Wednesday 11 June 2008

MAY DAY!











DILEMA KAUM BURUH DAN MAKRO EKONOMI

World Labor Day, demikian tajuk yang cukup hangat diperbincangkan khususnya pada tanggal 1 Mei kemarin, yang kebetulan bertepatan dengan hari buruh sedunia. Apa kabar kaum buruh dunia saat ini? Menjadi sebuah retorika klasik yang tidak kunjung lelah untuk terus diusik dan ditilik dalam-dalam. Sejak awal mula periode industrialisasi pasca ditemukannya mesin uap di Inggris Raya di kawasan eropa barat, hingga hari ini buruh memang tetap saja “buruh”. Satu bagian dalam masyarakat yang di cap sebagai warga kelas dua yang selalu terinjak nasibnya, atau mungkin lebih tepatnya sengaja dibuat untuk dapat diinjak dengan begitu mudahnya. Penciptaan kondisi ketidakberdayaan yang direkayasa sedemikian rupa, kita tahu benar hal itu namun apa daya tangan tak sampai, hingga keadaannya bertahan dengan begitu mapan. Potensi kuantitas dan peran yang demikian besar dalam mempertahankan roda industrialisasi dunia ternyata belum cukup bagi buruh untuk ‘menggoyang’ atau sekedar lantang bersuara menuntut posisi tawar yang memadai. Walaupun tidak sepenuhnya benar apabila keadaan buruh pada sektor industri formal-legal dikatakan tanpa ada perubahan sama sekali berkenaan dengan masalah nasib perburuhan dan para kelas pekerja ini. Bila dibandingkan dengan jam kerja masa-masa industri terdahulu yang dikontribusikan oleh buruh, memang terdapat penyesuaian humanitas yang terbilang signifikan. Belum lagi beberapa program standar perlindungan dan keselamatan kerja yang diperbaiki beserta dengan jaminan asuransi kesehatan, kecelakaan, hingga kematian; harus kita akui memang terdapat perubahan disana. Namun, yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, apakah besaran pertukarannya cukup bagi kelas pekerja dengan kontribusi yang sudah dikeluarkan selama ini?

Merujuk pada satu poin pemikiran Richard Templar dalam buku yang ditulisnya, The Rules Of Wealth. Templar dengan yakin bersuara bahwa dalam salah satu poin pemikirannya disebutkan bahwa sebesar apapun upah yang diberikan perusahan atau industri yang memperkerjakan Anda, tidak akan sepadan dengan apa sudah Anda lakukan. Artinya adalah tenaga dan potensi kita terlampau besar untuk diupah seperti sekarang ini. Manusia merupakan sumber daya (resource) yang tak ternilai harganya, terlebih dengan upah yang diterimanya sekarang atau hingga kapan pun, dia melanjutkan. Menjadi lumrah jika kaum Marxis menyebut para pemilik alat produksi (kapitalis) tadi disebutnya sebagai ‘pencuri’ terbesar dalam Negara, dan ‘para pencuri’ tadi harus ‘ditertibkan’ melalui jalan revolusi pekerja (proletar) dengan mengembalikan penguasaan alat produksi kepada seluruh rakyat secara bersama-sama tidak lupa dengan menghilangkan kelas-kelas sosial didalam masyarakat Negara itu sendiri. Seandainya konsepsi Karl Marx tadi seindah dan sesederhana kedengarannya, mungkin akan menjadi berita baik bagi kita kaum kebanyakan (baca: buruh). Jika penulis boleh sekptis terhadap pemikiran Marx, keadaannya sekarang tidaklah sama. Urusan nasib buruh bukan sebatas pada penguasaan alat produksi saja, sebaliknya kompleksitas sistem ekonomi dunia yang semakin kusut dengan globalisasi ekonomi hingga ke masalah terkecil dalam hidup semua orang ikut memperunyam masalah. Selain itu, watak buruh hari ini tentu berbeda dengan para buruh pada abad terdahulu; para pekerja dan buruh saat ini bukanlah elemen yang haus darah para kapitalis untuk menyelesaikan keterhimpitan situasi dengan jalan revolusi. Wajar saja jika beberapa diantara kita masih takut mendengar kata ‘revolusi’. Memang revolusi bukan melulu gerakan yang meminta tumbal dan pertumpahan darah, tetapi pernyataan Ernesto Guevara sebagai bapak revolusi dunia yang menyebutkan revolusi tanpa senjata hanyalah ilusi, buah bibir yang diselimuti kebohongan. Maksud penulis sebenarnya adalah sebetulnya buruh dan pekerja saat ini tidaklah neko-neko, para pekerja hanya inginkan perbaikan keadaan hidup, memiliki posisi yang berimbang dalam hal negosiasi dan dalam hukum pertukaran sosial, kemudian buruh juga mendambakan bentuk penghargaan yang sewajar dan semestinya; apakah hal-hal diatas terlalu muluk untuk dipertanyakan? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Karena buruh yang sudah mencurahkan potensi dirinya berhak untuk mendapatkan bentuk penghargaan yang semestinya, sebuah penghargaan material dan moral yang ditempuh melalui komunikasi bersama.

Jika para pembaca masih menganggap tulisan diatas masih bergerak dalam angan-angan naif belaka, mari kita lanjutkan pembahasan kepada siapa analisis permasalahan ini seharusnya diarahkan. Mau tidak mau, suka ataupun tidak peran Negara dalam masalah perburuhan harus kita sertakan. Karena selain Negara sebagai bagian integral dari aspek struktural yang diperkuat dengan otoritas dan landasan undang-undang berkekuatan hukum tetap, Negara yang dikelola oleh pemerintahan yang dibentuk oleh rakyatnya sendiri seyogyanya harus mampu mengakomodasi penuh seluruh rakyatnya yang menjadi buruh khususnya dan rakyat biasa umumnya, dalam suatu bentuk regulasi yang berimbang dan akomodatif. Baiklah, memang pernyataan tersebut sifatnya masih sangat das solen (yang seharusnya), padahal kenyataan das sein (yang terjadi) sangat bertolak belakang. Bukannya berperan seimbang dan menyeimbangkan, Negara yang direpresentasikan oleh pemerintah malah menjadi ‘tangan kanan’ para pelaku industri-industri besar. Yang sudah besar dibuat menjadi semakin kuat dan semakin besar lagi, sebaliknya kaum buruh yang terjepit kian dibuat terhimpit kesakitan. Secara pertimbangan strategi ekonomi, pemerintah kini sangat jelas menganut paradigma yang pragmatis. Apa yang tampak riil dan menjanjikan dalam jangka pendek didepan mata sedaya upaya diusahakan untuk digarap. Urusan elementer rakyat seperti masalah kesejahteraan dan kondisi hidup kembali diposisikan menjadi nomor kesekian. Mungkin kebijakan konversi subsidi pada bahan bakar minyak (BBM) seperti bensin premium masih dijadikan sebagai dalih pemerintah untuk dianggap tetap pro-rakyat, padahal rakyat Indonesia sudah semakin pintar. Sudah menjadi rahasia umum jika langkah-langkah populis macam itu sangat menyengat aroma politiknya dibandingkan ketulusan akan sebuah keberpihakkan kepada rakyat. Agenda pemilihan umum yang semakin dekat hari pelaksanaannya makin memperjelas tendensi-tendensi berupa asumsi rakyat yang mengarah kesana, yaitu agenda politik strategis. Jika pemerintah masih saja berpegangan pada kebijakan subsidi yang mempercepat kebangkrutan Negara, hasilnya sama sekali tidak sepadan. Apa guna premium dipertahankan harganya pada level tertentu, jika disisi lain pengangguran, harga sembako, praktek korupsi dan kolusi terus dibiarkan tumbuh dengan subur. Pemerintah ibarat menyembuhkan tumor ganas di otak dengan obat pencegahan demam dosis ringan, maka tidak akan mumpuni hasilnya.

Sudah semestinya Negara ini belajar dari sejarah. Proiritas pembangunan yang sebatas menekankan orientasi ekonomi makro sangatlah rapuh pondasinya. Sama-sama sudah kita rasakan pahitnya krisis multidimensional awal mei 1998 silam, yang sudah sepuluh tahun berselang namun dampak kerusakaannya masih kita rasakan hingga hari ini. Efek tetesan (trickle down effect) dari ekonomi makro pada teori pembangunan sudah terbukti gagal dan kalah. Namun ironisnya konsepsi tadi tetap dipertahankan dan ditingkatkan dalam regulasi ekonomi untuk investasi “buka pintu penuh” bagi industri besar luar negeri; dengan harapan yang sama, yaitu efek tetesan dari ekonomi besar bagi elemen terkecil bangsa ini. Sudah menjadi daya tarik yang kurang menarik berupa opsi yang ditawarkan pemerintah bagi para investor asing. Upah murah masih dijadikan slogan murahan pemerintah dalam ‘jualan’ investasi industri di Indonesia. Mari kita hitung sudah berapa banyak investasi yang kabur dan angkat kaki dari Indonesia, bahkan sekelas pabrikan sepatu macam Nike yang ‘cabut’ investasi tidak meninggalkan apapun selain gonjang-ganjing dan saling lempar tanggung jawab. Upah murah sudah bukan menjadi daya tarik utama, tetapi kualitas buruh juga harus menjadi pertimbangan penting para penanam modal itu. Dengan situasi kekurangan yang dirasakan rakyat seperti sekarang rasanya sulit meningkatkan kualitas manusia Indonesia baik dalam bidang kesehatan dan pendidikan untuk bersaing dengan Negara-negara lain. Upah buruh di Negara kita memang murah, namun apakah upah buruh kita yang termurah? Selain itu apakah jaminan kondisi usaha yang kondusif mampu dipenuhi oleh pemerintah jika melihat birokrasi yang masih terlalu korup dan inefisien seperti sekarang, pastinya kita kalah jauh. Menjadi mudah ditebak apabila banyak investor lebih memilih Negara lain macam Vietnam, Thailand, India, atau bahkan China.

Kondisi riil yang dirasakan buruh saat ini adalah kondisi ketidakberdayaan yang kronis. Menjadikan mental manusianya berbunyi “kerja apa saja, dibayar berapa saja”, menjadi pilihan getir yang harus diambil. Belum lagi sistem kerja kontrak dan upah minimum yang ditetapkan pemerintah sangat minim untuk hidup membikin buruh dan pekerja susah tidur pulas di malam hari. Ironisnya, lagi-lagi pemerintah mengakomodasi regulasi berat sebelah macam itu. Bagaimana produktivitas kerja dapat ditingkatkan jika tidak ada jaminan karir yang memadai. Ujung-ujungnya umur kontrak diputus sepihak dengan pertimbangan produktivitas yang minim, padahal suatu keadaan harus dipahami sebagai suatu yang saling terintegrasi satu dengan yang lainnya, dan semestinya otoritas struktrulal paham akan hal ini bukannya malah tutup mata dan tidak ambil perduli dengan kondisi yang berlaku macam ini.

Dilema kaum buruh dan pertimbangan kebijakan makro ekonomi harus diperbaiki menjadi harga mati untuk dapat diselesaikan dengan arif, bijaksana, tepat, dan menyeluruh. Komunikasi antara stake holders harus difasilitasi dengan baik dan berimbang, pemerintah sebagai otoritas legal-formal menanggung tanggung jawab ini. Mekanisme social exchange theory harus dijalankan dengan baik disini. Dengan demikian semua pihak akan diuntungkan dan tidak ada stupun pihak yang dikorban. Semoga momen peringatan hari buruh yang dijadikan agenda bersama diseluruh dunia menjadi momentum perubahan yang berpengaruh pada perubahan sejarah perlindungan bagi kaum pekerja diseluruh belahan dunia dimanapun, terlebih lagi di Negara kita tercinta Indonesia. Selamat Hari Buruh Sedunia wahai kaum Buruh!

harismosa@yahoo.co.uk

haris@virus-communications.com

No comments: