Tuesday 7 October 2008

Antara Ngobrol dengan Social Intimacy (Vol. one)




Suatu artikel dalam majalah (saya pun lupa namanya) yang bisa gratis kita bawa pulang dari kafe atau resto disekitar Jakarta, lumayan menyenggol pikiran saya. Dalam artikel tadi, baru-baru ini dilakukan survey kepada ratusan ribu orang yang tinggal dan bermukim permanen di kota-kota besar diseluruh dunia, mulai dari New York, London, Paris, Tokyo, Amsterdam, Roma, dan seterusnya. Sejauh saya tahu, kota-kota lokasi riset dilakukan itu adalah tempat-tempat impian untuk bisa dijadikan tempat tinggal, tidak terkecuali saya sendiri. Eiitz.. tapi tunggu dulu, rumput tetangga belum tentu lebih subur walaupun warnanya lebih hijau dibandingkan pekarangan rumah kita sendiri. Apa pasal? riset tersebut mengambil satu tema besar, menyoal kenyamanan seseorang untuk bisa tinggal secara benar-benar settled dan bahagia lahir dan batin disuatu kota. Ternyata yang cukup mengagetkan saya, kota-kota besar macam New York, London, atau Tokyo menempati lima besar untuk kota yang paling tidak nyaman huni (setidaknya hasil riset menunjukkan hasil itu), dan kota London dianugerahi sebagai juaranya.

Tidak nyaman huni disini bukan dalam konteks keterbatasan infrastruktur macam transportasi, kesehatan, maupun pendidikan. Kalo urusan beginian mah apa kabar negara kita sendiri, apa kabar Jakarta?! Diluar itu semua, 'ketidaknyamanan' mereka lebih pada kenyamanan yang bersifat batiniyah, kenyamanan perasaan, persaudaraan, dan solidaritas dalam konteks kemasyarakatan (sosial). Kok bisa? Ya bisa-bisa aja, survey tadi menyebutkan warga London dan kota lain ironisnya mengalami kesepian, tekanan psikis, dan takut mati seorang diri (tanpa didampingi keluarga atau orang-orang terkasih lainnya). Khusus untuk London, New York, dan Madrid kecemasan akan serangan teroris yang pernah terjadi masih sangat jelas membekas, dan kekhawatiran untuk kembali terulang masih cukup besar.

Kalau boleh diperhatikan lebih jauh, memang banyak negara-negara maju yang memiliki kualitas hidup yang relatif lebih baik, dengan indikasi usia harapan hidup yang lebih panjang atau rata-rata 75 tahun bagi laki-laki, dan 80 tahun untuk perempuan. Sayang hal ini nggak diimbangi sama sekali dengan pertambahan jumlah bayi yang lahir, seperti contohnya di Jerman angka kelahiran hingga dibawah 0% hingga minus. Belum lagi para lansia yang hidupnya cukup panjang tadi, umumnya mereka akan hidup sebatang kara tanpa anak atau keluarga lain yang mengurus segala keperluan hidupnya. Memang pemerintah Jerman secara penuh memenuhi kebutuhan mereka, mulai dari tempat tinggal, pakaian, makanan, hiburan, liburan, dan lain-lain. Tapi apakah keperluan lahiriyah sudah cukup menjamin kebahagiaan seseorang, ternyata terbukti tidak. Ada kebutuhan lain sebatas kecukupan lahiriyah. Nah. lantas apa hubungannya fenomena ini dengan hasil riset yang disampaikan sebelumnya?

Tentu ada hubungannya, dua-duanya sama-sama membuktikan kalo hal-hal materiil yang banyak dari kita mati-matian mengejarnya siang-malam, hampir nggak ada artinya kalo kebutuhan psikis nggak terpenuhi dengan baik. Dalam satu buku saya pernah baca, William Isaac Thomas (sosiolog dan psikolog sosial) bahwa ada 4 hal yang harus dipenuhi dalam hidup seseorang untuk memperoleh kebahagiaan yang sejati. Diantaranya, rasa untuk dicintai, kebutuhan akan pengalaman, rasa untuk merasa aman, dan rasa untuk dihargai (secara verbal dan simbolis). Dan semua kebutuhan psikis mendasar ini, hanya bisa dipenuhi lewat hubungan interaksi dengan orang lain (sosial interaction).

Bolehlah dengan materi, uang yang banyak, jabatan tinggi, atau tanah ratusan hektar bisa jadi sarana untuk mencapai kebahagiaan; tapi manusia sendiri ada batasnya, bukan? Apa artinya kekayaan yang berlimpah kalo hanya dinikmati sendiri? Mungkin teman-teman yang membaca bergumam " iya.. saya menikmatinya bersama-sama keluarga saya, membahagiakan keluarga saya ". Pertanyaannya, jika seluruh keluarga sudah kebagian kebahagian dari Anda tadi dan masih ada sisa banyak, mau dibawa kemana lagi sisa harta sebanyak itu? Bukankah manusia ada batasnya?

Sekarang coba kita pikir-pikir lagi, kalo boleh pinjam dialognya pak Harfan di film Laskar Pelangi "Sebaik-baiknya orang itu yang paling banyak memberi, bukan yang sebanyak-banyaknya menerima...". Nah, sudah berapa banyak yang sudah kita buat untuk manfaat orang banyak? Kalo saya sih masih payah banget untuk urusan yang beginian. Kalo ngga dipotong sama Ibu dari hasil gaji bulanan yang saya setor, yaa ngga mungkin inget sama zakat penghasilan yang mesti diambil 2,5% dari rezeki kita.

Atau boleh juga kita pikir, berapa banyak dari kita yang masih menambah jumlah teman di usia sekarang dan terus melanjutkan hubungan itu dengan baik? Saya pikir sangat sedikit kita menambah teman, atau sangat jarang dari perkenalan itu terus dijaga kelanjutan hubungannya. Walaupun dimudahkan melalui media Facebook atau Friendster sekalipun. Paling-paling yang sering kita comment, testimoni, sending message, post on wall, dan lain-lain masih juga orang yang sudah kita kenal lama. Mungkin teman satu geng masa SMA, boleh jadi teman se-organisasi waktu kuliah, atau temen kantor sendiri.

Bayangkan kalau saja kehidupan kita akan terus-menerus seperti ini, lama-lama 'keintiman sosial' --istilah yang digunakan Anthony Giddens-- akan memudar juga; karena sempitnya kehidupan kita itu. Mungkin kita berpikir, pekerjaan yang sudah dijalani 10-15 tahun belakangan sangat berarti bagi kehidupan kita. Sampai-sampai jarang mengunjungi orang tua, kumpul dengan keluarga, ibadah juga seadanya, atau porsi waktu yang sedikit sekali untuk anak dan istri. Padahal dalam hidup kita belum memberikan banyak baik untuk diri sendiri, keluarga, atau kepada lingkungan. Mungkin tekanan sosial yang kronis macam ini serupa dialami oleh ribuan orang-orang yang tinggal di kota London, New York, Madrid, Tokyo, Amsterdam, Paris, dan lain lain.

Apa cara mudah merenovasi bangunan solidaritas sosial yang mampu menyehatkan lingkungan masyarakat kita? Mengobrol adalah. . . .

-- to be continued --

2 comments:

The power of mine said...

Makin keren aja nnih blognya ma tulisan2 sarat manfaat & Ilmu,,, Saluut,,

Seperti kita tau kalo orang2 western itu tingkat individualitasnya tinggi (pernah baca jurnal juga), Naaah sekarang keliatan deh dampaknya,,

Ditunggu volume 2

Salam,
Mayang Atia.P
The Power of mine

atmosfer kata-kata said...

bisa aja deh.. but thanks ;)

betul bgt individualisme di budaya barat paling hebat, sampe2 impact sosialnya juga ngga kalah heboh..

beda-nya, orang di budaya timur agak2 plin-plan.. agak2 ke-barat2an, tapi budaya ketimuran-nya juga blm bisa lepas, jadi mau pilih yang mana?

cheers!