Wednesday 4 August 2010

Jom Tengok Malaysia!





Medio Juli 2010 mungkin menjadi salah satu periode waktu yang akan selalu gue ingat. Selama waktu yang singkat itu, atau kurang lebih lima hari gue akhirnya punya kesempatan berkunjung ke salah satu Negara tetangga kita, Malaysia. Walaupun Malaysia sendiri bukan menjadi salah satu Negara impian yang pengen gue datengin, tapi apa lacur; toh kesempatan jarang datang dua kali kan.

Kalaupun boleh milih, gue akan lebih interest untuk bisa plesir ke Thailand atau Vietnam. Emang sih nggak ada alasan yang spesifik, cuma gue anggap Thailand atau Vietnam berasa lebih eksotis aja; atau mungkin gue salah? Whatsoever. Ada sejarah panjang hubungan bangsa kita dengan grafik naik turun dengan Malaysia. Bangsa kita dan mereka pernah sama-sama berjuang lepas dari kolonialisme menuju revolusi kemerdekaan. Malaysia juga pernah sama-sama ikut Indonesia dan beberapa Negara baru merdeka lainnya mendirikan organisasi Non-blok masa waktu perang dingin. Tapi, mantan presiden kita sendiri, Soekarno yang pernah bikin kampanye ‘Ganyang Malaysia’ lantaran perebutan sebagian wilayah Borneo. Lepas itu, hubungan bangsa kita terus mengalami pasang-surut.

Indonesia vis-à-vis Malaysia
Pintu kerjasama yang terbuka lebar-lebar di bidang pendidikan, ekonomi dan kebudayaan di zaman orde baru, dimanfaatkan dengan sangat baik sekali oleh Malaysia. Dimana waktu itu kondisi ekonomi dan pembangunan di Indonesia relatif sama atau bahkan sedikit agak lebih bagus dibandingkan Malaysia. Hingga ada banyak mahasiswa-mahasiswa ‘Jiran’ yang menimba ilmu dalam-dalam di univeritas-universitas negeri terkemuka di Indonesia, sebut aja diantaranya UI, UGM, ITB, UNAIR, dll. Selain itu, import tenaga guru Indonesia ke Malaysia pun begitu massive. Kalo boleh gue bilang, ini strategi investasi yang amat cerdik sekaligus visioner dari mereka. Buktinya 20 – 30 tahun setelah itu program ‘cerdik’ mereka tadi, sudah mulai terasa hasilnya seperti sekarang.

Pembangunan mereka jauh lebih ‘Gila’ dan kerasa banget udah ninggalin bangsa kita yang hobinya malah main cakar-cakaran sesama saudara sendiri, daripada bikin program pembangunan yang sustainable. Nanti gue ceritain apa aja ke-‘Gila’-an mereka dalam hal pembangunan, tentunya sejauh penglihatan gue; di paragraf-paragraf berikutnya. Mungkin gambaran sederhananya di bidang pendidikan aja deh, ada banyak lulusan SMA dari Indonesia yang lebih memilih belajar ke Malaysia untuk level bachelor, master, atau bahkan gelar doktoral. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, dan kualitas tentu jadi salah satu dasar dari beberapa pertimbangan yang lain.

Ngomongin sedikit soal pasang surut hubungan bangsa kita dengan Malaysia, mungkin nggak akan ada abis2nya. Kalo gue nggak salah inget, dulu ada program live conference antara TVRI dengan TV3 (gue lupa apa nama program-nya), ini indikator hubungan yang masih mesra. Lepas itu, ada banyak sentimen jelek diantara kita. Sebut aja soal batas wilayah pulau Sipadan – Ligitan, masalah TKI ‘Indon’ yang nggak beres-beres, atau klaim kebudayaan batik, wayang kulit, tari pendet, lagu rasa sayange, reog Ponorogo dan sebagainya, ikutan juga DR. Azhari yang doyan main ‘petasan’ di Negara kita, bahkan sampe urusan Manohara aja sentimen antar bangsa sempet ikut kena imbasnya. Itulah dinamika hubungan Indonesia - Malaysia, yang mungkin juga bakal terus berlanjut dalam episode-episode berikutnya.


Persiapan, Terbang, and Hit-Ground!

Oke-oke, mungkin obrolan gue udah nyasar kejauhan kemana-mana. Anyway, Jeda waktu rencana persiapan gue sampai jadwal keberangkatan sekitar dua minggu aja dulu, ini juga yang sempet bikin sewot istri gue. Maklum sindrom pengantin baru (hahaa.. baru-nya tapi udah 4 bulan) belum bisa lepas jauh-jauh, sinyal sekalian koneksinya masih kuat betul sih,hehe. Sayang istri gue gagal berangkat karena kerjaan-nya yang belum bisa ditinggal. Traveling ini juga betul-betul ‘kebetulan’ karena awalnya kakak gue minta ditemenin untuk dateng ke undangan pernikahan anak dari relasi bisnis-nya di Malaysia (judulnya kondangan lah..hihi). Emang dasar gatel travelling, habis izin ke istri (tetep sih dikasih tapi plus muka cemberut) sekalian gue minta cuti enam hari dari kantor, langsung gue siapin passport dan NPWP biar bebas bea fiskal juga, lagian sesama Negara ASEAN gak perlu ribet-ribet ngurus visa atau wawancara segala macem. Seminggu sebelum berangkat, tiket pesawat dan reservasi hotel Alhamdulillah udah fixed, tinggal ngitung ongkos yang pastinya gak seberapa lah (maklum diajak; alias numpang,hoho..).

Singkat berita, hari Kamis (15/7) gue berangkat dari cengkareng dengan jadwal take-off 09:40 WIB. Satu setengah jam sebelum terbang gue dan rombongan udah sampe bandara. Untuk keperluan check-in, confirm cap fiskal imigrasi dan bagasi cukup sekitar 30 menit aja udah beres. Waktu sekitar satu jam kita pake untuk ngemil-ngemil aja di executive lounge HSBC, lumayan buat ganjel perut karena nggak sempet sarapan paginya. Perjalanan makan waktu 105 menit aja pake Malaysia Airlines, dan penerbangan MH 712 akhirnya landing mulus tepat 11.45 waktu Malaysia. Dari sini lah cerita pengalaman gue di Malaysia dimulai.

Sekitar 5-10 menit pesawat mendekati landasan, landscape hinterland Kuala Lumpur udah mulai nampak. Lebih kurang 10 menit itu kita bakal disajikan pemandangan hamparan hijau kebun (atau lebih tepatnya hutan kali yaah..) tanaman kelapa sawit yang luas banget..nget..nget! yah nggak heran juga sih, karena Malaysia sendiri jadi salah satu Negara penghasil CPO (crude palm-oil) terbesar dunia, ngalahin Negara kita. Padahal urusan lahan garapan jelas-jelas Indonesia jauh lebih lega dibanding Malaysia. Dari atas juga udah keliatan tuh penataan kota yang rapih antara lokasi hutan kelapa sawit, pemukiman, sungai dan jalan raya disana. Coba bandingin aja saat-saat kita akan mendarat di Cengkareng! (Cuma agak kebantu kalo kita mendarat lepas maghrib, gak terlalu keliatan kumuhnya..hihi) Bukan maksud jelek-jelekin Negara sendiri, tapi udah kenyataan emang dari atas keliatan banget tuh gimana acak-acakannya kota Jakarta. Dimana pemukiman dimana area industri sampe aliran sungai juga tak cantik dipandang.. ooh, bangsaku yang malang. Anyway, akhirnya gue mendarat juga di KLIA (Kuala Lumpur International Airport).

Oiya, ada satu ciri khas Malaysia Airlines setiap mau take off atau landing. Penumpang pesawat sayup-sayup akan di perdengarkan musik kesenian tradisional Malaysia, entah musik gambus atau apa itu namanya pokoknya seni musik yang kental melayu banget. Kenapa hal ini ikut gue ceritain? Soalnya dari beberapa penerbangan baik domestik maupun internasional yang pernah gue jalanin, baru kali ini gue rasain ada tabuh-tabuhan rebana yang nambah aliran adrenalin pas take off dan landing,hehe..
Sesaat setelah gue melangkah keluar pesawat didalam moncong ‘belalai gajah’ yang menghubungkan pesawat dengan terminal airport, rasa penasaran mulai muncul tentang rated KLIA yang sempet gue baca di detik.com beberapa bulan yang lalu. Dalam artikel itu, menurut badan sertifikasi kelayakan international airport; KLIA adalah airport terbaik di kawasan Asia, dan gue pikir gila amat nih airport!! Karena Asia kan masih ada Jepang, Korea, atau China?? Indonesia gak masuk itungan kali yee..huhu

KLIA
jreeng..jreng.. ternyata menurut gue penilaian tadi terhadap KLIA is Overrated!!! Kenapa sebabnya?? Pertama, petugas bandara ‘berseragam hitam’ Malaysia pelit senyuman (apa karena ini flight dari Indonesia aja kalii? *netting..hehe) kedua, alokasi loket imigrasi KLIA nggak cukuplah cuma disediain 7 gate doang pas entry-peak hour kayak pas gue sampe itu. Subhanalloh itu antrian ‘ular naga’ panjangnyaaaa..!!

ketiga, untuk jadi airport terbaik menurut gue KLIA is way too pale! Malah menurut gue KLIA tuh lebih mirip hanggar raksasa yang ditata bagus aja, yaa tapi nggak cukup cantiklah untuk disebut sebagai yang terbaik. Misalnya, coba kita bandingin sama Changi Airport Singapore deh. KLIA nggak punya entertainment center sebanyak Changi, sedangkan Changi kasih flight passengers beragam pilihan untuk ngilangin rasa bosen sambil nunggu departure schedule.

Changi is airport in the mall or mall is inside the airport? Sampe-sampe kita kayak nggak kerasa lagi ada di airport untuk nunggu jadwal berangkat pesawat. Apalagi, ditambah setelah kita checking-in di Changi, full area lantai dilapis karpet halus.. emmm bikin betah! Pilihan booth hiburan juga ada banyak, misal beberapa booth Nintendo X-Box, mau sampe bosen juga hayuu. Belum lagi koneksi internet PC yang ada berantakan dimana-mana, sekalian sama restaurant row-nya (Burger King still my favorite..hehe), atau ada beberapa arena children playground, karena emang biasanya nih anak kecil yang suka pada rewel kalo pas nunggu pesawat. Walhasil waktu dateng apalagi pas pulang dari KL, bener-bener gue dibuat bosen. So, KLIA is obviously overrated laah!! Walaupun Bandara Soekarno-Hatta pun belum berani juga sih untuk dibandingin, apalagi soal kebersihan… (T_T)” *sedih.


Jom Tengok Malaysia!

Baggage checked, langsung order TEKSI (Taksi deng..) tujuan ya pasti tempat kita nginep di daerah Times Square KL. Cuaca siang yang panas bikin gue beserta rombongan ‘TKW’ dadakan ini udah pengen buru-buru aja sampe ke hotel. Ditambah porsi konsumsi pesawat yang tak memenuhi standar kapasitas perut gue, bikin laper banget. 10-15 menit perjalanan darat dari airport cukup boring. Karena kanan-kiri kita cuma hutan sawit lagi dan lagi, sesekali aja ada deretan perumahan-perumahan yang keliatan baru selesai dibangun. Disana juga antrian di gerbang tol hampir-hampir gak ada, selain gerbangnya banyak kita juga gak perlu sibuk-sibuk cari uang receh untuk bayar tol. Cukup deketin aja kartu smart tag ke alat scanner, toink.. portal hidrolik udah otomatis naik-turun.

Makin mendekati pusat kota, sekarang suasana jadi makin rame. Tapi tetep namanya jalan tol ngga ada istilah macet macam tol lingkar dalam kota Jakarta. yang tadinya gue bosen ditambah laper mulai agak-agak terobati karena menara kembar Petronas mulai nongol lebih tinggi dibanding gedung-gedung disekitarnya. “Jom tengok.. KLCC dah tampak lagi” (ayo lihat,menara kembar sudah keliatan) supir Teksi sambil nyengir-nyengir ngomong ke gue.

Sepuluh menit kemudian gue udah nurunin koper-koper dan tas dari bagasi Teksi menuju lobby hotel. Setelah konfirmasi booking, ternyata kamar baru ready sekitar 45 menit lagi. Karena lokasi hotel yang nyatu sama mall, langsung lah kita hunting makanan ke food court. Disana kita gak perlu khawatir cari mana makanan yang halal, mungkin malah sebaliknya; agak susah kali yaa cari-cari makanan yang gak halal..hehe


Bukit Bintang, the hang-out places..

Hari udah mulai beranjak sore, barang-barang dan baju udah selesai gue unpacked. Jam dua siang adzan dzuhur baru kedengeran, karena emang di Malaysia waktu sholat agak-agak molor. Jam 6 pagi lewat masih remang-remang dan baru masuk waktu adzan subuh, ashar baru sekitar jam 5 sore, dan seterusnya jam 7an waktu maghrib, isya sendiri udah jam 8an lewat.

Bosen ganti-ganti channel tv yang jumlahnya nggak lebih dari 15 doang (itu juga plus saluran tv kabel yang boleh tayang disana), bikin pengen cepet-cepet langit berubah jadi lebih gelap dan enak dipake untuk jalan-jalan. Taa-ddaa.. sekitar jam 8 malem, akhirnya gue udah selesai mandi untuk yang kedua kalinya hari itu, jeans-keds-shirt jadi dress-code pasti. Gue sama kakak gue turun ke lobby dan pasang ancang-ancang untuk jalan kaki ke daerah Changkat Bukit Bintang, salah satu satu kawasan hang-out favorit di KL. Walaupun ini bukan pengalaman pertama kakak gue ke KL, tapi karena sebelum-sebelumnya ngga stay di daerah sini jadi malahan gue yang sedikit lebih hafal. Karena sorenya gue sempet jalan-jalan sendirian, bahkan sampe ke daerah Pavilion..hehe

Changkat Bukit Bintang kalo gue boleh bandingin, mungkin mirip-mirip sama daerah Kemang Jakarta Selatan lah. Kanan-kiri berjajar restaurant-restaurant outdoor dengan live music, mirip daerah Legian kalo di Bali. Daerah sini juga jadi lokasi favorit bule-bule untuk mingle, lengkap dengan gelas-gelas bir ukuran badak! Kalo kita nyeberang dari Low Yat Plaza ke Bukit Bintang interseksyen, jadi tempat yang paling pas untuk belanja barang-barang KW-an dan souvenir oleh-oleh Malaysia yang mursidah alias harum bin murah. Standar lah; kaos-kaos I <3 KL, hiasan ukiran perak Petronas Twin Tower dari perak, gantungan kunci, magnet kulkas, dll. rata-rata 10RM per piece-nya. Mungkin temen-temen inget sama Lucky Plaza di ujung Orchard Road? Kira-kira mirip gitu lah.

Dan gak berapa jauh dari situ, pusatnya makan buah Durian! Gue bedua kakak gue abis makan satu Duren segede-gede kepala sapi (baca: lebay! hehe) di tempat. Dan duah buah lagi dibungkus untuk dibawa ke hotel, yang tentunya udah dikupasin sama pakciknya. Sedangkan ngesot sedikit ke arah barat, sepanjang jalan kanan-kiri, tempatnya restoran-restoran tenda Thailand dan Vietnam cuisine. Mulai dari ikan-ikanan, pork bacon, sampe kalajengking ada disini. And I think I’ll pass for several menus offered deh..hihi

Puas jalan-jalan bikin kaki lumayan pengkor. Ada deretan kursi-kursi selonjor dan mbak-mbak yang nawarin pijet refleksi, lokasinya juga outdoor. Tapi karena liat jam tangan udah menunjuk 12 malam lewat, gue dan kakak gue lebih milih langsung balik ke hotel. Karena mesti hemat energi lagi untuk besok, karena jadwal masih lumayan padat deh.

Monorail Experience
Besoknya hari udah mulai terang, selesai sarapan jam 9 kita udah siap untuk keliling KL. Instead of using Teksi, kita serombongan lebih milih naik Monorail dari stesyen Imbi yang lokasinya tepat didepan lobby Berjaya Hotel. Tarif untuk adult RM1.30, sedangkan untuk toddlers under supervision masih dibiarin gratis. Gak beda sama TransJakarta, dari beli tiket di loket sampe masuk lewat passing gate-nya cukup gampang. Beda sama kereta MRT di Singapore, yang without human assisted agak bingung untuk naik pertama kali. Papan informasi dan peta penunjuk arah-nya pun cukup jelas, ada bahasa melayu dan Inggris. Tujuan kita ke KLCC Tower, tapi karena ngga ada jurusan yang langsung kesana, jadi kita mesti sambung lagi ke kereta Kelana Jaya (Kereta Subway Kuala Lumpur) dari stesyen Bukit Nanas. Singkat cerita, kita turun di stesyen sesuai petunjuk. Tapi karena dalam rombongan juga ikut serta bocah-bocah, mulai deh ‘rungsing’ dan ke-gerah-an. Jadilah kita sambung lagi pake teksi untuk bisa sampe ke KLCC as planned.

Oiya, beware untuk temen-temen yang ada rencana ke KL juga yah. Kalo naik dari pinggir jalan, supir teksi disana hobinya main tembak argo. Patokan-nya, untuk daerah sekitar down town KL tarif toleransi teksi sekitar 10-15RM aja, jangan mau lebih dari itu. Sedikit saran aja sih dan tanpa bermaksud rasis sama sekali, sejauh pengalaman gue disana. Lebih baik pilih supir taksi orang melayu aseli deh, karena mereka lebih ramah dan enak diajak ngobrol. Kalo kebetulan dapet supir teksi ‘ngkoh-ngkoh’ (chinese), mereka cukup baik tapi pelit omongan, alias seadanya aja. Dan ini dia, hati-hati sama supir india, karena mereka yang paling gokil soal nembak tarif, udah gitu galak-galak dan ogah banget diajak ngobrol; boro-boro senyum.. (-_-)” grrrrr! Tapi mungkin itu cuma oknum sih, oknum mayoritas.. =D bwahahaa..

Balik lagi ngobrolin soal Monorail, menurut gue monorail itu moda transportasi yang sangat ideal untuk kategori kota-kota besar, terlebih lagi untuk ibukota Negara macam Kuala Lumpur dan Jakarta. Selain lebih cepat dan murah, Monorail juga punya lintasan sendiri diatas jalan raya. Jadi lalu lintas kendaran bermotor sama sekali nggak terganggu, beda sama TransJakarta yang ngambil badan jalan raya kan. Lebih dari itu, model Kuala Lumpur yang sarana transportasi umum-nya selain Monorail ada juga subway dan Bas intercity dengan sistem shuttle; bersih dan nyaman. Nggak heran kalo kejadian ‘jam teruk’ atau jalanan macet terbilang jarang atau gak separah Jakarta terutama di jam-jam wajib macet.

No comments: