Tuesday 31 March 2009

" Love For A Child " by Jason Mraz



There's a picture on my kitchen wall
looks like (god) and his friends involved
There's a party getting started in the yard
There's a couple getting steamy in the car parked in the drive
Was I too young to see this with my eyes?

By the pool last night, apparently
The chemicals weren't mixed properly
You hit your head and then forgot your name
And then you woke up at the bottom by the drain
And now your altitude and memory's a shame

What about taking this empty cup and filling it up
With a little bit more of innocence
I haven't had enough, it's probably because when you're young
It's okay to be easily ignored
I like to believe it was all about love for a child

And when the house was left in shambles
Who was there to handle all the broken bits of glass
Was it mom who put my dad out on his ass or the other way around
Well I'm far too old to care about that now

What about taking this empty cup and filling it up
With a little bit more of innocence
I haven't had enough, it's probably because when you're young
It's okay to be easily ignored
I'd like to believe it was all about love for a child

It's kinda nice to work the floor since the divorce
I've been enjoying both my Christmases and my birthday cakes
And taking drugs and making love at far too young an age
and they never check to see my grades
What a fool I'd be to start complaining now

What about taking this empty cup and filling it up
With a little bit more of innocence
I haven't had enough, it's probably because when you're young
It's okay to be easily ignored
I'd love to believe it's all about love for a child

It was all about love...

Monday 30 March 2009

Nukilan Cerita Dari Bandara Soe-tta Part. II

Jam ditangan baru menunjukkan pukul 3.23 dini hari, artinya penantian saya masih cukup lama. Kepul asap dari dalam mangkok instan Pop Mi, menyebarkan aroma kaldu yang menyegarkan sekaligus mengundang selera tentu saja. Duduk disebelah saya, seorang pria berumur sekitar 40 tahunan sambil mengisap rokoknya yang baru setengah jalan. Dari tas jinjing yang dibawa saya kira si Bapak adalah salah satu penumpang pesawat. Tapi kenapa jam segini masih nongkrong disini. Saya coba membuka obrolan, dengan nada seakrab mungkin :
T : "Pak, baru mendarat apa mau berangkat..?"
J : "Iya dua-duanya laah.. hehe"
T : "Loh, kok saya jadi bingung. Emang Bapak dari mana dan mau kemana?"
J : "Dari Papua, mau ke Medan"
T : "Oh.. Jadi Bapak transit di Cengkareng?"
J : "Iya.. Betul itu"
T : "Di Papua Bapak di kota mana? Bapak kerja disana?"
J : "Saya di Timika.. Iya betul kerja, di Freeport"
T : "Wah.. Hebat sekali Pak"
J : "Iya, yang hebat Freeport-nya..hehe Saya cuma kerja di bagian catering-nya saja"
Dan obrolan pun terus mengalir dengan cair..

Antara lain kehidupan didalam pabrik, keluarga yang diboyong Bapak ini ke Papua, kehidupan masyarakat asli, dan seterusnya. Bahagia saya karena banyak informasi yang selama ini saya terima seputar Freeport ternyata tidak sepenuhnya benar. Seperti hasil galian yang banyak orang bilang Freeport menambang emas ternyata tidak sepenuhnya benar. Karena, ternyata sesuai penuturan Bapak ini presentase penambangan Freeport adalah emas yang ditambang hanya sebesar 15% saja; sedangkan sisanya adalah tembaga. Tentu saja nilai tembaga dengan emas berbeda. Kemudian soal pengelolaan Freeport sendiri bukan ada di tangan Amerika Serikat (AS) sebagaimana yang selama ini saya tau. Nama Freeport sendiri sudah berubah dari Freeport-McMorran sekarang telah berganti menjadi Freeport Indonesia. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh peran Negara Indonesia dalam hal pengelolaan yang lebih besar dari sebelumnya. Hal itu juga ditandai dengan para tenaga ahli luar negeri yang saat ini sudah jauh berkurang dibandingkan sebelumnya. Sudah banyak tenaga ahli dalam negeri yang mampu mengurusi operasional pertambangan PT. Freeport Indonesia tersebut. Tapi memang pengelolaan dan keuntungan belum sepenuhnya diambil oleh negara, karena pemerintah sendiri lebih memilih menarik rekanan-rekanan untuk mengurusi operasional tambang.

Lebih jauh, Bapak tadi juga menceritakan beberapa fasilitas yang dia terima selama bekerja di tambang sejak tahun 1998. Seperti sarana tempat tinggal yang disediakan, sarana pendidikan, kesehatan, dan rekreasi; yang kesemuanya ditanggung oleh pihak perusahaan. Seperti urusan pendidikan, biaya sudah ditanggung oleh pihak Freeport sepenuhnya kepada anak usia sekolah hingga anak para pekerja tambang lulus jenjang wajib belajar 9 tahun. Memang sudah semestinya seluruh perusahaan di Indonesia melakukan hal yang sama seperti dilakukan oleh Freeport kepada para pekerjanya. Tentu kehidupan Sosial-ekonomi masyarakat akan terbantu. Semoga saja, tapi tidak pernah tau kapan hal itu bisa terwujud.

Setelah Pop Mi saya habis begitu juga dengan batang rokok yang saya matikan, saya beranjak dari tempat tadi setelah bersalaman dengan si Bapak sambil mengucapkan selamat jalan. Saya kembali perhatikan jam di tangan, jam 4 kurang 10 menit. Di KFC saya mulai membuka laptop dan mulai blogging dan browsing ini itu.

Hingga akhirnya waktu sudah menunjukkan jam 5.10 pagi. Acara internet saya cukupkan sampai disini, dan naik ke lantai atas untuk sholat subuh. Ternyata, keanehan saya dengan bandara yang kita banggakan ini belum juga selesai. Apalagi kalo bukan soal musholla yang mengecewakan? Coba aja Anda bayangkan sendiri, masak musholla kelas bandara internasional kualitasnya kalah jauh dibandingkan musholla-nya mal-mal di Jakarta; sebut aja Plaza Senayan atau Senayan City sebagai perbandingan. Musholla bandara, udah mana sempit, becek, dan sangat menganut azas 'seadanya'. Dan yang paling menggangu adalah shaf yang disediakan untuk perempuan berada di perlintasan orang masuk yang menuju tempat mengambil wudhlu laki-laki dan perempuan? Bayangkan juga gimana semrawutnya, menyedihkan sekali bagi saya, karena potensi perempuan yang batal wudhlu-nya akan semakin besar karena harus bersentuhan dengan laki-laki yang baru masuk atau yang menuju keluar. Hal ini tentu mesti menjadi perhatian penting bagi pengelola bandara, jangan hanya mengaharapkan pemasukan yang besar dari seluruh aktivitas para konsumen penerbangan yang sudah harus membayar bukan dengan jumlah yang sedikit. Komentar saya belum termasuk keadaan toilet yang sangat jauh dari standar rata-rata toilet umumnya di bandara-bandara negara lain, bukan kah seharusnya pemerintah kita malu? Maka itu, jangan mangkel jika jumlah kunjungan wisata Malaysia jauh lebih besar dibandingkan dengan negara kita. Malahan sekarang Malaysia sudah berhasil menjadikan sektor pariwisatanya sebagai primadona sumber pemasukan negara, karena concern-nya yang sangat besar dalam hal melengkapi segala infrastruktur mulai dari bandara hingga segala fasilitas pelengkap lainnya.

Jam 5.50 saya sudah berdiri manis di area penjemputan bersama dengan sanak-keluarga lain, yang mungkin juga sedang menantikan anggota keluarga yang baru tiba dari berpergian; sama sepertinya saya sekarang ini. Dari suara pengeras, terdengar seorang wanita menginformasikan dalam 2 bahasa, Inggris dan Indonesia, bahwa penerbangan GA 981 sudah mendarat.. Alhamdulillah, saya bersyukur kepada 4WI karena keluarga diberikan keselamatan selama perjalanan umroh ini. Pukul 6.20 saya sudah melambaikan tangan kepada keluarga yang tampak dikejauhan. Rombongan disambut oleh perusahaan travel Cordova sebagai pelaksana dan penanggung jawab perjalan ini, kami sekeluarga berpeluk cium melepaskan kerinduan setelah berpisah selama 5 hari kemarin. Setelah sekitar 15 menit kami menunggu di hotel transit bandara sambil menyantap hidangan ringan, proses pengurusan bagasi telah selesai. Pada kesempatan sarapan ini juga saya baru mengetahui duduk perkara arrival schedule yang mundur hingga 3 jam. Hal ini disebabkan keperluan transit di Riyadh untuk pengisian Avtur, sedangkan keluarga saya mengabarkan jadwal kedatangan jam 3 pagi, karena memang ETA yang tertera dalam tiket Garuda Indonesia yang dipegang menunjukkan waktu itu; wah pantesan regulator penerbangan Eropa nge-banned GA lalu lalang diatas wilayahnya, nah urusan kecil begini aja kadang masih luput dari perhatian. Akhirnya, kami sekeluarga akhirnya pulang setelah saling bersalaman-salaman dan saling mendoakan dengan sesama jamaah umroh lainnya.

Alhamdulillah perjalanan umroh keluarga saya dilancarkan mulai dari berangkat hingga kembali pulang ke tanah air. Selain itu, saya juga mendapat tambahan kebahagiaan dengan pengalaman yang saya dapat selam proses menunggu tadi..

Salam!

Nukilan Cerita Dari Bandara Soe-tta


Pepatah Inggris benar adanya..
Minggu (29/3) pesan singkat sampai di ponsel saya, kira-kira isinya seperti ini "Haris, jgn lupa jemput di airport Terminal 2E GA 981 (Jeddah) jam 3 pagi..". Saya sempat keget, diluar perkiraan karena estimasi saya umroh yang dilakukan keluarga akan memakan waktu sekitar 6-7 hari. Padahal, keluarga sendiri berangkat dari Jakarta baru hari Kamis (26/3) berarti umroh ini cukup makan waktu 5 hari saja, termasuk lama perjalanan Jeddah-Jakarta. Oke, pikir saya informasi suduh cukup jelas hingga tak perlu cek ulang arrival schedule Garuda Indonesia via online. Singkat cerita, berangkatlah saya dari rumah di bilangan BSD City pukul 2 pagi kurang 5 menit. Hanya butuh 30 menit aja waktu perjalanan dan saya sudah beres parkir kendaraan di Terminal 2 bandara area E6, tepatnya didepan jalur pick-up point kedatangan.

Kecurigaan saya mulai timbul ketika Gate 2E kok sepi-sepi aja, coba bandingkan Gate 2D yang dipenuhi para keluarga penjemput. Hati saya bergumam, dimanakah letak kesalahannya? Informasi yang saya terima, intrepetasi saya atas informasi atau ada hal yang lain? Coba-coba saya gali informasi lebih dalam. Karena setelah saya perhatikan arrival board pada layar LCD, ternyata ETA (estimation time arrival) GA 981 tercantum 06:05. Beda dengan pesan SMS yang saya terima dari keluarga yang tertera jam 3 pagi. Bingung punya bingung, saya hampiri information center Gate 2E. Loh, kok yaa bisa-bisanya information desk-nya kosongan? Orang butuh informasi kan ya ndak pake pilih-pilih waktu. Masak akhirnya keterangan soal simpang siur jadwal arrival plane akhirnya saya dapatkan dari seorang Bapak cleaning service bandara sih, tanpa maksud sedikitpun mengecilkan peran Bapak tadi loh. Cuman hal ini kan berhubungan dengan aksesibilitas information center bandara Soekarno-Hatta dengan cap tebal sebagai Bandara Internasional milik negara.

Jadilah niat baik saya untuk datang lebih awal dari semestinya tidak berbuah manis sebagaimana orang tua dulu selalu menasehati "kalo punya janji datanglah lebih awal, karena menunggu itu lebih baik daripada ditunggu..". Sebaliknya saya juga jadi teringat pepatah orang Inggris yang mengatakan "datang lebih awal dari janji yang kita buat, sama buruknya dengan datang terlambat..". Kalo dipikir-pikir lagi ternyata pepatah kedua ada benarnya juga, saya membatin. Itulah inti dari konsep on time, yang menempatkan waktu sebagai suatu hal yang sangat berharga sekaligus mahal harganya. Buat apa waktu kita buang percuma hanya untuk datang lebih awal dan menunggu, apalagi jika kasusnya kita yang datang terlambat dalam suatu appointment; karena jika kita melakukan hal yang kedua ini kita sudah melakukan 2 dosa secara bersamaan, yaitu kesatu kita akan membuang waktu dan kesempatan kita sendiri; dan yang lebih parah lagi kita membuang waktu orang lain karena keterlambatan yang kita lakukan. Hal ini penting menurut saya untuk dipikirkan, karena pepatah sendiri mencerminkan watak dari kultur manusia yang menciptakan pepatah itu, bukan?

Catatan Cerita Dari Bandara
Kesalahan saya yang datang jauh-jauh hari memang terkesan merugikan, namun tidak ingin saya larut dalam kekesalan ini. Untung aja, khas orang kita walaupun keadaan kurang menyenangkan bagaimanapun kita sering kali masih menyelipkan kata 'untung' hehe.. untung sebelum berangkat tadi, saya selipkan Laptop dalam tas kecil saya; jadi sambil mengisi kekosongan ini saya bisa sambil nge-blog dan update Facebook untuk sekedar killing time sampai pagi mulai terang. Hal pertama yang saya pikirkan adalah tempat! Mau nongkrong dimana nih.. apalagi batere laptop cuma tersisa 46% dan pasti gak akan cukup buat durasi pemakaian 3 jam kedepan. Berbeda sekali dengan pengalaman saya pada satu kesempatan di akhir tahun kemarin, pada saat saya harus menanti 2 jam keberangkatan dari Changi Airport Singapura. Ketika itu, waktu 2 jam terasa sangat singkat tanpa terasa. Bagaimana nggak? segala fasilitas lengkap disediakan di Changi, seperti beberapa booth Nintendo X-Box bagi para gamers yang masing-masing dilengkapi 5 unit beserta HDTV berukuran besar, arena kids sports yang bersih dan lengkap, stand makanan yang jumlahnya sangat banyak, akses internet cepat yang jumlahnya hingga puluhan unit diseluruh penjuru airport, bahkan ruang tunggu penumpang menjadi satu dengan mall, dan segala macam fasilitas lain yang sangat memanjakan konsumen penerbangan; sangat menyenangkan.

Anyway akhirnya pilihan saya jatuh pada stand KFC yang memang kebetulan tempatnya persis didepan Gate 2E dimana saya harus stand by. Tapi sebelumnya biar acara nge-blog saya makin afdol, saya mesti sedia dulu logistik rokok yang sekarang cuma tersisa 4 batang dikantong. Celingak-celinguk ke kiri ke kanan toko-toko udah pada tutup, payah! Gak mungkin lah saya mesti keluar kompleks bandara untuk hal ini dong. Ikhtiar saya akhirnya terjawab. Tepat dibawah patung ukiran suku Asmat yang ukurannya lebih mirip tugu letaknya di areal parkir bandara, lamat-lamat saya lihat cahaya lampu minyak berpendar dan ada sekitar 5-6 orang berkumpul sambil duduk-duduk lesehan. Pikir saya ngapain nih orang pada kumpul ditempat remang-remang macam begitu? Nah, ternyata dari tumpukan Pop Mie tersusun rapi 2 tingkat yang digelar seorang penjual saya baru sadar kalo disitu ada tempat jualan, kok bisa yah? Di bandara ternyata ada juga PKL-nya. Tapi saya ngga ambil pusing, dan saya hampiri aja tempat itu dan ternyata benar ibu-ibu yang menjual aneka gorengan dan kopi seduh itu ternyata juga menyediakan beragam pilihan merk rokok.

Satu sifat buruk saya yang sok suka kepengen tau segala macem dan memang hobi nanya-nanya; jadi langsung aja saya tanya sekalian ke ibu-ibu penjualnya itu. Dan kira-kira begini isi obrolan saya :
T : ''Bu, beli rokoknya Bu.. Sampurna mil ada?"
J : "Ada.. mau beli berapa bungkus de..?"
T : "Yah sebungkus aja lah.."
J : "Eh iya, maksudnya itu.. nih" sambil memberikan bungkus rokok.
T : "Ngomong-ngomong boleh Ibu jualan disini?"
J : "Ya, boleh ngga boleh juga sih.. asal uang keamanannya beres mah ya boleh"
T : "Jadi ibu jualan disini bayar"
J : "Ya iyalah.. kalo ngga mana bisa?"
T : "Ohh begitu.. kalo gitu saya tolong dibuatin Pop Mi-nya sekalian ya Bu"
T : "Jadi semuanya berapa Bu?"
J : "Jadi 15 ribu"
T : "Ini Bu, pas.. makasih ya"
J : "Iya, sama-sama.."

Jadi ternyata entah resmi atau ngga resmi, pedagang PKL diizinkan juga berjualan didalam kompleks bandara sepanjang 'uang keamanan' dibayarkan oleh para penjualnya. Saya coba melihat dari segi ketertiban umum dan keindahan, tentu hal ini cukup mengganggu ketertiban bandara. Karena bagaimana pun bandara kan gerbang masuk negara, terutama yang berasal dari mancanegara. Bukan maksud hati untuk 'JAIM' dari bangsa lain, tapi image sebagai bangsa yang tertib itu ya penting juga toh. Analoginya, kalo dari pagar rumahnya aja udah ngga tertib; gimana daleman-nya coba? Bukan kepengen saya menggusur lahan rejeki orang seperti ibu-ibu tadi, toh saya yang butuh rokok pun dimudahkan dengan keberadaan penjual seperti ini. Tapi, apa bukan sebaiknya kalau para pedagang ini difasilitasi dengan baik? Selain bandara akan terlihat lebih tertib, tentu dapat menjadi potensi pemasukan yang riil juga bagi negara toh? Bukan jadi lahan untung sebagain kecil orang aja yang merasa berhak mendapat bagian lewat retribusi liar berlabel 'uang keamanan' tadi.

Jam ditangan baru menunjukkan pukul 3.23 dini hari, artinya penantian saya masih cukup lama. Kepul asap dari dalam mangkok instan Pop Mi, menyebarkan aroma kaldu yang menyegarkan sekaligus mengundang selera tentu saja. Duduk disebelah saya, seorang pria berumur sekitar 40 tahunan sambil mengisap rokoknya yang baru setengah jalan. Dari tas jinjing yang dibawa saya kira si Bapak adalah salah satu penumpang pesawat. Tapi kenapa jam segini masih nongkrong disini. Saya coba membuka obrolan, dengan nada seakrab mungkin :
T : "Pak, baru mendarat apa mau berangkat..?"
J : "Iya dua-duanya laah.. hehe"
T : "Loh, kok saya jadi bingung. Emang Bapak dari mana dan mau kemana?"
J : "Dari Papua, mau ke Medan"

..to be continued..

Tuesday 24 March 2009

Mengintip Interaksi Sosial Alternatif Dalam Branded Product


Satu sore yang sumpek di Pejompongan..
Berada di jalan-jalan Jakarta waktu sore bukanlah hal yang menyenangkan. Ritual sore hari di Jakarta belum berubah, yah macet menjadi realitas pahit yang mesti ditelan bulat-bulat warganya tanpa ampun. Kejadian saling serobot, menang sendiri, dan menjadi arogan seakan menjadi bumbu penyedap kekacauan jalanan Jakarta. Toh, warga Jakarta masih tetap bertahan artinya mereka menerima hal itu, jika nggak mau dibilang masih betah tinggal disini.

Satu waktu saya punya keperluan meeting di daerah Sudirman dan baru selesai menjelang pukul 5 sore. Jam 5 sore keatas memang jadwal prime time acara macet-macetan di daerah bisnis; seperti Sudirman dan sekitarnya. Kebetulan di hari yang sama motor saya sedang masuk kamar perawatan di bengkel langganan dan baru selesai hari berikutnya; jadilah saya dengan sukses ngeteng naik kendaraan umum. Maksud hati menghindari macet, saya ambil insiatif ambil jalan alternatif akses Pejompongan. Tapi hasilnya justru terjebak di dalam kemacetan yang bikin panas kepala. Blue Bird yang saya tumpangi parkir mendadak di depan hotel Shangrila, karena jalanan stuck sudah hampir 20 menit. Habis kesabaran dengan argo taksi yang terus berkedip dan makin bertambah, saya nekat turun; mendingan juga jalan pikir saya dalam hati. " Pak, sudah saya sampai disini aja deh.. Makasih pak " saya bergegas turun setelah menerima uang kembalian dari pak taksi yang nggak kalah mangkelnya.

Ternyata keputusan nekat saya bukanlah keputusan yang tepat. Karena untuk berjalan di trotoar jalan pun butuh perjuangan besar, karena saya mesti berbagi lahan dengan motor-motor yang ternyata jauh lebih nekat untuk sekedar menyalip sesama pengendara motor didepannya. Dua kali sikut saya terserempet motor, gawatnya mereka cuma ngeloyor pergi; menoleh korbannya pun nggak. Waduh kalo model begini sih saya nyerah deh. Sampai di depan Pemakaman Umum Karet saya melihat bemo yang putar balik dan tanpa pikir panjang saya setop dengan satu lambaian tangan, jadilah saya penumpang ke-4 didalam bemo sumpek dan sempit itu. Sebelum saya sudah ada 3 penumpang lain, 2 perempuan dan 1 laki-laki. Tipikal orang Jakarta yang individualitasnya setinggi langit, senyuman saya tidak berbalas; yasudahlah kenal pun nggak toh. Belum lepas 20 meter dari posisi saya naik ternyata ada 2 penumpang baru yang ikutan naik, saya pikir saya-lah penumpang terakhir; ternyata nggak!.

Setelah jumlah penumpang mencapai 6 orang, bemo rasanya jadi 'neraka'. Panasnya udara makin ketara, aroma badan setelah seharian bekerja ditambah parfum berbagai merk pun campur aduk jadi satu baik cowok maupun cewek; suasana jadi lembab dan nggak karuan. Dari penampilan penumpang lain saya coba-coba identifikasi, mereka sama seperti saya; belum genap mencapai 30 tahun dan baru pulang dari tempat bekerjanya masing-masing. Tapi, satu hal yang bikin saya bingung adalah kondisi dengkul antar penumpang yang saling menempel ternyata belum cukup untuk sekedar membuka bahan obrolan (berinteraksi). Entah karena pikiran bahwa berinteraksi dengan orang asing hanya membuang-buang energi, atau karena tingkat kewaspadaan yang terlampau berlebih hingga individualitas kaum urban sangat kuat.

Saya adalah TOD'S dan ZARA saya..
Entah dengan mereka, tapi pikiran saya berkecamuk sepanjang perjalanan panas dalam bemo ini. Satu penumpang perempuan yang duduk paling luar mengeluarkan Blackberry-nya dengan silicon warna oranye dari dalam tas Bottega Venetta. Asik perempuan itu mengobrol dengan seseorang diujung telepon sana, kadang tersenyum, atau kadang hingga tertawa keras. Penumpang cowok selain saya, juga sibuk membalas sms dengan handphone Nokia CDMA keluaran lama. Sekilas saya menilai, strata sosial kedua orang itu berbeda; jelas penilaian saya didasarkan pada merk dan jenis ponsel yang mereka gunakan.

Lain cerita dengan cewek disebelah saya yang mulai mantuk-mantuk mungkin karena matanya sudah ngantuk. Saya perhatikan tas jinjing-nya bermerk TOD'S, yang kebetulan 2 hari lalu saya lihat sama persis model dan warnanya di majalah Harper's Bazaar; komentar saya WOW! Branded Booook.. Atau perempuan yang dengkulnya bertempelan dengan saya, coba perhatikan jam tangan nya Cartier yang setahu saya itu juga bukan merk sembarangan. Coba bandingkan dengan perempuan disebelahnya, dengan tas jinjing ber-merk Sophie Martin dan jam tangan Alba; tentu pikiran saya mengatakan, si TOD's dan Cartier pasti strata sosialnya lebih tinggi.

Jalanan belum juga bersahabat, suara klakson saling bersambut tanpa harmonisasi sama sekali; seakan jadi penyambung lidah para pengendaranya yang mulai hilang kesabaran. Si bemo sendiri jalan berlelet-lelet macam siput, padahal jam ditangan sudah menunjukkan pukul 7:15.

Kembali pandangan saya tujukan ke para penumpang bemo ini yang sebelumnya saya 'telanjangi' status sosialnya dari barang-barang yang mereka pakai. Saya putar ulang pikiran saya, kok bisa-bisanya saya menyimpulkan status sosial orang-orang ini? karena sejak saya naik kedalam bemo hingga sekarang, tak ada sepatah kata pun yang terucap antara saya dengan mereka sebagai bentuk komunikasi sebagai media transfer informasi tentang hal ini. Apakah cukup fair dan berdasar perkiraan saya? Apakah barang bermerk yang mereka pakai betul asli, atau malah barang Melawai dan Mangga Dua? Apakah penampilan mereka merupakan wujud asli yang merepresentasikan status sosial mereka sebenarnya atau justru hanya menjadi topeng dari para pemakainya? Pertanyaan yang cukup mendasar dan cukup mengusik perhatian saya.

Interaksi simbolis, interaksi alternatif..
Coba lebih dalam saya buka lembaran-lembaran memori pikiran sebagai mahasiswa sosiologi beberapa tahun yang lalu. Metode komunikasi dan interaksi seperti diatas sebetulnya sudah dibahas oleh para sosiolog terdahulu, dan cara 'pembacaan simbolik' seperti itu dinamakan Interaksionisme Simbolik oleh G.H Mead sebagai penemunya. Pemikirannya terfokus pada metode interaksi dalam suatu kondisi spesifik melalui daya pembacaan simbol-simbol yang nampak dan di-selaraskan pada social action seseorang. Dalam kasus ini, tercermin pada para penumpang bemo dan harmonisasi penampilan yang dipilihnya. Artinya, terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa model penampilan yang dipilih didasari orientasi 'keluar' untuk dijadikan media komunikasi yang tersembunyi (implisit). Artinya, Anda atau saya sendiri dapat menyampaikan pesan-pesan yang unik dalam penampilan, salah satunya untuk menegaskan status sosial Anda, atau sebaliknya justru menyembunyikan status sosial Anda yang sebenarnya.

Secara sederhana, Anda ingin dinilai sebagai TOD'S atau ZARA yang Anda kenakan. Dan hal ini dilakukan secara sadar dan terencana sebelum Anda meninggalkan rumah Anda untuk beraktivitas, Anda merangkainya menjadi satu untuk diperhatikan oleh orang lain! Apakah aksi yang terkesan pamer ini lumrah? William Isaac Thomas menjawabnya, sosiolog pertengahan 1930-an ini menemukan beberapa elemen kejiwaan manusia yang wajib dipenuhi, yaitu salah satunya 'mandapatkan penghargaan' secara sosial. Sehingga rumusan Thomas menjelaskan bahwa hal itu adalah elemen kejiwaan manusia dan lumrah.

Atau mungkin rumusan Irving Goffman dalam konsep Dramaturgi-nya yang terkenal itu bisa memperjelas hal ini. Goffman menganalogikan bahwa kehidupan seseorang dalam hidup ini bagaikan kehidupan panggung yang penuh dengan rekayasa dan pertimbangan secara sosial. Mungkin hal ini juga menjelaskan mengapa penampilan kita berbeda saat menghadiri resepsi pernikahan di hotel berbintang dengan acara arisan keluarga di salah satu mal atau cafe. Bedanya seorang wanita karier saat mempresentasikan gagasan-nya di forum meeting formal dengan caranya menjelaskan alasan telat pulang kantor kepada putrinya di rumah. Rekayasa dan pertimbangan memang mutlak diperlukan toh.

Ditengah individualisme masyarakat perkotaan Jakarta seperti sekarang, saya pikir menjadi konsekuensi logis jika interaksi dialogis melalui bahasa dan obrolan memang menemui banyak sekali keterbatasan. Dengan demikian, diperlukan satu metode interaksi alternatif yang applicable. Interaksi sosial adalah hukum wajib dari bangunan lingkungan sosial, dengan kebutuhan penghargaan akan eksistensi seseorang ditengah lingkungan masyarakatnya yang juga mesti terpenuhi. Sehingga interaksi melalui perantaraan simbolis seperti dalam hal penyampaian status sosial yang implisit melalui merk barang-barang branded menjadi begitu logis adanya; tentu sejauh para pesertanya menerima metode ini.

Lamat-lamat volume kendaraan makin berkurang, saya pun turun dari bemo tadi yang berbelok menuju Bendungan Hilir, kemudian saya melanjutkan perjalanan dengan taksi. Sambil duduk di kursi belakang yang lapang dan suhu ruangan yang sejuk, saya belum selesai memikirkan realitas yang baru saya alami di bemo tadi. Adakah kita mewujudkan kepribadian yang sebenarnya dalam penampilan, atau justru kita bersembunyi dibalik penampilan yang kita kenakan sebagai 'topeng kepribadian' kita sendiri?

Intinya saya ingin segera sampai dirumah, dan mandi air hangat supaya besok bisa beraktivitas kembali dengan kondisi terbaik...