Wednesday 17 July 2013

Sungguh Alloh Itu Tidak Tuli, Simpan TOA-mu yang Mengganggu Itu!

Oleh: Dodi Sanjaya


Haji Sayed Hasan bin Sayed Abbas adalah seorang kakek yang berumur 75 tahun. Saat Banda Aceh diterjang tsunami yang sangat dahsyat pada 2004, ia kehilangan istri tercintanya. Sejak saat itu, ia tinggal hanya bersama seorang anaknya. Rumahnya berada sekitar 10 meter dari masjid Al Muchsinin, Gampong Jawa, Kecamatan Kutara Raja, Banda Aceh. Tahun 2010, di usia yang sudah senja itu, ia mengalami sakit jantung koroner. Dokter menyarankan ia untuk banyak istirahat.


Demi kesehatannya, ia mengikuti saran dokter. Saat bulan ramadhan, pengeras suara  masjid sangat keras volumenya dan hal itu membuat dia menjadi sulit tidur. Ia sempat berpikir mungkin ini hanya sesaat, tapi pengeras suara itu ternyata terus hidup dari menjelang shalat taraweh hingga pukul 4 dini hari. Dan hal itu terus berlangsung selama bulan Ramadhan.


Karena merasa suara speaker terlalu keras bunyinya, dia menjumpai Drs. Tgk. Muchtar Tawi selaku Imam Masjid Al Muchsinin pada saat pengajian di masjid. Ia meminta agar pengeras suara itu volumenya dikecilkan dan di atas jam 12 malam dimatikan. Namun permintaan itu ditolak oleh Tgk. Muchtar Tawi. Ia mengatakan ini adalah sebuah masjid dan tidak boleh mengecilkan suara speaker masjid. Tgk. Tawi hanya mau mengecilkan suara speakernya kalau ada fatwa dari ulama. Namun, Tgk. Tawi tidak ingin mendatangi ulama, ia hanya mau ulama yang mendatanginya. Sebagai orang kecil tentunya itu hal yang sulit. Merasa permintaannya ditolak, ia pulang ke rumah dengan perasaaan kecewa.


Karena Tgk. Tawi hanya mau mengecilkan volume pengeras suara  masjid jika ada fatwa ulama, akhirnya Tgk. Sayed pun mendatangi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh. Dia meminta MPU memberi fatwa, namun MPU mengatakan fatwa itu hanya bisa diberikan kalau ada anggota masyarakat lain yang juga ikut menanyakan permasalahan ini. Tgk. Sayed pun kembali ke rumahnya dan mencari dukungan orang yang mempunyai permasalahan sama dengan dia. Ia mendapat 15 dukungan dan kemudian kembali ke MPU. Ternyata itu belum cukup dan ia disuruh kembali lagi dengan dukungan yang lebih banyak.


Setelah beberapa hari berlalu, dia kembali mendatangi MPU dengan 30 dukungan. Lagi lagi MPU menolaknya. Menurut MPU, harus lebih banyak lagi. Tgk. Sayed lalu bertanya kepada MPU, “ Banyaknya itu berapa? Yang pasti jumlahnya biar saya mencarikannya lagi.“ MPU hanya berkata pokoknya banyak.


Karena kecewa dan merasa dipermainkan, dia kembali ke rumah. Kemudian dia mendengar dari tetangga bahwa yang boleh mengeluarkan fatwa adalah MPU Provinsi. Mendengar itu, dia semakin kecewa dan kesal dengan sikap MPU Kota Banda Aceh. Kenapa tidak dari awal saja mereka mengatakan bahwa mereka tidak berhak mengeluarkan MPU sehingga ia tidak perlu bolak balik ke MPU Kota.


Sebelum dia berangkat menunaikan ibadah haji, ia mengirim surat Ke MPU Provinsi Aceh. Dalam surat itu, dia meminta fatwa larangan penggunaan speaker masjid secara berlebihan. Kemudian MPU membalas suratnya. Namun isi surat MPU membuat dia kecewa, karena secara substansi sudah berubah. Dalam surat itu, MPU mengatakan bahwa “Muazzin mengumandangkan azan bukanlah suatu kedhaliman, tapi merupakan panggilan tibanya waktu shalat.” Tentu ini adalah sebuah pergeseran makna. Tgk. Sayed tidak pernah meminta pelarangan azan dengan menggunakan pengeras suara. Yang diminta untuk dilarang adalah pengajian tadarus, zikir dan ceramah tape recorder dengan menggunakan pengeras suara  secara berlebihan dan pada waktu yang tidak tepat. ”Silahkan menggunakan pengeras suara , namun janganlah sampai jam 4 pagi,” ujar beliau.


Sepulang dari ibadah haji, dia kembali mendatangi imam masjid. Ia mendatangi rumah sang imam dengan harapan suasana akan berubah. Ternyata harapannya tidak sesuai kenyataan. Ia mendapat jawaban yang sama seperti sebelumnya. Kemudian ia ke Malaysia untuk mencari fatwa dari ulama Malaysia yang kemudian dia tunjukkan ke imam masjid. Imam tetap menolaknya dan berkata bahwa tulisan Arab hadist itu benar, namun terjemahannya salah. Ia sempat mengatakan, di mana pun di dunia ini hadist tetap sama, hanya redaksinya saja yang berbeda, tapi tidak dengan substansinya.


Ia juga pernah berkata bahwa ia memiliki dalil tentang larangan penggunaan pengeras suara  dengan suara yang berlebihan. Dan jika ada dalil yang menyarankan penggunaan pengeras suara secara berlebihan, ia minta agar dalil itu ditunjukkan kepadanya. ”Silahkan Tgk. beri dalil yang menganjurkan penggunaan pengeras suara yang berlebihan. Namun sampai sekarang tidak ditampakan pada saya,” ungkap Tgk. Sayed.


Karena masih mengalami hal yang sama, dia menulis surat kepada aparatur desa dan juga camat, namun tak ada respon. Akhirnya saya melaporkan permasalahan ini ke Polsek Kutaraja, Banda Aceh. Jawaban yang didapat sangat mengecewakan dirinya. “Kami tidak bisa menangani kasus bapak, karena ini berhubungan dengan orang ramai,” ujar Tgk Sayed yang mengulang jawaban Polsek Kutaraja.


Pada bulan puasa di tahun 2011 dan 2012, ia menyuruh anaknya untuk bertemu kembali dengan imam masjid, namun dia mendapatkan jawaban yang sama. Akhirnya, pada suatu pagi, karena kesal, dia pergi ke masjid dan menggeser sendiri pengeras suara itu ke arah lain. Ternyata, siangnya, massa mendatangi rumah beliau. Mereka memaksa dia untuk memutar kembali speaker masjid ke arah semula. Saat itu ia merasa terancam, sehingga akhirnya dia memutar pengeras suara kembali ke arah rumahnya, bahkan dengan suara yang lebih besar.


Setelah kejadian itu, ia kembali melapor untuk kedua kalinya ke Polsek kutaraja. Dalam laporan itu, dia melaporkan perbuatan tidak menyenangkan, namun polisi juga tidak merespon laporan tersebut. Akhirnya, dia memperkarakan kasus pengeras suara  ini ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. Dalam laporannya, kasus ini sudah sampai pada tahap mediasi. Namun pada Rabu, 20 Februari 2013, massa mendatangi rumahnya dan ia dibawa ke masjid untuk mediasi. Di masjid ternyata sudah ada Wakil Walikota Banda Aceh, Sekda Banda Aceh, MPU Banda Aceh, Camat Kutaraja, imam masjid, Danramil, unsur Polresta dan Kapolsek Kuta Raja. Awalnya dia berpikir ini sebuah mediasi, ternyata ini adalah sebuah paksaan untuk berdamai. Tgk. Sayed setuju tetapi dengan syarat perdamaian harus sesuai dengan Sunnah Rasul. Saat itu massa sangat ramai, suara cacian dan ”bunuh” membuat ia terintimidasi. Dan tidak sampai disitu saja, Sekda sebagai utusan dari Negara mengeluarkan kata-kata penuh fitnah dan membuat Tgk. Sayed semakin terintimidasi, “ini orang yang larang mengaji dan adzan.”  Padahal Tgk. Sayed tidak pernah melarang orang mengaji dan azan, tetapi yang dilarang adalah penggunaan speaker masjid secara berlebihan. Wakil Walikota yang merupakan orang kedua di Kota Banda Aceh pun mengeluarkan kalimat yang tidak menyenangkan, “Bikin malu orang Aceh saja.“ Karena merasa terintimidasi, akhirnya ia menandatangani surat di atas materai yang isinya mencabut gugatan, dan tidak akan menggugat lagi. Setelah Tgk. Sayed menandatangani surat itu, camat berkata, jika ia menggugat lagi, maka ia akan diusir dari kampong.


Sekarang masyarakat punya anggapan yang lain. Ia dianggap sesat, karena melarang orang shalat dan mengaji. Padahal ia hanya melarang penggunaaan pengeras suara  secara berlebihan.
Tgk. Sayed merasa dimusuhi, namun tidak semua masyarakat berpikir seperti itu. Ia berharap pemerintah pusat menegur Wakil Walikota dan Sekda Banda Aceh, karena tidak mengormati haknya sebagai warga negara yang mencari keadilan. Mereka telah memaksanya untuk mencabut gugatan. Selain itu, ia berharap semoga hal seperti ini tidak dialami oleh orang lain lagi.



Kebutuhan Pengeras Suara

Belajar dari apa yang dialami H. Sayed ,tentunya kita harus melihat fungsi dan kebutuhan pengeras suara di masjid. Adalah sebuah kenyataan bahwa dengan kemajuan teknologi seperti zaman sekarang ini, hampir semua masjid dan mushola di seluruh dunia telah memiliki dan menggunakan alat pengeras suara. Tujuan digunakanya alat tersebut tidak lain adalah untuk menunjang tercapainya dakwah Islam kepada masyarakat luas di dalam maupun di luar masjid. Maksudnya juga agar jamaah atau umat Islam yang tinggal agak berjauhan dari masjid dapat mendengar suara azdan. Selain itu, dengan pertumbuhan penduduk yang pesat dan jamaah masjid menjadi membludak, diperlukan pengeras suara agar suara imam atau khatib dapat didengar oleh jamaah.


Memang keberadaan pengeras suara di masjid sangat membantu dalam kegiatan dakwah Islam saat ini. Namun, kita tidak boleh berlebihan dalam menggunakannya. Tentunya sebagai manusia, ada segelintir di antara kita yang tidak tepat dalam menggunakan sebagaimana patutnya.


Padahal aturan penggunaan pengeras suara sudah jelas dalam dalil agama maupun aturan pemerintah. Namun, di beberapa tempat, masih banyak masjid yang menyimpang dan menyalahi aturan yang diizinkan agama maupun pemerintah. Dalam shalat dan doa yang hanya untuk kepentingan jama’ah (dalam masjid), tidak perlu corongnya diarahkan ke luar, sehingga tidak melanggar ajaran Islam yang melarang bersuara keras dalam shalat dan doa.


“Dan janganlah engkau keraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula terlalu merendahkannya, dan carilah jala tengah di antara keduanya.” (Al Isra`: 110).

Dalam ayat lain: “Dan berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Ala’raf: 55).

Kemudian, zikir merupakan ibadah individu langsung kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, tidak perlu menggunakan pengeras suara baik ke dalam maupun ke luar.


“Dan berzikirlah (ingatlah) kamu akan Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri serta lembut tanpa mengeraskan suara pada pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (AlA’raf: 205).


Terutama di perkotaan, pengurus masjid harus benar-benar memperhatikan penggunaan pengeras suara. Di perkotaan, sudah tidak aneh lagi jika di sekitar masjid terdapat tempat tinggal non-muslim, sehingga keadaan dan kondisi mereka tetap harus dipertimbangkan. Karena kita juga perlu menelaah hadits nabi yang mengatakan: “Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman.” Lalu ada orang yang bertanya: ”Siapa itu ya Rasulullah (orang yang tidak beriman).” Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang tidak beriman itu adalah orang yang tidak (pernah) aman tetangganya karena gangguan (kejahatannya). Jangan sampai akibat salah dalam menggunakan pengeras suara masjid membuat tetangga-tetangga menjadi merasa terganggu, lebih-lebih jangan sampai menimbulkan kebencian tetangga yang non-muslim terhadap masjid.


Dalam suatu riwayat, pernah Ali RA membaca keras-keras bacaan shalat dan doanya, padahal orang-orang sedang tidur. Lalu Rasulullah menegurnya: “Bacalah untuk dirimu sendiri, karena engkau tidak menyeru Tuhan yang tuli dan jauh. Sesungguhnya kamu menyeru Allah Yang Maha Mendengar dan Dekat.”


Soal pengeras suara di masjid sebenarnya sudah diatur dalam Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala. Keputusan itu ditandatangani Dirjen Bimas Islam saat itu, H.M. Kafrawi, MA., pada 17 Juli 1978.


Syarat-syarat penggunaan pengeras suara adalah perawatan penggunaan pengeras suara oleh orang-orang yang terampil dan bukan oleh yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian, tidak ada suara bising dan berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau mushola. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam shalat, pembaca Al-Qur’an, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak, dan tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid, dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati dari mereka yang mendengar, selain dari menjengkelkan.


Syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan shalat, harus dipenuhi, karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri atas ketidaktaatan yang bersangkutan terhadap ajaran agamanya.


Syarat-syarat lain, di mana orang yang mendengarkan berada dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara, juga harus ditaati. Dalam keadaan demikian (kecuali azan), penggunaan pengeras suara tidak akan menimbulkan kecintaan orang, bahkan sebaliknya.


Di dalam instruksi itu juga diatur bagaimana tata cara memasang pengeras suara baik suara ke dalam ataupun ke luar. Juga penggunaan pengeras suara di waktu-waktu shalat. Secara terperinci penggunaan pengeras suara di masjid adalah sebagai berikut:

1. Waktu Subuh
Sebelum waktu subuh dapat dilakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum waktunya. Kesempatan ini digunakan untuk pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dimaksudkan untuk membangunkan kaum muslimin yang masih tidur, guna persiapan shalat, membersihkan diri, dan lain-lain.
Kegiatan pembacaan ayat suci Al-Qur’an tersebut dapat menggunakan pengeras suara ke luar. Sedangkan ke dalam tidak disalurkan agar tidak mengganggu orang yang sedang beribadah dalam masjid.
Adzan waktu subuh menggunakan pengeras suara ke luar.
Shalat subuh, kuliah subuh, dan semacamnya menggunakan pengeras suara (bila diperlukan untuk kepentingan jama’ah) dan hanya ditujukan ke dalam saja.


2. Waktu Dzuhur dan Jum’at
Lima menit menjelang dzuhur dan 15 menit menjelang waktu dzuhur dan Jum’at supaya diisi dengan bacaan Al-Qur’an yang ditujukan ke luar.
Demikian juga suara adzan bilamana telah tiba waktunya.
Bacaan shalat, do’a, pengumuman, khutbah, dan lain-lain menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam.


3. Ashar, Maghrib, dan Isya’
Lima menit sebelum adzan pada waktunya, dianjurkan membaca Al-Qur’an.
Pada waktu shalat datang dilakukan adzan dengan pengeras suara ke luar dan ke dalam.
Sesudah adzan, sebagaimana lain-lain waktu hanya ke dalam.


4. Takbir, Tarhim, dan Ramadhan
Takbir Idul Fitri, Idul Adha dilakukan dengan pengeras suara ke luar. Ketika Idul Fitri dilakukan pada malam 1 Syawal dan hari 1 Syawal. Pada idul Adha dilakukan 4 hari berturut-turut sejak malam 10 Dzulhijjah.
Tarhim yang berupa do’a menggunakan pengeras suara ke dalam. Dan tarhim dzikir tidak menggunakan pengeras suara.
Pada bulan Ramadhan sebagaimana biasa pada siang dan malam hari, diperbanyak pengajian, bacaan Al-Qur’an yang ditujukan ke dalam seperti tadarusan dan lain-lain.
Belajar dari apa yang dialami Haji Sayed tentunya ini adalah bentuk ketidaktahuan pemerintah dan pengurus masjid tentang aturan penggunaan pengeras suara, atau memang sengaja pura-pura tidak tahu. Semoga kejadian seperti ini apalagi sampai ada stigmatisasi sesat pada seseorang tidak terulang lagi untuk generasi ke depan.


Diambil dari judul asli : Ketika Pengeras Suara Masjid Berakibat Mudharat