi korban; jika tidak mau dikatakan sebagai propaganda pemerintah. Atau ada karya docudrama garapan Michael Moore lewat Bowling for Columbine, Fahrenhite 9/11, dan Sicko yang mencatatkan namanya sebagai penerima piala Oscar. Atau Al Gore yang popularitasnya diperbaiki setelah kalah pemilu dengan meraih nobel perdamaian dan penghargaan lainnya lewat film An inconvenient truth mengenai pemanasan global. Tidak kalah sumbangan Nia Dinata dalam menyampaikan perspektifnya soal gay lewat film Arisan dan tema poligami lewat Berbagi Suami yang sempat mampir di De Cannes Film Festival dan beberapa festival film lainnya yang berskala dunia. Melalui film juga penanaman gagasan seseorang yang dibungkus dalam ruang produksi, mampu direkayasa sebagai bahan tontonan yang membuai dan memanjakan hingga publik luas yang sedang ditanami gagasan itu tidak terasa bahwa merekalah yang dijadikan sebagai target penanaman dari suatu gagasan itu sendiri.

Bila Anda yang membaca, tulisan ini dianggap terlalu hiperbolis hal itu sah-sah saja karena siapa yang bisa menghalangi seseorang untuk berpikir dan beranggapan atas sesuatu, kan?. Saya sendiri sangat menikmati aksi James Bond yang mampu menghindar dari terjangan peluru para teroris dengan begitu luar biasa, atau kehebatan John Rambo yang meluluh lantahkan satu batalyon pasukan untuk membebaskan tahanan perang di tengah hutan tropis Vietnam. Karena film sebagai hiburan (sedikitnya kita menganggapnya begitu) sudah menjadi industri besar yang memang menawarkan kalkulasi laba hingga mencapai angka miliaran. Toh tidak ada yang memaksa Anda untuk menonton atau tidak, bukan?. Akan tetapi, ada semacam ekspektasi lebih dalam diri pribadi Saya, yaitu ekspektasi akan sebuah skeptisme dan kesadaran terhadap suatu realitas yang diangkat dalam karya film. Apa jadinya jika skeptisme sama sekali dihilangkan terutama dalam hal membicarakan theme content dalam suatu film. Bayangkan segmentasi remaja pada film-film semacam American Pie yang dibuat hingga berseri melebihi seri trilogi yang tanpa diikuti dengan daya skeptis serta kewaspadaan yang cukup, tentu konten dalam ‘film-film sampah’ itu dapat berimplikasi destruktif dalam sebuah bentuk konflik budaya yang serius. Dalam beberapa kesempatan forum-forum diskusi yang pernah saya ikuti, klarifikasi beberapa narasumber yang sempat berproses di negeri paman sam itu menekankan bahwa American Pie bukanlah representasi murni budaya remaja Amerika secara umum, bahkan diakhir diskusi tak lupa disisipkan ungkapan “ jangan lupa untuk skeptic terhadap sesuatu muatan budaya! “. Dalam hal ini skeptis harus dipahami sebagai bentuk kritis yang dapat berfungsi sebagai bentuk filter budaya. Skeptisme menjadi ‘pola kesadaran’ dalam menginterpretasikan sesuatu menjadi lebih dialektis, atau sedikitnya memenuhi aspek diskursif yang argumentatif.

Beberapa waktu lalu, saya bersama beberapa teman yang mengaku sebagai maniak film menonton sebuah film berjudul The Great Debaters. Tidak didukung dengan perlengkapan sound istimewa dalam ruang kedap dan peralatan visual sekelas home theatre sekalipun, kami berlima sudah cukup excited dan antusias. Tanpa diawali overture panjang, Scene film diawali dengan Amerika dalam setting masa-masa depresi tahun 1930-an didaerah Texas. Musik tribal yang dijadikan scoring scene awal malah mengingatkan saya film Apocalypto arahan Mel Gibson. Disebuah pondokan kayu, gemuruh kumpulan afro-amerika menyanyikan lagu-lagu gospel yang sangat lirih, selirih nasib mereka pada masa itu. Stereotipe kaum terbelakang dan belum beradab seakan sangat melekat pada diri orang-orang kulit berwarna. Pada titik ini, film yang diproduksi oleh presenter kenamaan Oprah Winfrey dengan embel-embel Harpo Productions, sarat akan tendensi dalam misinya merehabilitasi citra kaum kulit berwarna di Amerika lewat sebuah karya film. Untungnya film ini diangkat dari sebuah kisah nyata, sehingga mampu sedikit mengurangi aspek subjektivitas dan bias dari pembuatnya; walaupun aspek rekayasa tentu saja pasti tetap ada demi melanggengkan gagasan yang ingin disampaikan pembuatnya. Secara garis besar film ini ingin menyampaikan sebuah perjuangan dalam format wacana pada karya film, yaitu perjuangan akan suatu bentuk persamaan tanpa sekat rasialisme di negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanitas itu, Amerika. Lupakan film Missisipi Burning yang sama-sama mengangkat kegelapan sejarah rasial Amerika, bila Missisipi Burning masih setengah hati mengangkat isu rasial dengan masih menempatkan si kulit putih sebagai superhero atas si kulit hitam, dalam film ini perjuangan kulit hitam sepenuhnya dilakukan oleh kaum kulit hitam sendiri; dengan Danzel Washington (American Gangster) sebagai bintang utama sekaligus sutradara.

Danzel Washington memerankan Mr. Tolson yang berprofesi sebagai profesor di Wiley College, kampus khusus kulit hitam, karena memang universitas di Amerika waktu itu masih memisahkan antara pelajar kulit putih dengan yang berwarna. The Great Debaters menekankan pentingnya pendidikan sebagai senjata paling ampuh untuk merubah keadaan seperti diskriminasi rasial. Beda dengan konsepsi Marx yang hanya percaya pada revolusi proletar untuk memperbaiki ketimpangan sosial ekonomi kaum kebanyakan (baca: buruh). Melalui kompetisi adu debat antar Negara bagian, tim Wiley College sedikit demi sedikit berhasil menanamkan pemahaman baru akan nilai-nilai keragaman dan kebersamaan. Setelah melalui banyak konflik internal dan sosial, akhirnya Harvard University mengundang Wiley College dalam forum debat terbuka yang disiarkan secara nasional lewat radio. Untuk mengetahui kisah selengkapnya, silahkan para pembaca menyaksikannya sendiri.

Oprah Winfrey tentu semua orang sudah mengenalnya, sebagai perempuan kulit hitam dia menjadi salah satu ikon perubahan nasib yang sangat fenomenal. Tentu ada banyak banyak gagasan dalam dirinya untuk disebarkan, terutama bagi kaum-nya sendiri. Dengan sumber daya yang dimilikinya, memproduksi sebuah karya film tentu bukan menjadi halangan yang berarti. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin menekankan betapa gagasan yang ada dalam diri seseorang memiliki kekuatan yang sangat besar untuk diaktualisasikan menjadi sesuatu. Suatu gagasan dapat dianalogikan layaknya sebuah bisul yang mengganggu, toh suatu saat pasti akan meledak juga. Suarakan gagasan kita, mungkin ada banyak manfaat dibaliknya, bukan hanya bagi diri kita, jauh lebih penting menjadi hikmah kepada yang lain. Selamat menyuarakan gagasan Anda!

harismosa@yahoo.co.uk

Sunday 7 September 2008

The Beatles Plagiasi Musisi Indonesia



Saya dapat forward link ke tulisan yang sangat menarik, landing-nya di kunci.or.id, konten-nya renyah dan yang terpenting aseli bikinan dalam negeri loh. Belum sempat saya bongkar-bongkar situs yang diberi nama : Kunci Cultural studies Center ini. Sedangkan link yang tiba-tiba pop up di YM saya khusus bercerita tentang The Tielman Brothers, omong-omong udah pada tau belum siapakah The Tielman Brothers? Sebelum baca artikel itu saya juga nggak mudheng, urung ngerti (belum tahu). Isinya banyak menyodorkan bukti-bukti otentik tentang bagaimana hebatnya musisi tanah air di Eropa pada era 1950an - 1970an. Percaya nggak percaya, band gede sekelas The Who, musisi sehebat Jimi Hendrix, bahkan legenda seperti The Beatles terinspirasi atau ada juga attitude yang jiplak abis dari The Tielman Brothers ini; sebuah band yang di negerinya disebut musik ngak-ngik-ngok.. eh ternyata sangat dihargai di eropa, seperti Belanda, Jerman, hingga Inggris.

Sekarang silahkan menikmati santapan tulisan yang ditulis oleh Ekky Imanjaya berikut ini, dan tuliskan pendapat dalam komentar di posting ini.


The Tielman Brothers, Sebuah CD, dan Kearsipan Kita

Oleh EKKY IMANJAYA


"Halo Amsterdam," sapa Andy Tielman kepada ribuan warga Belanda. Massa pun menyambut dengan tepuk sorak. Dan Rayuan Pulau Kelapa pun terlantun dari mulutnya, diiringi Rene Van Barneveld (alias Tres Manos dari Urban Dance Squad) dan Dinand Woesthoff (vokalis Kane, salah satu band rock paling popular di Belanda saat ini). Dan di tengah-tengah lagu, musik berganti dengan Olesio Sayange. Saat itu, Mereka bernyanyi untuk menggalang dana untuk korban Tsunami Aceh, Desember 2004. Andy Tielman, sang penerima gelar Orde van Oranje-Nassau langsung dari Sri Ratu pada 2005 karena "jasanya dalam mengembangkan musik negeri Belanda" ini masih aktif bermusik dan acap diundang, khususnya di ajang Pasar Malam di setiap kota, dan bahkan saat Hari Ratu 30 April lalu ia bernyanyi di depan Ratu Belanda.

Kita dapat menyaksikan klip ini di YouTube. Dan warga Indonesia sudah selayaknya berterima kasih pada situs ini, karena mereka mengarsipkan banyak sekali memori yang nyaris hilang dari ingatan bangsa Indonesia. Dari pidato Bung Karno hingga Selecta Pop. Termasuk aksi gila-gilaan Andy Tielman dan saudara-saudaranya yang tergabung dalam Tielman Brothers, sejak 1958. Kita dapat saksikan mereka berguling dan mempermainkan gitar jauh sebelum Jimi Hendrix melakukannya. Atau membanting gitar, yang konon menginspirasi The Who. Dan saat itu Paul McCartney dan George Harrison Dari The Beatles, konon kabarnya, ada di antara penonton. Golden Earring adalah salah satu band Belanda yang memuja mereka.

Bangsa kita sedang mengidap Amnesia Akut, gejala yang disitir oleh Andreas Huyssen, dalam Twilight Memories, Making Time in a Culture of Amnesia (Routledge, 1995). Dapat dipastikan, akan sulit ditemui jejak-jejak The Tielman Brothers ini dalam arsip atau pengaruh musik Indonesia. Untunglah ada Jakarta Rock Parade yang mengundang Andy Tielman, yang masih aktif bermusik, untuk bermain dan berkolaborasi dengan beberapa musisi seperti Awan (Sore), David Tarigan, dan Emil (Naif) pada 12 Juli di Tennis Indoors Senayan Jakarta. Juga ada Rolling Stone Indonesia (RSI) khususnya edisi 29/2007 yang membuat pembicaraan soal mereka menjadi gencar (Adib Hidayat, sang pemimpin redaksi RSI menyatakan bahwa bahkan Rolling Stone pusat kaget dan baru tahu tentang fenomena ini!).
Dan Youtube membuatnya kekal, dan sadar atau tak sadar menjadi mediasi bagi kelangsungan memori kolektif bangsa kita, seperti yang digarisbawahi Jose van Dijk dalam Mediated Remains in the Digital Age (Stanford University Press, 2007).

Padahal, pengarsipan sangat penting, bukan bagi masa lampau itu sendiri, tapi justru—seperti yang ditekankan Jacques Derrida dalam Archive Fever (University Of Chicago Press, 1998)—untuk masa depan. Bahkan Derrida menyebut istilah "messianicity" sebagai fungsi arsip.

Tielman Brothers adalah salah satu pelopor genre Indo-Rock. Mereka adalah Reggy (lahir di ssurabaya, 20 Mei 1933), Ponthon (Jember 4 Agustus 1934), Andy (Makassar 30 Mei 1936), Loulou (Surabaya, 30 Oktober 1938), juga Jane sang saudari, dan orang tua mereka, Herman dan Flora. Mereka memulai gerakan "ngak ngik ngok" sejak 1945, di Surabaya, karena sang ayah adalah kapten KNIL yang bertugas di sana. Nama mereka saat itu, The Timor Rhythm Brothers. Setelah hijrah ke Belanda pada 1957, karena menolak menjadi warge Negara Indonesia dan Herman merasa karir mereka akan lebih cemerlang di Eropa, empat bersaudara ini menjadi pusatnya, dan beberapa musisi turut bergabung. Dan mereka pun menjadi legenda.

Namun, di Indonesia, siapa yang mengenal grup yang terkenal dengan bas betot, solo drum, dan aksi tongkat drum dipukul-pukul ke gitar ini? Bahkan di Belanda pun, album-album mereka sangat susah di dapat. Salah satu yang masih tersisa adalah The Tielman Brothers 1964-1965. Itu pun produksi Jerman, Bear Family Records, tahun 1997 (mungkin karena Andy tinggal di sana bersama Carmen sang istri dan Lorraine Jane putrinya yang masih ABG?).

Mereka seolah tak melupakan akar, seperti Andy di ajang Malam Amal Tsunami tadi, lagu-lagu dari Indonesia pun dibawakan. Misalnya Patah Tjingke yang berirama "Ambon Cha Cha". Simak saja Kekasihku yang refrainnya dinyanyikan secara koor. Atau Ketjil Ketjil yang berpantun ria. Sedangkan Ole Sio tentang "Ambon tanah yang ku cinta" dan kerinduan mereka untuk pulang. Dan Dewiku adalah modal buat ngegombal bagi para lajang, lengkap dengan ambient A Taste of Honey dan lirik "…berlayar di laut impian".

Di album ini, Anda akan bertemu karya orisinal mereka, seperti Love So True, Yes I’m In Loe, Little Girl, dan Don’t Go Away. Seperti kebanyakan band saat itu, mereka juga memainkan lagu-lagu popular, seperti Long Tall Sally, Pretty Woman, Sweet Little Sixteen, Unchained Melody, dan Moon River. Tentu saja, tak ketinggalan lagu syahdu semacam Maria dan Bring it on home to Me, atau In My Room. Sementara Mukwai Hula berirama Hawaiian.

Ada beberapa kesalahan data dalam info pada CD. Ada lagu Beatles yang mereka mainkan, tertulis Close Your Eyes (kalimat pertama di lagu itu), harusnya All My Loving. Dan yang terparah adalah lagu Put on Your Eyes yang tertulis karya Lennon-McCartney). Padahal judul aslinya Hi-Heel Sneakers, kaya Robert Higginbotham. Lagu ini awalnya dinyanyikan Johny Rivers, dan pada 1964 Tummy Tucker dan Jerry Lee Lewis mempopulerkannya. Mungkin, sang perusahaan rekamannya ingin mengikuti jejak Close Your Eyes dengan mencatut baris pertama liriknya. Tapi itu pun salah, karena seharusnya Put on Your Red Dress. Sayang sekali, kesalahan "kecil" ini agak menganggu, apalagi jika sang pendengar adalah pengagum The Beatles. Ini adalah bagian dari kacaunya kearsipan permusikan, tidak hanya di Indonesia, tapi dunia.

Soal "kesalahan", saya punya pengalaman menarik saat mencari apa judul sesungguhnya dari Olesio Sayange. Ada banyak versi soal judul. CD the Best of Tielman Brothers 1964/ 1965 ada lagi Patah Tjingke yang mengandung lirik dan irama itu: tapi diakhir lagu ditambah oleh Tielman Brothers dengan lirik "olesio sayange, tanah ambon sudah jauh". Penambahan atau improvisasi serupa dilakukan Andy Tielman dalam aksi penggalaman dana korban tsunami, seperti yang saya sebut di atas. Tapi rupanya ada versi lain Patah Cengkeh yang sama sekali berbeda. Ada yang menyebutnya dengan Ole Sio, walau ternyata ada lagi tembang yang sama sekali berbeda berjudul sama. Ada juga yang menamakannya Olesio Sayange dan itulah yang saya pakai—dan sayangnya tidak ada dalam CD ini.

Yang asyik, di dalam CD ada banyak foto eksklusif mereka sedang melakukan aksi gila-gilaan khas mereka, saat pentas di Kaskade, Koln, 1966.

Dan adakah yang bisa kita lakukan untuk menghargai mereka? Setidaknya, berterima kasihlah kepada YouTube, dan orang-orang yang mengunggah klip-klip mereka.

EKKY IMANJAYA, editor www.rumahfilm.org, mahasiswa S2 Kajian Film Universitas Amsterdam. Kini tengah membuat film dokumenter tentang The Tielman Brothers. Bukunya yang akan terbit adalah Jus Musik.

Alamat halaman ini: http://kunci.or.id/esai/misc/ekky_tielman.htm

Monday 1 September 2008

Ramadhan 1429 H



... Marhaban Yaa Ramadhan..

Satu tahun sudah berlalu, rasanya baru saja minggu kemarin orang ribut-ribut lebaran pertama atau yang kedua. Sholat Ied hari pertama, atau sholat hari berikutnya..

Satu tahun! tentu ada banyak hal yang terjadi, padahal hanya berjangka waktu satu tahun. Satu tahun itu berarti kita cuma 12 kali mengganti halaman kalender disudut tembok rumah kita. 48 kali berakhir pekan. 365 kali bangun dari tidur yang dilakukan pada malam sebelumnya. Tentu dalam 1 tahun hanya sekali kita mendapati hari lahir kita. Ternyata benar memang sudah satu tahun!

Coba renungkan, satu tahun kemarin apa saja yang sudah berlaku dalam hidup kita? Adakah kelahiran bayi yang ditunggu-tunggu, adakah promosi pekerjaan, adakah kelulusan yang dinanti akhirnya datang juga, adakah usaha bisnis yang kian meningkat atau makin terpuruk setahun belakangan, adakah pernikahan yang terjadi, adakah kematian yang menimpa keluarga atau orang dekat disekitar kita dalam satu tahun belakangan ini?

Seseorang yang tahun lalu masih ada bersama-sama kita bersantap sahur, menanti berbuka, besenda gurau sepulang tarawih, dan kegiatan lainnya. Kini sudah tidak ada, tak berbekas selain sisa kenangan indah dalam kejadian setahun kemarin.

Atau satu tahun sebelumnya belum kita dapati si kecil yang teramat lucu, kini hadir ditengah-tengah keluarga, sekarang menjelma menjadi idola semuanya. Serta banyak beragam cerita kejadian yang terangkum hanya dalam jangka waktu satu tahun.


Puji syukur ya 4WI kepadaku engkau percayakan amanah umur ini,
kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan menambah kebajikan.


- Semoga Ramadhan 1429 H menjadi ramadhan paling bermakna -