Thursday 20 November 2008

Budaya Pop (culture), Kenapa Begini..Kenapa Begitu



Pop culture, wow baru dengernya aja udah gimana gitu rasanya. Tema ini emang sempet banget terdengar sangat sexy (wahh.. lebay bgt nih!), terutama waktu jaman-jaman saya kuliah kemarian. Se-sexy tema-tema feminis, cultural studies, hermeneutika, psikoanalisis dan rekan sejawatnya yang lain. Tapi kali ini aku mau ngobrol soal Pop Culture dulu aja, ini pun nggak akan sampai nyentuh-nyentuh teritori teoritis segala. Cuma, hehe 'take a look around' aja sih gimana keadaan lingkungan sekitar kita sekarang ini. Iya, terutama yang ada hubungannya sama behaviour as a common. Apa sih Pop Culture itu?

Soal definisi bisa-bisa ada ribuan penjelasan, dengan ratusan sumber, dan jutaan penafsiran; nah pusing nggak loh?. Dari sekian banyak penjelasan itu, saya sih hampir yakin kalo Pop Culture mengandung stigma negatif yang sangat jauh lebih dominan, jika dibandingkan; atau mungkin sama sekali nggak punya aspek positif sama sekali untuk sekedar di-negasikan dengan stigma yang udah terlanjur dianggap negatif itu tadi. Seakan-akan Pop Culture itu sangat merusak, bersifat destruktif, pokoknya elek biiangeeeet lah.

Yang namanya gagasan, siapapun boleh aja mengajukan (satu atau bahkan lebih); misalnya pendapat yang menganggap Pop Culture itu tadi sebagai konten budaya yang negatif. Kenapa Pop Culture begitu diserang? Ini dia pertanyaan yang menarik perhatian saya. Dari sisi historis, musuh besar Pop Culture adalah pihak struktural yang mapan, kaum religius yang mempunyai pengaruh penting sebagai lembaga sosial keagamaan, maupun pihak-pihak lain dengan perspektif dan prosedur tingkah-laku pendahulu, termasuk juga kaum akademisi. Kayaknya kok nggak 'intelek' kalo nggak ikut-ikutan membendung Pop Culture yang berkembang di masyarakat sekarang ini. Mereka yang ikut terhempas kedalam pusaran gaya hidup Pop Culture dianggap kerdil, bodoh, dan anti-kritik. Wow.. demikian buruk bagi mereka trend follower budaya populer.

Nah, sampe sini mulai deh muncul sisi-sisi skeptisme saya muncul. Sebetulnya ada kepentingan apa sih dari mereka yang kontra sampa-sampai Pop Culture dianggap sebagai wabah penyakit kotor yang mesti dihilangkan? Jawabannya, dibalik itu pasti ada kepentingan tertentu. Alasan eksistensi kah, moralitas kah, tradisi kah, atau apa?

Menurut saya, point of view yang mereka gunakan mesti berangkat dari pakem lama, pranata terdahulu. Dimana-mana, namanya pakem lama mesti berjuang mempertahankan status quo yang dianggap sudah ideal, jadi jangan diganggu. Padahal punya pemikiran ini saja sudah berani menantang hukum alam yang berbunyi "takkan ada yang pernah berubah selain perubahan itu sendiri", bukan?. Jadi, kalo begitu betul nggak kalo Pop Culture saya pahami sebagai konten budaya yang baru, nuova vouge--gelombang baru, sebuah inovasi dari prosedur tingkah laku yang kebetulan sebelumnya sudah ada. Oke, saya berusaha konsisten pada pemahaman saya untuk memahami Pop Culture sebagai sesuatu yang baru, bernegasi hingga bertarung dengan kemapanan sistem yang lebih senior.

Ada satu poin yang saya identifikasi dari pemahaman para encounter Pop Culture, bahwa pembacaan dan penafsiran yang mereka lakukan didasari oleh standar mereka sendiri. Sesuatu yang baru, 'nggak biasa', asing, bahkan absurd tentu bergerak diluar pakem-pakem yang selama ini mereka anut dan dijalankan dengan setia; karena menurut mereka hal itulah memang yang dianggap paling ideal. Kok, saya merasa lebih sreg jika memandang Pop Culture dalam gagasan relativitas waktu. Jika Einstein memandang waktu sebagai 'karet' yang lentur dan bisa memelar (atau dibuat melar maupun mengkerut) sedemikian rupa. Maksud saya, baik jaman sekarang ataupun jaman dulu prose menentang Pop Culture sudah ada, sekedar istilah dan kajian-nya saja baru populer di dekade belakanangan ini. Jadi buat apa meng-counter sesuatu yang nggak bakal bisa dibendung akhirnya.

Masih ingat The Beatles, yang saat awal kemunculannya dianggap membawa pengaruh musik yang cacat. Ringo Star merubah stroke pada snar drum, dari pakem rock n roll sebelumnya. Koes Ploes, ditangkap dan dikurung karena dibilang main musik 'ngak-ngik-ngok'. Hippies, generasi bunga yang hidup layaknya orang gila karena mereka hidup dengan cara yang berbeda. Atau Diane Arbus, Andy Warholl, Galileo Galilei, dan mereka semua yang dianggap buruk di masa-nya, tapi berakhir menjadi legenda, juga dipuja karena berhasil merubah pakem-pakem sebelumnya. Perubahan mereka harus diakui akhirnya menjadi budaya populer (Pop Culture) juga, toh?.

Sekarang, Pop Culture tercela karena sifatnya yang meracuni orang-orang untuk makin lebih konsumtif, apatis, pragmatis, bahkan fatalistik. Sosialisasi di media massa yang jadi kambing hitam-nya. Wawllohu alam, katanya sih emang begitu. Untuk membersihkan Pop Culture yang merusak, berarti saringan konten siaran media massa harus dihidupkan lagi? Untuk ini perlu kajian lebih panjang deh, kurang banget kalo cuman ngandelin postingan ini aja.

Tapi untuk perbandingan aja nih, pengalaman saya tinggal 3 hari di Badui dalam, Banten. Nggak ada sama sekali pengaruh luar yang berhubungan dengan tradisi yang diizinin masuk ke lingkungan mereka, boro-boro media massa. Hasilnya tradisi-budaya, kepercayaan, metode hidup mereka bisa dilestarikan sedemikian rupa. Mirip dengan kaum Amish di Amerika yang mengurung diri dari penetrasi budaya yang asalnya dari luar kehidupan mereka. Tapi apa mungkin media massa dibendung?

Jadi kamu yang ikutan Pop Culture atau yang counter budaya populer itu..?

cheers ;D

No comments: