Sunday 23 November 2008

Kemacetan Jakarta dan Kebijakan irrelevan




Tentu kamu pernah dengar di macam-macam media belakangan, baik itu koran, majalah, TV, internet, dan lain-lain seputar betapa pusingnya pemerintah daerah ibukota Jakarta mengurutkan kembali benang kusut kemacetan jalan raya di kota ini, Jakarta. Iya, pusing dan sepertinya nyaris give up juga untuk membenahi karut-marut-nya lalu lintas ibukota. Padahal, sejauh ingatan saya; Foke (sapaan akrab gubernur Jakarta) menjanjikan formulasi yang mampu membereskan masalah kemacetan yang memang sudah sangat parah ketika jaman die kampanye dulu. Gila-nya, kemacetan di Jakarta ini tingkat ke-parahan-nya makin bertambah hari per harinya.

Awalnya sih, saya pribadi agak-agak terhibur dengan background pendidikannya yang Insinyur lulusan Jerman. Karena, itung-itungan gobloknya aja nih orang yang lulus dari sekolahan eropah minimal harus pinter, kan? Ini Insinyur pula. Tapi, Walau bagaimana Foke juga manusia biasa juga yang mutlak ada kekurangannya. Rencana sih tinggal rencana, tapi hasilnya belum juga kerasa. Padahal masalah benang kusut jalanan macet toh bukan lagi barang baru, malahan udah jadi musuh para pemakai jalan di Jakarta ini, bang. Derasnya pertambahan jumlah mobil-mobil baru yang turun ke gelanggang jalanan Jakarta mencapai ribuan setiap hari, ironisnya jalanan-nya juga cuman segitu-gitu doang.

Boleh jadi kebijakan Pemerintah Daerah ini dengan mempercepat jam masuk sekolah setengah jam lebih awal, merupakan fomulasi yang paling serius semenjak Jakarta dipegang Foke. Kita semua tau, ada beberapa kebijakan terdahulu dari pemerintah daerah yang dikordinasikeun bersama-sama pihak kepolisian. 3 in 1 misalnya, peraturan ini mewajibkan para pengendara kendaraan pribadi menjejalkan minimal 3 orang ke dalam 1 mobil. Apa langkah ini berhasil? Jawaban saya.. umm lumayanlah, maksudnya lumayan hancur sekali! Lah abis, target yang utamanya memaksa pemakai mobil untuk mengangkut segala macam keperluan dalam 1 mobil akhirnya cuman jadi aksi bodoh-bodohan dan kucing-kucingan aja. Yah, gimana nggak? Nggak selang berapa lama kebijakan 3 in 1 berlaku, muncul deh tuh joki-joki 3 in 1 disepanjang jalanan yang ditetapkan sebagai area 3 in 1. Lah terus, buat apa coba program ini terus dipertahankan?! Memang jujur jalan-jalan protokol macam Sudirman-Thamrin-Gatsu (Gatot Subroto) sedikit tertolong. Tapi gimana nasibnya jalan yang ada diseputaran Jalan Protokol tadi, Mas? Sebut aja daerah Senayan, Pejompongan, Benhil, Karet, dll. malahan kok tambah parah?.

Atau kalo dilihat blue print perencanaan Sutiyoso untuk menanggulangi macet malah nggak jelek-jelek amat loh. Ada keinginan untuk membangun sistem transportasi terpadu di Jakarta. Awalnya, niatan memindahkan pengguna mobil dan motor ke sistem transportasi ini; TransJakarta, sampe dibikin juga bus-bus penganggkut sebagai feeder di wilayah hinterland Jakarta macam BSD City, Bintaro Jata, Lippo Karawaci, Kemang Pratama, dll. Tetapi sekali lagi, rencana tinggal rencana; beberapa koridor Busway masih bisa bebas dilalui kendaraan pribadi, lah Bus-nya memang belum ada kok. Bikin-nya aja yang bikin macet dimana-mana. Tapi tetep, walaupun patut diakui memang Busway menjadi angkutan terfavorit di Jakarta saat ini. Tapi targetan awal dan yang utama sama sekali nggak tercapai. Paling parah proyek Waterway, yaa mana mungkin laku kalo sungai-nya masih kotor dan jorok begitu mau dijadikan transportasi massa.

Untuk memajukan jam masuk sekolah 30 menit lebih cepat emang baru bisa dibuktiin begitu sudah dilaksanakan Januari nanti. Katanya hal ini sudah dilakukan kajian mendalam dan riset yang berkesinambungan, wahwahwah.. Hebat!

Semoga saja, semoga berdampak positif Pak Gubernur..

Thursday 20 November 2008

Budaya Pop (culture), Kenapa Begini..Kenapa Begitu



Pop culture, wow baru dengernya aja udah gimana gitu rasanya. Tema ini emang sempet banget terdengar sangat sexy (wahh.. lebay bgt nih!), terutama waktu jaman-jaman saya kuliah kemarian. Se-sexy tema-tema feminis, cultural studies, hermeneutika, psikoanalisis dan rekan sejawatnya yang lain. Tapi kali ini aku mau ngobrol soal Pop Culture dulu aja, ini pun nggak akan sampai nyentuh-nyentuh teritori teoritis segala. Cuma, hehe 'take a look around' aja sih gimana keadaan lingkungan sekitar kita sekarang ini. Iya, terutama yang ada hubungannya sama behaviour as a common. Apa sih Pop Culture itu?

Soal definisi bisa-bisa ada ribuan penjelasan, dengan ratusan sumber, dan jutaan penafsiran; nah pusing nggak loh?. Dari sekian banyak penjelasan itu, saya sih hampir yakin kalo Pop Culture mengandung stigma negatif yang sangat jauh lebih dominan, jika dibandingkan; atau mungkin sama sekali nggak punya aspek positif sama sekali untuk sekedar di-negasikan dengan stigma yang udah terlanjur dianggap negatif itu tadi. Seakan-akan Pop Culture itu sangat merusak, bersifat destruktif, pokoknya elek biiangeeeet lah.

Yang namanya gagasan, siapapun boleh aja mengajukan (satu atau bahkan lebih); misalnya pendapat yang menganggap Pop Culture itu tadi sebagai konten budaya yang negatif. Kenapa Pop Culture begitu diserang? Ini dia pertanyaan yang menarik perhatian saya. Dari sisi historis, musuh besar Pop Culture adalah pihak struktural yang mapan, kaum religius yang mempunyai pengaruh penting sebagai lembaga sosial keagamaan, maupun pihak-pihak lain dengan perspektif dan prosedur tingkah-laku pendahulu, termasuk juga kaum akademisi. Kayaknya kok nggak 'intelek' kalo nggak ikut-ikutan membendung Pop Culture yang berkembang di masyarakat sekarang ini. Mereka yang ikut terhempas kedalam pusaran gaya hidup Pop Culture dianggap kerdil, bodoh, dan anti-kritik. Wow.. demikian buruk bagi mereka trend follower budaya populer.

Nah, sampe sini mulai deh muncul sisi-sisi skeptisme saya muncul. Sebetulnya ada kepentingan apa sih dari mereka yang kontra sampa-sampai Pop Culture dianggap sebagai wabah penyakit kotor yang mesti dihilangkan? Jawabannya, dibalik itu pasti ada kepentingan tertentu. Alasan eksistensi kah, moralitas kah, tradisi kah, atau apa?

Menurut saya, point of view yang mereka gunakan mesti berangkat dari pakem lama, pranata terdahulu. Dimana-mana, namanya pakem lama mesti berjuang mempertahankan status quo yang dianggap sudah ideal, jadi jangan diganggu. Padahal punya pemikiran ini saja sudah berani menantang hukum alam yang berbunyi "takkan ada yang pernah berubah selain perubahan itu sendiri", bukan?. Jadi, kalo begitu betul nggak kalo Pop Culture saya pahami sebagai konten budaya yang baru, nuova vouge--gelombang baru, sebuah inovasi dari prosedur tingkah laku yang kebetulan sebelumnya sudah ada. Oke, saya berusaha konsisten pada pemahaman saya untuk memahami Pop Culture sebagai sesuatu yang baru, bernegasi hingga bertarung dengan kemapanan sistem yang lebih senior.

Ada satu poin yang saya identifikasi dari pemahaman para encounter Pop Culture, bahwa pembacaan dan penafsiran yang mereka lakukan didasari oleh standar mereka sendiri. Sesuatu yang baru, 'nggak biasa', asing, bahkan absurd tentu bergerak diluar pakem-pakem yang selama ini mereka anut dan dijalankan dengan setia; karena menurut mereka hal itulah memang yang dianggap paling ideal. Kok, saya merasa lebih sreg jika memandang Pop Culture dalam gagasan relativitas waktu. Jika Einstein memandang waktu sebagai 'karet' yang lentur dan bisa memelar (atau dibuat melar maupun mengkerut) sedemikian rupa. Maksud saya, baik jaman sekarang ataupun jaman dulu prose menentang Pop Culture sudah ada, sekedar istilah dan kajian-nya saja baru populer di dekade belakanangan ini. Jadi buat apa meng-counter sesuatu yang nggak bakal bisa dibendung akhirnya.

Masih ingat The Beatles, yang saat awal kemunculannya dianggap membawa pengaruh musik yang cacat. Ringo Star merubah stroke pada snar drum, dari pakem rock n roll sebelumnya. Koes Ploes, ditangkap dan dikurung karena dibilang main musik 'ngak-ngik-ngok'. Hippies, generasi bunga yang hidup layaknya orang gila karena mereka hidup dengan cara yang berbeda. Atau Diane Arbus, Andy Warholl, Galileo Galilei, dan mereka semua yang dianggap buruk di masa-nya, tapi berakhir menjadi legenda, juga dipuja karena berhasil merubah pakem-pakem sebelumnya. Perubahan mereka harus diakui akhirnya menjadi budaya populer (Pop Culture) juga, toh?.

Sekarang, Pop Culture tercela karena sifatnya yang meracuni orang-orang untuk makin lebih konsumtif, apatis, pragmatis, bahkan fatalistik. Sosialisasi di media massa yang jadi kambing hitam-nya. Wawllohu alam, katanya sih emang begitu. Untuk membersihkan Pop Culture yang merusak, berarti saringan konten siaran media massa harus dihidupkan lagi? Untuk ini perlu kajian lebih panjang deh, kurang banget kalo cuman ngandelin postingan ini aja.

Tapi untuk perbandingan aja nih, pengalaman saya tinggal 3 hari di Badui dalam, Banten. Nggak ada sama sekali pengaruh luar yang berhubungan dengan tradisi yang diizinin masuk ke lingkungan mereka, boro-boro media massa. Hasilnya tradisi-budaya, kepercayaan, metode hidup mereka bisa dilestarikan sedemikian rupa. Mirip dengan kaum Amish di Amerika yang mengurung diri dari penetrasi budaya yang asalnya dari luar kehidupan mereka. Tapi apa mungkin media massa dibendung?

Jadi kamu yang ikutan Pop Culture atau yang counter budaya populer itu..?

cheers ;D

Sunday 9 November 2008

Sekedar Test Drive (New Audi A4)

Sehari-hari gue terabas jalanan Jakarta pake motor. Walaupun nggak butut-butut amat, tapi motor gue tadi jauh banget dari kata canggih, keren, trendy, dan semacamnya itu. sekedar penghibur hati, bersyukur sajalah dulu yang penting ke kantor sampe dan selamat juga pulang ke rumah; Alhamdulillah. Tentu bukan tanpa sebab kenapa gue milih motor untuk dijadiin kendaraan sehari-hari. Pertama, dengan motor bebek itu waktu perjalanan bisa dikompromikan kalo dibandingkeun dengan alternatif kendaraan lain semisal mobil, bus kota/ angkot (angkutan kota, mikrolet, dlsb.). Kedua, emang gue belum mampu beli mobil juga (hihihii.. ketawa kecut) selain itu motor terbukti betul-betul irit soal pengeluaran untuk urusan bensin. Untuk ukuran gue yang trayek-nya tetep cuma rumah-kantor-rumah sih cukup buat anggaran 50 ribu aja satu minggu, kecuali ada pengeluaran ekstra untuk tambah angin atau apes ganti ban dalem kerana nginjek ranjau paku yang katanya sengaja disebar disekitar jalanan Jakarta.

Ketiga, motor itu sendiri cocok banget untuk gue pribadi yang emang kurang hobi ngulak-ngulik atau variasi-modifikasi dan nongkrong di bengkel. Bebek gue nggak rewel sama sekali, untuk perawatan rutin biasanya cuma panasin mesin cukup 5 menit aja setiap sebelum meluncur ke jalanan, terus nge-cek tekanan ban, cek rantai (kalo kendur di-kencengin, kalo kering di oli-in), dan cukup dimandiin dua kali satu minggu, semua beres.

Tapi, dibalik semua kelebihan tunggangan gue itu tadi, sebagai manusia biasa tentu gue masih ada aja perasaan kurang puas mungkin penyebabnya kurangnya rasa bersyukur. Suka aja gituh, tengak-tengok kanan-kiri depan belakang pas ngantri di lampu merah. Pas jalanan lagi panas-panasnya, kadang suka ngimpi dan curhat dalam hati "kapan yah gue bisa santai di dalem BMW seri 5 kayak bapak disebelah kanan gue?". Atau "Duuh.. Kok enak betul sih hujan deres gini di dalem Toyota Alphard kayak ibu-ibu di depan gue itu..".

Apa gue salah mikir kayak gitu, apa salah ngimpi model begitu? Menurut gue sih sama sekali nggak tuh. Karena gue percaya sesuatu yang besar itu umumnya cuma berawal dari mimpi, tapi tentu soal realisasi tempaan-nya lewat kerja keras dan usaha maksimal yang dibungkus jadi satu paket.

Nah, ngomong soal ngimpi-ngimpi "mobil impian" yang selama ini gue cuma bisa sebatas menyaksikan aja; baik itu yang seliweran di jalanan, di film-film, majalah, atau media lainnya. Ahad kemarin, gue punya kesempatan untuk lebih deket sama sesuatu yang sebelumnya gak bisa gue "sentuh", apalagi kepikiran untuk nyoba duduk dikursi kemudi sekaligus ngerasain langsung gimana sensasi-nya. Bilang kalo gue itu norak or kampungan, tapi untuk gue pribadi hal itu jadi pengalaman yang mengasyikan plus berkesan banget. Kebetulan gue dapet kesempatan nyoba Audi New A4 (2008) dan Mercedes-Benz C-class Classic.

New Audi A4
Untuk yang satu ini gue cobain hari Sabtu pagi. Orang Audi dateng ke rumah jam 9 lewat sedikit. Standar sales mobil, udah pasti orangnya super ramah dan sopan. Cuman basa-basi cukup 5 menit di ruang tamu, gue langsung minta dianter ke tempat dimana tuh A4 nangkring. Dari majalah gue liat New Audi A4 2008, dan sekarang ada diparkir di depan rumah, hehe.. emang udah dari dulu soal design eksterior Audi jadi salah satu yang paling oke. Kesan yang pertama gue dapet, nih mobil "laki-laki" banget!. Velg udah ring 17, kalo mau diganti ukuran berapa lagi? Menurut gue Velg 17 udah more than okay laaah. Satu hal yang bikin nih mobil bikin 'gahar' dari tampilan depan-nya, terutama sepasang matanya ituloh yang TOP ABISS! panjang mobil yang bikin A4 baru kayak mobil touring Daytona Race. Kalo untuk tampilan rear view biasa aja, tetep dibuat simple dan pastinya aksen dinamis belum lepas juga dari mobil ini.

Puas mata gue yang bener-bener dimanja sama tampilan eksterior A4, gue penasaran juga sama gimana sih bentuk mesin-nya. Untuk yang satu ini, standar mobil-mobil eropa yang lain (coba bandingin deh sama mobil pabrikan jepang) bentuk mesin A4 rapih, aksen padat bikin kesan simple, dan tertutup dengan warna dominan hitam. Eduun!

Front-rear view udah, Velg, sampe mesin udah gue liatin. Sekarang waktunya deh kita ke acara puncak, gimana sih interior-nya? Karena sekalian gue dapet juga kesempatan untuk nge-rasain gimana larinya si A4 ini.

Your first impression once you sit and close the door might "nothing is so special..". Bakal sangat mungkin biasa aja, terlebih kalo elo punya ekspektasi yang berlebih dengan Mercedes-Benz S-Class atau Jaguar sebagai pembandingnya. New A4 bahkan sangat sporty dan casual in several part. Dominan warna dashboard dan keseluruhan kabin dark grey dan hitam. Untuk bagian dashboard dilengkapi button yang lumayan banyak, asumsi gue A4 mah emang lebih cocok untuk anak muda atau usia maksimum 43-45 tahun lah.

Tapi gue cukup terhibur dengan kapasitas 6 CD changer untuk MP3 dan CD Player-nya, dijamin perjalanan elo ngga bakal sepi dari musik. Ada layar monitor di dashboard untuk operasional CD, MP3, dan Radio. Plus monitor itu siap kasih informasi tentang jarak aman mobil saat ambil posisi parkir dengan indikator safe distant. With no GPS, gue pikir kenapa sih teknologi ini ngga jadi default item langsung dari dealer yah? sayang sekali, untuk point ini BMW masih lebih unggul.

Wuzz.. berasa shooting film Transporter!
Masuk ke D (Drive) Gear, didalam kabin hening banget khas mobil-mobil eropa. Suspensi juga bisa kita set sesuai keperluan, comfort untuk 'ayunan' yang lebih lembut karena suspensi dibuat lebih tinggi. Sedangkan dynamic untuk suspensi yang lebih keras dan lebih rendah--cocok kalo elo pengen "gas pol mas boy" di jalan tol yang sepi. Untuk lebih aman, suspensi kita set auto aja karena secara mobil ini masuk kategori 'mobil pintar' jadi dia bisa nyesuaiin keadaan jalan yang kita lewatin. Sedangkan, pengaturannya cukup dilakukan dengan menekan tombol aja, hebring euy! Hand brake just using your finger, so easy and classy. ESP system untuk keamanan berkendara anti slip di permukaan jalan yang basah dan licin.

Pas gue masuk ke jalan tol JORR dari pintu BSD City, sensasi-nya langsung kerasa kalo emang ni mobil bisa dibawa kebut. Gak pake napsu aja speedometer (both digital and analog) udah nembus 110 km/hr, gimana kalo dicampur sifat 'songong'--kuat iman deh nahan supaya nggak kelewat ngebut, udah untung juga dikasih nyobain kan. Cukup 130 km/hr gue udah seneng banget rasanya pagi itu.

Satu hal tambahan yang bikin gue nggak gampang lupa dari mobil ini. Transmisi automatic-nya didukung juga sama dua tuas manual yang tempatnya nempel sama posisi stir. Gampangnya, sistem transmisi ini jadi aplikasi minimal mobil-mobil Formula 1, hahaha.. MANTAP!! Jadi jangan takut atau minder kalo ada yang berani nyalip elo di jalan toll, karena gue cukup yakin semua mobil bisa aja elo kejar (asal lawan lo bukan mobil korekan yang sering turun di Sentul , ferarri atau lamborghini.. hohoho).

For the rest, all is okay. Cuma beberapa catetan gue nih untuk New Audi A4, antara lain kedepan-nya mudah-mudahan Audi makin serius untuk expand segala infrastruktur-nya semisal bengkel resmi dan segala keperluan yang sifatnya purna jual; karena menurut gue hal ini penting banget karena menyangkut rasa aman untuk para si calon pembeli. Kedua, soal harga New A4 terlampau mahal kalo cuman nge-depanin kehebatan design dan performa mesin aja. Karena, stigma falling down harga jual mobil Audi susah banget dihapus dari banyak persepsi orang. Terus, New A4 ini emang wajar kalo cuma minum Pertamax plus karena secara status-nya aja nih boil diembel-embelin judul CBU -- alias dateng langsung dari Jerman nun jauh disana. Jadi yang mau punya mobil ini, siapin aja yah uang bensin yang lebih ekstra, hehehe..

Dari skala 1 sampe 10, New Audi A4 (2008) dapet nilai 8! BRAVO!!. Artinya masuk kategori istimewa, pastinya.

Nah, hari berikutnya giliran Mercedes-Benz yang gue cicipin gimana empuk dan sensasi gengsi nih mobil pas dibawa ke jalan raya. Gimana ceritanya, yuuk kita obrolin di posting berikutnya..