Sunday 6 March 2011

Virtual Office; Solusi Kecil Kepadatan Jakarta


Jakarta, Jakarta, Jakarta..

Jika kita bertanya, Pulau apa yang paling padat di dunia? Ternyata jawaban-nya adalah pulau Jawa. Perhitungan ini boleh jadi tidak salah, karena indikator-nya merupakan perbandingan antara luas wilayah dan jumlah manusia yang numpang hidup didalamnya. Memang untuk urusan jumlah manusia yang menempati sebuah pulau di bumi ini, ada banyak yang lebih besar; tapi untuk urusan kepadatan, pulau Jawa-lah juara-nya.

Hebatnya lagi, Jakarta; sebuah kota yang berada didalam teritori pulau Jawa, dimana Jakarta sendiri mendapat gelar kota paling padat di pulau Jawa! Sepertinya sudah cukup dapat dibayangkan, betapa padat-nya Batavia ini, bukan?

Nggak kurang 8,5 juta orang seliweran didalam kota ini pada siang hari di-weekdays dengan segala kesibukan-nya masing-masing; dan kalkulasi angka 6 Juta orang di malam hari. Hal ini jelas-jelas konsekuensi logis dari kota Jakarta, sebagai 'one-stop-city in function'. Pusat pemerintahan Negara, pusat bisnis dan perniagaan, pusat pelayanan dan jasa, dan pusat dari pusat-pusat lain-nya. Mau-tidak-mau Jakarta yang dikepung kota-kota satelit macam Bekasi, Bogor, Tangerang, dan Depok; akan digempur tiap hari oleh jutaan orang yang cari rezeki di kota ini.

Ada banyak kota-kota di dunia yang masuk ke dalam kategori padat, sebut saja Mexico City, New York atau Hongkong. Tapi Jakarta adalah yang terpadat. Hal ini tidak lepas dari warisan salah urus-nya kota ini, kenyataan sebagai salah satu kota terpadat makin ditambah dengan kesemerawutan kota-nya yang bikin pecah kepala.

Jakarta boleh jadi miskin sumber alam, tapi Jakarta dengan label Ibukota Negara dengan segala keistimewaan yang dimiliki-nya; daerah-daerah lain di nusantara pantas cemburu dan geram hati-nya. Bagaimana nggak? perputaran uang nasional, 80 % ada disini. Memang galian dan eksplorasi alam ada di Papua, Kalimantan, Sumatera, atau Nusa Tenggara; tapi hasil ekonomis-nya terbang juga ke Jakarta.

Jangan salahkan juga urbanisasi besr-besaran yang terus terjadi, kalau pemerataan ekonomi nasional tak pernah digarap serius oleh pemerintah. Kalau Foke lewat pemerintah daerah-nya masih mengandalakan razia KTP tiap habis mudik lebaran untuk menanggulangi arus urbanisasi, mati aja deh mendingan; gak bakalan berhasil. Perlu program yang lebih koperhensif dibanding solusi parsial macam begitu. Ngurusin kota Jakarta tuh udah masalah nasional, pemerintah pusat mesti turun tangan.

Ada beberapa wacana, sekali lagi cuma wacana! untuk mencari solusi dari kompleksitas masalah yang sudah terlanjur terjadi ini. Tapi sayang di sayang, semua-nya cuma wacana, gak lebih dari materi editorial surat kabar atau acara 'banyak cing-cong' di televisi. Kita sama-sama tau, wacana memindahkan ibukota dari Jakarta. Komentar gue sih, walaupun itu bukan suatu hal mustahil tapi tetep aja itu semua gak lebih dari sekedar pepesan kosong! Kalo emang bener rencana itu sebagai solusi yang mau diambil, terus buat apa ada rencana pembangunan bandara internasional lagi di sekitar wilayah Jakarta. Terus ibukota itu mau dipindahin kemana? kalo semua infrastruktur tersentralisasi di kota Jakarta? so, that's just totally rubbish!

Kemacetan
Ekses yang paling dikeluhkan dari kepadatan dan kesemerawutan kota Jakarta adalah tingkat kemacetan-nya yang sudah kronis. Lagi-lagi, ada banyak wacana untuk menanggulangi hal ini. Dan lagi-lagi, sayang di sayang kebanyakan wacana cuma sebatas 'efek fatamorgana' bahkan cenderung konyol. Coba sodara-sodara banyangkan, sarjana-sarjana yang bekerja untuk negara dan tugasnya memberikan solusi cerdas; malah memberikan formula yang banyak cacat disana-sini.

3-In-1
Ambil contoh, hampir 2 dekade regulasi 3-in-1 pagi dan sore di jalan-jalan protokol berjalan; bagaimana hasil-nya, boi? Oh, tentu saja berjalan dengan sangat SUKSES! maksudnya GAGAL dengan sangat sukses! :p hehe... Loh kok bisa? ya iyalah, 3-in-1 itu kalo mau jujur sifatnya cuma memindahkan kemacetan dari jalan protokol ke jalan-jalan di sekitar-nya aja. Boleh jadi pagi-pagi jam 06:00 - 11:00 atau sore 16:00 - 19:00 Sudirman-Thamrin (agak) lancar, tapi coba longok ke daerah pejompongan, mampang, tanah abang, slipi, tomang, grogol, Kebayoran lama, tebet, kuningan, bahkan senayan sendiri pun macet-nya parah pak! Kalo mau maksa yah pakelah joki yang berbaris rapih di sekitaran jalan menuju area 3-in-1, yang begitu konyol-nya jarak antara joki dengan bapak silop nggak lebih dari 30 Meter! :D ahahahaa.. Alangkah lucunya negeri ini!

Atau ada wacana mengatur giliran mobil yang masuk ke jalan raya dengan sistem plat nomor, bahkan belakangan wacana makin ngawur dengan mengatur giliran mobil pribadi yang diperbolehkan beroperasi dengan sistem warna! Ide bodoh macam apa lagi ini!? Dasar bodoh!!

Belakangan, ada wacana mengadopsi sistem ERP (Electronic Road Pricing) yang sudah lebih dulu sukses di Stockholm, Singapura dan beberapa kota maju lain-nya. Bukan saya pesimis apalagi sinis, tapi sepertinya jika sistem ini maksa untuk dijalankan juga; sepertinya pun akan menemui kegagalan-nya dengan segera. Jika para decision maker itu cukup cerdas dan sedikit kritis, pada dasarnya sistem ERP bermaksud mengarahkan pengguna mobil pribadi untuk berpindah ke alternatif transportasi lain, terutama sistem transportasi publik yang hanya perlu membayar ongkos tiket. Tapi, kenyataan-nya sistem transportasi Jakarta itu jujur aja; bobrok banget! Naif sekali jika pemerintah mau memindahkan orang-orang dengan mobilnya untuk pindah ke moda transportasi macam Transjakarta, Patas PPD, bahkan MetroMini atau Kopaja; Hey,you are totally morron!

Transjakarta dan Transportasi
Sebagian kita kalau cukup aware, pasti akrab dengan sticker ini yang ditempel dibelakang Bus Transjakarta dengan background merah dan font color putih macam peringatan arus listrik tegangan tinggi "Naik Transjakarta, Jangan Ambil Jalur-nya". Nahloh, nyolot banget nih yang bikin sticker! Dalam hati,gue juga mau tanya.. "Jalan Raya Jangan Buat Sendiri Dong", gara-gara program Transjakarta; jalan raya diambil satu lajur cuma buat mereka doang. Alih-alih pengendara mobil pribadi untuk pindah, ternyata gak lebih cuma nambah kemacetan di Jakarta aja kan hasilnya.

Arogansi Transjakarta nggak berhenti sampe disitu aja, ngambek karena jalurnya sering diserobot, eh mereka mau bikin kebijakan Transjakarta yang conta-flow. Gak usah yang contra-flow, jumlah orang yang terlindas Transjakarta juga sudah puluhan jumlahnya.

Awal mula melihat tiang pancang dibangun berjajar di sekitar Patal Senayan, dengan papan proyek tertulis 'Jakarta Monorail' akhir tahun 90-an, hati ini cukup dibuat berbunga-bunga; membanyangkan Jakarta bisa sejajar dengan negara maju lain-nya, punya monorail :) eh, kenyataan-nya cuma mimpi kosong. Sepuluh tahun lewat,perkembangan-nya cuma tiang pancang yang berfungsi sebagai papan reklame dadakan, dengan besi-besinya yang mulai berkarat.

Angin segar datang dari transportasi KRL Express, dengan rencana penambahan layanan dan pembangunan tambahan stasiun-stasiun di daerah pusat bisnis; kabarnya ada campur tangan investasi dari Perancis. Menyambungkan rangkaian KRL dari Serpong, Bogor, dan Bekasi; kalo sistem ini jadi dikembangkan akan sangat positif sekali, karena saya pernah merasakan manfaatnya naik KRL Express Serpong-Sudirman.

Virtual Office; Solusi Kecil Kepadatan Jakarta
Tenang, posting blog saya tidak melulu soal protes dan keluh-kesah :) hehe.. ada semacam pemikiran yang sama sekali tidak orisinil apalagi baru. Yaitu, menjalankan sistem Virtual Office sebagai solusi kecil mengatasi kepadatan kota Jakarta. Bagaimana caranya, boi?

Begini boi, dunia bisnis di dunia ini sudah sangat maju. Dengan dukungan teknologi digital dan koneksi internet yang sudah sangat canggih. Saya perhatikan, banyak diantara aktivitas penduduk di kota Jakarta berurusan dengan pekerjaan masing-masing, atau mungkin juga keperluan yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Nah, bukankah sudah semestinya kita melirik dan memanfaatkan kemudahan ini? Dengan teknologi digital dan koneksi internet yang sudah semakin canggih, semestinya kita juga ikut berpikir semakin maju.

Virtual office, secara sederhana dapat diartikan dengan memangkas jarak dan presensi fisik seseorang untuk memenuhi segala kebutuhannya. Taruhlah keperluan meeting pegawai di kantor, pada zaman 'primitif' :p seluruh pegawai harus hadir ke event meeting tersebut. Bangun pagi-pagi, yang bawa kendaraan siap-siap dibelakang kemudi mobil dan motor. Walhasil penuhlah jalanan di Jakarta ini dengan mereka dengan keperluan meeting, presentasi dengan client, belanja di pasar atau di mall, konsultasi dengan dokter kandungan, berangkat sekolah atau kuliah, bayar pajak, nabung ke bank, dan urusan tetek-bengek lain-nya.

Coba hal ini dapat kita distorsi sedikit, jarak dapat dipangkas dan presensi fisik dapat dikurangi. Meeting atau presentasi pekerjaan dengan client dapat cukup dilakukan dilakukan dirumah, dengan perangkat live confrence dengan webcam atau sekurang-kurangnya dengan fitur Skype misalnya. Pun berlaku untuk siswa sekolah atau mahasiswa yang perlu konsultasi dengan dosen pendamping skripsi, tinggal connect dengan internet; jadilah hubungan virtual dengan orang-orang yang dituju.

Jika pada zaman 'primitif', kita harus rela berpanjang-panjang antri di loket untuk keperluan bayar cicilan rumah atau transaksi banking lainnya; maka sistem virtual dapat mereduksi hambatan tersebut. Kepadatan jalan raya pun otomatis akan berkurang, bukan?

Kalau mau berkhayal ambilah rumus ini, "ngayal gak usah nanggung-nanggung" :) kalo memang memungkinkan, kenapa nggak, toh?? Tapi satu pesan saya yah teman-teman, kalo istri kamu udah kontraksi; jangan pernah sekali-kali berharap ada sistem persalinan virtual, ok.. Operasi persalinan hanya dapat dilakukan di kamar operasi :D

Selamat bervitual ria..

2 comments:

Anonymous said...

Hey boi ^^

Gak cuma lo yg mendambakan virtual office kok. Gw pun!!

Suatu hari gw datang ke kopdar perdana Girls in Tech, ada testimoni dari seorang mbak yg kerja di PR Intel Indonesia. So, the company has this brilliant idea for their employees to work from home (virtually) twice a week. This is good, IMO.

Tapi.. jangan lupa juga, virtual office masih perlu (banget) didukung koneksi internet yang memadai. Jangan sampe keluar jebakan macet di jalan, masuk ke jebakan macet di koneksi ^^

atmosfer kata-kata said...

hey girl :)

let's wait at least next 3 years.. internet connection along side our community,would be develop in significant basis..

somehow, perkiraan gue diperkuat dengan obrolan gue dengan pak supir taksi. Bapak supir taksi (BST) bertanya, berikut kira2 obrolan kita :

BST : "mas,lentor-nya itu tadi kerjaan-nya, apa sih?"

gue : "ooh.. digital agency pak,berhubungan sama dunia internet lah"

BST : "oh,internet toh.. lah kebetulan,saya mau tanya. anak saya minta dibeliin bodem (baca: modem),dimana ya cari-nya?"

gue : "oh.. modem,banyak pak. sekarang sih udah banyak pak. malah dibeberapa toko handphone juga ada kok"

BST : "berapa sih harga-nya? anak saya tuh,minta beliin. katanya buat garap tugas,untuk setting (baca: chatting) juga sama temen2-nya juga tuh.."

...dan obrolan pun berlanjut :)

jadi,kalo supir taksi aja udah nyari2 bodem untuk setting; pasti profesi yang lain juga akan ikutan nyusul, iya apa iya? :) hehe