Monday 8 September 2008

Gagasan, Propaganda, dan Film (reposted)


Ada banyak sekali cara dalam menyuarakan gagasan dalam diri seseorang. Ide dan gagasan memang mutlak hadir dalam benak setiap orang, menanti untuk digarap dan mampu mentransmisikan pesan dalam format kontekstual, tematik, bahkan propagandis. Bila media podium dalam masa modern saat ini semakin membatasi jika tidak ingin dikatakan melelahkan sebagai wahana penyampaian ide, saluran lain yang lebih terkesan intelek dan estetik dengan ‘efek getaran’ yang lebih luas menjadi metode alternatif yang sulit untuk ditampik. Umumnya bahasa tulisan merupakan opsi kebanyakan, selain keluasan raihan akses yang mampu dijangkau baik dalam tulisan artikel media cetak, internet, bahkan ruang-ruang blog yang kian ramai disambangi menjadi target utama perantaraan gagasan seseorang. Dari sekian banyak cara dan saluran yang tersedia dalam penyampaian gagasan tadi, media film yang menawarkan kekuatan visual dan audio yang maksimal; dapat dijadikan gulungan dialektika yang relatif paling baik. Walaupun sama sekali bukan barang baru bila ‘dunia layar’ ini dimanfaatkan sebagai lahan garap untuk mewacanakan sesuatu.

Film adalah sebuah media yang mampu memadukan banyak aspek dalam berwacana. Dalam film dibutuhkan rangkaian cerita, rangkaian bahasa, penokohan, tatanan busana serta riasan lainnya, plot-plot dengan sequence dramatis yang diharapkan, music scoring yang mampu membangkitkan suasana, pilihan visual fotografis, efek visual sebagai penyempurna, dan banyak aspek lainnya bila secara rigid kita mau membahasnya. Anda mungkin bergumam, “ bukankah media lain juga mampu meng-cover aspek-aspek diatas tadi? ”. Mungkin yang Anda maksud buku novel, otobiografi, bibliografi, dan seterusnya. Memang media buku mampu memenuhi aspek rangkaian cerita, plot, bahasa dan penokohan dalam lembaran-lembarannya. Namun, harus diakui bahwa keterbatasan audio dan visual dalam buku menjadi handicapped yang mampu dipenuhi dengan sempurna dalam produksi film. Sama halnya keterbatasan media radio dalam menyampaikan pesan-pesannya, dimana kebutuhan visual belum cukup terpenuhi dengan baik kecuali Anda mengikuti jalan produksinya on the spot. Atau sebagian Anda bergumam lebih dalam lagi ” Saya menonton pertunjukkan teater, panggung teater cukup akomodatif kok!? ”. Memang seni pertunjukan macam teater menjadi media transmisi yang paling mendekati, didalamnya ada cerita, penokohan, tata bahasa dan visual gestures dari para pemerannya, plot, busana dan tata riasan, efek suara, tata cahaya dan efek khusus, dan seterusnya. Sekali lagi, namun pertunjukkan teater hanya digelar pada satu waktu, satu tempat, dan suatu kesempatan saja. Untuk memenuhi ‘efek getar’ yang lebih luas, pertunjukkan teater sangat mengandalkan review dalam media massa terbitan hari selanjutnya, atau syukur-syukur jika saja para penonton yang merasa puas ikut menyisipkannya dalam obrolan informal kepada teman maupun kerabat dekatnya pada suatu kesempatan informal; karena belum pernah penulis mendengar penyelenggaraan bedah teater layaknya bedah buku yang khusus membicarakan content dari karya dialektis tersebut

Jika dibandingkan dengan penyampaian gagasan lewat film yang mampu dipertunjukkan secara massal, dan diakses publik yang jauh lebih luas bahkan berskala worldwide yang mendunia; maka tentu saja hal ini menjadi tambahan bahwa karya film memang menjadi karya dialektis yang paling efektif dalam menyampaikan suatu gagasan. Tentu kita masih ingat film G 30 S PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia) karya Arifin C. Noer yang ditelurkan dari orderan khusus pemerintahan orde baru pada masa itu. Betapa efek pembentukan wacana yang terjadi sangatlah hebat. Dengan penggarapan yang sangat baik, film itu mampu menanamkan pemahaman yang diharapkan mengenai siapa musuh, siapa pahlawan, dan siapa yang menjadi korban; jika tidak mau dikatakan sebagai propaganda pemerintah. Atau ada karya docudrama garapan Michael Moore lewat Bowling for Columbine, Fahrenhite 9/11, dan Sicko yang mencatatkan namanya sebagai penerima piala Oscar. Atau Al Gore yang popularitasnya diperbaiki setelah kalah pemilu dengan meraih nobel perdamaian dan penghargaan lainnya lewat film An inconvenient truth mengenai pemanasan global. Tidak kalah sumbangan Nia Dinata dalam menyampaikan perspektifnya soal gay lewat film Arisan dan tema poligami lewat Berbagi Suami yang sempat mampir di De Cannes Film Festival dan beberapa festival film lainnya yang berskala dunia. Melalui film juga penanaman gagasan seseorang yang dibungkus dalam ruang produksi, mampu direkayasa sebagai bahan tontonan yang membuai dan memanjakan hingga publik luas yang sedang ditanami gagasan itu tidak terasa bahwa merekalah yang dijadikan sebagai target penanaman dari suatu gagasan itu sendiri.

Bila Anda yang membaca, tulisan ini dianggap terlalu hiperbolis hal itu sah-sah saja karena siapa yang bisa menghalangi seseorang untuk berpikir dan beranggapan atas sesuatu, kan?. Saya sendiri sangat menikmati aksi James Bond yang mampu menghindar dari terjangan peluru para teroris dengan begitu luar biasa, atau kehebatan John Rambo yang meluluh lantahkan satu batalyon pasukan untuk membebaskan tahanan perang di tengah hutan tropis Vietnam. Karena film sebagai hiburan (sedikitnya kita menganggapnya begitu) sudah menjadi industri besar yang memang menawarkan kalkulasi laba hingga mencapai angka miliaran. Toh tidak ada yang memaksa Anda untuk menonton atau tidak, bukan?. Akan tetapi, ada semacam ekspektasi lebih dalam diri pribadi Saya, yaitu ekspektasi akan sebuah skeptisme dan kesadaran terhadap suatu realitas yang diangkat dalam karya film. Apa jadinya jika skeptisme sama sekali dihilangkan terutama dalam hal membicarakan theme content dalam suatu film. Bayangkan segmentasi remaja pada film-film semacam American Pie yang dibuat hingga berseri melebihi seri trilogi yang tanpa diikuti dengan daya skeptis serta kewaspadaan yang cukup, tentu konten dalam ‘film-film sampah’ itu dapat berimplikasi destruktif dalam sebuah bentuk konflik budaya yang serius. Dalam beberapa kesempatan forum-forum diskusi yang pernah saya ikuti, klarifikasi beberapa narasumber yang sempat berproses di negeri paman sam itu menekankan bahwa American Pie bukanlah representasi murni budaya remaja Amerika secara umum, bahkan diakhir diskusi tak lupa disisipkan ungkapan “ jangan lupa untuk skeptic terhadap sesuatu muatan budaya! “. Dalam hal ini skeptis harus dipahami sebagai bentuk kritis yang dapat berfungsi sebagai bentuk filter budaya. Skeptisme menjadi ‘pola kesadaran’ dalam menginterpretasikan sesuatu menjadi lebih dialektis, atau sedikitnya memenuhi aspek diskursif yang argumentatif.

Beberapa waktu lalu, saya bersama beberapa teman yang mengaku sebagai maniak film menonton sebuah film berjudul The Great Debaters. Tidak didukung dengan perlengkapan sound istimewa dalam ruang kedap dan peralatan visual sekelas home theatre sekalipun, kami berlima sudah cukup excited dan antusias. Tanpa diawali overture panjang, Scene film diawali dengan Amerika dalam setting masa-masa depresi tahun 1930-an didaerah Texas. Musik tribal yang dijadikan scoring scene awal malah mengingatkan saya film Apocalypto arahan Mel Gibson. Disebuah pondokan kayu, gemuruh kumpulan afro-amerika menyanyikan lagu-lagu gospel yang sangat lirih, selirih nasib mereka pada masa itu. Stereotipe kaum terbelakang dan belum beradab seakan sangat melekat pada diri orang-orang kulit berwarna. Pada titik ini, film yang diproduksi oleh presenter kenamaan Oprah Winfrey dengan embel-embel Harpo Productions, sarat akan tendensi dalam misinya merehabilitasi citra kaum kulit berwarna di Amerika lewat sebuah karya film. Untungnya film ini diangkat dari sebuah kisah nyata, sehingga mampu sedikit mengurangi aspek subjektivitas dan bias dari pembuatnya; walaupun aspek rekayasa tentu saja pasti tetap ada demi melanggengkan gagasan yang ingin disampaikan pembuatnya. Secara garis besar film ini ingin menyampaikan sebuah perjuangan dalam format wacana pada karya film, yaitu perjuangan akan suatu bentuk persamaan tanpa sekat rasialisme di negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanitas itu, Amerika. Lupakan film Missisipi Burning yang sama-sama mengangkat kegelapan sejarah rasial Amerika, bila Missisipi Burning masih setengah hati mengangkat isu rasial dengan masih menempatkan si kulit putih sebagai superhero atas si kulit hitam, dalam film ini perjuangan kulit hitam sepenuhnya dilakukan oleh kaum kulit hitam sendiri; dengan Danzel Washington (American Gangster) sebagai bintang utama sekaligus sutradara.

Danzel Washington memerankan Mr. Tolson yang berprofesi sebagai profesor di Wiley College, kampus khusus kulit hitam, karena memang universitas di Amerika waktu itu masih memisahkan antara pelajar kulit putih dengan yang berwarna. The Great Debaters menekankan pentingnya pendidikan sebagai senjata paling ampuh untuk merubah keadaan seperti diskriminasi rasial. Beda dengan konsepsi Marx yang hanya percaya pada revolusi proletar untuk memperbaiki ketimpangan sosial ekonomi kaum kebanyakan (baca: buruh). Melalui kompetisi adu debat antar Negara bagian, tim Wiley College sedikit demi sedikit berhasil menanamkan pemahaman baru akan nilai-nilai keragaman dan kebersamaan. Setelah melalui banyak konflik internal dan sosial, akhirnya Harvard University mengundang Wiley College dalam forum debat terbuka yang disiarkan secara nasional lewat radio. Untuk mengetahui kisah selengkapnya, silahkan para pembaca menyaksikannya sendiri.

Oprah Winfrey tentu semua orang sudah mengenalnya, sebagai perempuan kulit hitam dia menjadi salah satu ikon perubahan nasib yang sangat fenomenal. Tentu ada banyak banyak gagasan dalam dirinya untuk disebarkan, terutama bagi kaum-nya sendiri. Dengan sumber daya yang dimilikinya, memproduksi sebuah karya film tentu bukan menjadi halangan yang berarti. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin menekankan betapa gagasan yang ada dalam diri seseorang memiliki kekuatan yang sangat besar untuk diaktualisasikan menjadi sesuatu. Suatu gagasan dapat dianalogikan layaknya sebuah bisul yang mengganggu, toh suatu saat pasti akan meledak juga. Suarakan gagasan kita, mungkin ada banyak manfaat dibaliknya, bukan hanya bagi diri kita, jauh lebih penting menjadi hikmah kepada yang lain. Selamat menyuarakan gagasan Anda!

harismosa@yahoo.co.uk

No comments: