Tuesday 8 March 2011

" Robohnya Surau Kami " Karya A.A Navis ... Sesuatu yg perlu direnungkan


ROBOHNYA SURAU KAMI
Cerpen (Alm.) A.A Navis

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau.

Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaanya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu.

Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum. Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal.

Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari. Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarnya.

Beginilah kisahnya. Sekali hari aku datang pula mengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek gembiri menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu.


Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek,
"Pisau siapa, Kek?"

"Ajo Sidi."

"Ajo Sidi?" Kakek tak menyahut.

Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo
Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku

ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi,
"Apa ceritanya, Kek?"

"Siapa?"

"Ajo Sidi."

"Kurang ajar dia." Kakek menjawab.

"Kenapa?" "Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh
tenggoroknya."

"Kakek marah?"

"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku
tanya lagi Kakek:
"Bagaimana katanya, Kek?" Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali.
Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku.

"Kau kenal padaku, bukan? Sedari kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka
mulutnya, di takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaanya sendiri.

"Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wata'ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka.


Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada- Nya? Tak Kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya-Allah, kataku bila aku kagum. Apalah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk." Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku,

"Ia katakan Kakek begitu, Kek?"

"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa ceritanya Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek.
Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita juga.

“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “di akhirat, Tuhan Allah memeriksa orang- orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyaknya orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang.


Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan “selamat ketemu nanti”. Bagai tak habis- habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya. Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
"Engkau?"

"Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku."

"Aku tidak tanya nama. Nama bagiku tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia."

"Ya, Tuhanku."

"Apa kerjamu di dunia?"

"Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku."

"Lain?"

"Setiap hari, setiap malam, bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu."

"Lain?"

"Segala tegah-Mu, kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia
seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan iblis laknat itu."

"Lain?"

"Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu."

"Lain?"

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

"Lain lagi?" tanya Tuhan.

"Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan
Penyayang, Adil dan Mahatahu."

Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya. Tapi Tuhan bertanya lagi: "Tak ada lagi?"

"O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu."

"Lain?"

"Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku lupa

mengatakannya, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang Mahatahu."

"Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?"

"Ya, itulah semuanya, Tuhanku."

"Masuk kamu."

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap. Alangkah tercenggangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula.
Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

"Bagaimana Tuhan kita ini?" kata Haji Saleh kemudian,

“Bukankah kita disuruhnya-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah
kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.”


“Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang se-negeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat.”

“Ini sungguh tidak adil.”

“Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

“Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.”

“Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.”

“Benar. Benar. Benar.” Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

“Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?” suatu suara melengking
di dalam kelompok orang banyak itu.

“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Saleh.

“Apa kita revolusikan juga?” tanya suara lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin

gerakan revolusioner.

“Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh.

“Yang penting sekarang, mari kita berdemontrasi menghadap Tuhan.”

“Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demontrasi saja banyak yang kita peroleh,” sebuah
suara menyela.

“Setuju. Setuju. Setuju.”

Mereka bersorak beramai-ramai. Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap
Tuhan. Dan Tuhan bertanya. “Kalian mau apa?”

Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara
menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya:

“O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain- lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.”


“Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Tuhan.

“Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.”

“O, di negeri yang tanahnya subur itu?”

“Ya, benarlah itu, Tuhanku.”

“Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh oleh logam, minyak dan berbagai bahan
tambang lainnya bukan?”

“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.” Mereka mulai menjawab
serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah

mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

“Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?”

“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”

“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”

“Negeri yang lama diperbudak orang lain?”

“Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.”

“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkutnya ke negerinya,
bukan?”

“Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”

“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang
hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”

“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting

bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”

“Engkau rela tetap melarat, bukan?”

“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”

“Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?”

“Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu
mereka hafal di luar kepala.”

“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”

“Ada, Tuhanku.”

“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.”

Semua jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diredhai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atau benar.
Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang mengiring mereka itu.

"Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?" tanya Haji
Saleh.

"Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikit pun."

...Demikian cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi

menjenguk.

"Siapa yang meninggal?" tanyaku kaget.

"Kakek."

"Kakek?"

"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan
sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."

"Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku
yang tercengang-cengang. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya

saja. Lalu aku tanya dia.

"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.

"Tidakkah ia tahu Kakek meninggal?"

"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."

"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang ke mana dia?"

"Kerja"

"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.

"Ya. Dia pergi kerja."


END OF STORY...

Sunday 6 March 2011

Virtual Office; Solusi Kecil Kepadatan Jakarta


Jakarta, Jakarta, Jakarta..

Jika kita bertanya, Pulau apa yang paling padat di dunia? Ternyata jawaban-nya adalah pulau Jawa. Perhitungan ini boleh jadi tidak salah, karena indikator-nya merupakan perbandingan antara luas wilayah dan jumlah manusia yang numpang hidup didalamnya. Memang untuk urusan jumlah manusia yang menempati sebuah pulau di bumi ini, ada banyak yang lebih besar; tapi untuk urusan kepadatan, pulau Jawa-lah juara-nya.

Hebatnya lagi, Jakarta; sebuah kota yang berada didalam teritori pulau Jawa, dimana Jakarta sendiri mendapat gelar kota paling padat di pulau Jawa! Sepertinya sudah cukup dapat dibayangkan, betapa padat-nya Batavia ini, bukan?

Nggak kurang 8,5 juta orang seliweran didalam kota ini pada siang hari di-weekdays dengan segala kesibukan-nya masing-masing; dan kalkulasi angka 6 Juta orang di malam hari. Hal ini jelas-jelas konsekuensi logis dari kota Jakarta, sebagai 'one-stop-city in function'. Pusat pemerintahan Negara, pusat bisnis dan perniagaan, pusat pelayanan dan jasa, dan pusat dari pusat-pusat lain-nya. Mau-tidak-mau Jakarta yang dikepung kota-kota satelit macam Bekasi, Bogor, Tangerang, dan Depok; akan digempur tiap hari oleh jutaan orang yang cari rezeki di kota ini.

Ada banyak kota-kota di dunia yang masuk ke dalam kategori padat, sebut saja Mexico City, New York atau Hongkong. Tapi Jakarta adalah yang terpadat. Hal ini tidak lepas dari warisan salah urus-nya kota ini, kenyataan sebagai salah satu kota terpadat makin ditambah dengan kesemerawutan kota-nya yang bikin pecah kepala.

Jakarta boleh jadi miskin sumber alam, tapi Jakarta dengan label Ibukota Negara dengan segala keistimewaan yang dimiliki-nya; daerah-daerah lain di nusantara pantas cemburu dan geram hati-nya. Bagaimana nggak? perputaran uang nasional, 80 % ada disini. Memang galian dan eksplorasi alam ada di Papua, Kalimantan, Sumatera, atau Nusa Tenggara; tapi hasil ekonomis-nya terbang juga ke Jakarta.

Jangan salahkan juga urbanisasi besr-besaran yang terus terjadi, kalau pemerataan ekonomi nasional tak pernah digarap serius oleh pemerintah. Kalau Foke lewat pemerintah daerah-nya masih mengandalakan razia KTP tiap habis mudik lebaran untuk menanggulangi arus urbanisasi, mati aja deh mendingan; gak bakalan berhasil. Perlu program yang lebih koperhensif dibanding solusi parsial macam begitu. Ngurusin kota Jakarta tuh udah masalah nasional, pemerintah pusat mesti turun tangan.

Ada beberapa wacana, sekali lagi cuma wacana! untuk mencari solusi dari kompleksitas masalah yang sudah terlanjur terjadi ini. Tapi sayang di sayang, semua-nya cuma wacana, gak lebih dari materi editorial surat kabar atau acara 'banyak cing-cong' di televisi. Kita sama-sama tau, wacana memindahkan ibukota dari Jakarta. Komentar gue sih, walaupun itu bukan suatu hal mustahil tapi tetep aja itu semua gak lebih dari sekedar pepesan kosong! Kalo emang bener rencana itu sebagai solusi yang mau diambil, terus buat apa ada rencana pembangunan bandara internasional lagi di sekitar wilayah Jakarta. Terus ibukota itu mau dipindahin kemana? kalo semua infrastruktur tersentralisasi di kota Jakarta? so, that's just totally rubbish!

Kemacetan
Ekses yang paling dikeluhkan dari kepadatan dan kesemerawutan kota Jakarta adalah tingkat kemacetan-nya yang sudah kronis. Lagi-lagi, ada banyak wacana untuk menanggulangi hal ini. Dan lagi-lagi, sayang di sayang kebanyakan wacana cuma sebatas 'efek fatamorgana' bahkan cenderung konyol. Coba sodara-sodara banyangkan, sarjana-sarjana yang bekerja untuk negara dan tugasnya memberikan solusi cerdas; malah memberikan formula yang banyak cacat disana-sini.

3-In-1
Ambil contoh, hampir 2 dekade regulasi 3-in-1 pagi dan sore di jalan-jalan protokol berjalan; bagaimana hasil-nya, boi? Oh, tentu saja berjalan dengan sangat SUKSES! maksudnya GAGAL dengan sangat sukses! :p hehe... Loh kok bisa? ya iyalah, 3-in-1 itu kalo mau jujur sifatnya cuma memindahkan kemacetan dari jalan protokol ke jalan-jalan di sekitar-nya aja. Boleh jadi pagi-pagi jam 06:00 - 11:00 atau sore 16:00 - 19:00 Sudirman-Thamrin (agak) lancar, tapi coba longok ke daerah pejompongan, mampang, tanah abang, slipi, tomang, grogol, Kebayoran lama, tebet, kuningan, bahkan senayan sendiri pun macet-nya parah pak! Kalo mau maksa yah pakelah joki yang berbaris rapih di sekitaran jalan menuju area 3-in-1, yang begitu konyol-nya jarak antara joki dengan bapak silop nggak lebih dari 30 Meter! :D ahahahaa.. Alangkah lucunya negeri ini!

Atau ada wacana mengatur giliran mobil yang masuk ke jalan raya dengan sistem plat nomor, bahkan belakangan wacana makin ngawur dengan mengatur giliran mobil pribadi yang diperbolehkan beroperasi dengan sistem warna! Ide bodoh macam apa lagi ini!? Dasar bodoh!!

Belakangan, ada wacana mengadopsi sistem ERP (Electronic Road Pricing) yang sudah lebih dulu sukses di Stockholm, Singapura dan beberapa kota maju lain-nya. Bukan saya pesimis apalagi sinis, tapi sepertinya jika sistem ini maksa untuk dijalankan juga; sepertinya pun akan menemui kegagalan-nya dengan segera. Jika para decision maker itu cukup cerdas dan sedikit kritis, pada dasarnya sistem ERP bermaksud mengarahkan pengguna mobil pribadi untuk berpindah ke alternatif transportasi lain, terutama sistem transportasi publik yang hanya perlu membayar ongkos tiket. Tapi, kenyataan-nya sistem transportasi Jakarta itu jujur aja; bobrok banget! Naif sekali jika pemerintah mau memindahkan orang-orang dengan mobilnya untuk pindah ke moda transportasi macam Transjakarta, Patas PPD, bahkan MetroMini atau Kopaja; Hey,you are totally morron!

Transjakarta dan Transportasi
Sebagian kita kalau cukup aware, pasti akrab dengan sticker ini yang ditempel dibelakang Bus Transjakarta dengan background merah dan font color putih macam peringatan arus listrik tegangan tinggi "Naik Transjakarta, Jangan Ambil Jalur-nya". Nahloh, nyolot banget nih yang bikin sticker! Dalam hati,gue juga mau tanya.. "Jalan Raya Jangan Buat Sendiri Dong", gara-gara program Transjakarta; jalan raya diambil satu lajur cuma buat mereka doang. Alih-alih pengendara mobil pribadi untuk pindah, ternyata gak lebih cuma nambah kemacetan di Jakarta aja kan hasilnya.

Arogansi Transjakarta nggak berhenti sampe disitu aja, ngambek karena jalurnya sering diserobot, eh mereka mau bikin kebijakan Transjakarta yang conta-flow. Gak usah yang contra-flow, jumlah orang yang terlindas Transjakarta juga sudah puluhan jumlahnya.

Awal mula melihat tiang pancang dibangun berjajar di sekitar Patal Senayan, dengan papan proyek tertulis 'Jakarta Monorail' akhir tahun 90-an, hati ini cukup dibuat berbunga-bunga; membanyangkan Jakarta bisa sejajar dengan negara maju lain-nya, punya monorail :) eh, kenyataan-nya cuma mimpi kosong. Sepuluh tahun lewat,perkembangan-nya cuma tiang pancang yang berfungsi sebagai papan reklame dadakan, dengan besi-besinya yang mulai berkarat.

Angin segar datang dari transportasi KRL Express, dengan rencana penambahan layanan dan pembangunan tambahan stasiun-stasiun di daerah pusat bisnis; kabarnya ada campur tangan investasi dari Perancis. Menyambungkan rangkaian KRL dari Serpong, Bogor, dan Bekasi; kalo sistem ini jadi dikembangkan akan sangat positif sekali, karena saya pernah merasakan manfaatnya naik KRL Express Serpong-Sudirman.

Virtual Office; Solusi Kecil Kepadatan Jakarta
Tenang, posting blog saya tidak melulu soal protes dan keluh-kesah :) hehe.. ada semacam pemikiran yang sama sekali tidak orisinil apalagi baru. Yaitu, menjalankan sistem Virtual Office sebagai solusi kecil mengatasi kepadatan kota Jakarta. Bagaimana caranya, boi?

Begini boi, dunia bisnis di dunia ini sudah sangat maju. Dengan dukungan teknologi digital dan koneksi internet yang sudah sangat canggih. Saya perhatikan, banyak diantara aktivitas penduduk di kota Jakarta berurusan dengan pekerjaan masing-masing, atau mungkin juga keperluan yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Nah, bukankah sudah semestinya kita melirik dan memanfaatkan kemudahan ini? Dengan teknologi digital dan koneksi internet yang sudah semakin canggih, semestinya kita juga ikut berpikir semakin maju.

Virtual office, secara sederhana dapat diartikan dengan memangkas jarak dan presensi fisik seseorang untuk memenuhi segala kebutuhannya. Taruhlah keperluan meeting pegawai di kantor, pada zaman 'primitif' :p seluruh pegawai harus hadir ke event meeting tersebut. Bangun pagi-pagi, yang bawa kendaraan siap-siap dibelakang kemudi mobil dan motor. Walhasil penuhlah jalanan di Jakarta ini dengan mereka dengan keperluan meeting, presentasi dengan client, belanja di pasar atau di mall, konsultasi dengan dokter kandungan, berangkat sekolah atau kuliah, bayar pajak, nabung ke bank, dan urusan tetek-bengek lain-nya.

Coba hal ini dapat kita distorsi sedikit, jarak dapat dipangkas dan presensi fisik dapat dikurangi. Meeting atau presentasi pekerjaan dengan client dapat cukup dilakukan dilakukan dirumah, dengan perangkat live confrence dengan webcam atau sekurang-kurangnya dengan fitur Skype misalnya. Pun berlaku untuk siswa sekolah atau mahasiswa yang perlu konsultasi dengan dosen pendamping skripsi, tinggal connect dengan internet; jadilah hubungan virtual dengan orang-orang yang dituju.

Jika pada zaman 'primitif', kita harus rela berpanjang-panjang antri di loket untuk keperluan bayar cicilan rumah atau transaksi banking lainnya; maka sistem virtual dapat mereduksi hambatan tersebut. Kepadatan jalan raya pun otomatis akan berkurang, bukan?

Kalau mau berkhayal ambilah rumus ini, "ngayal gak usah nanggung-nanggung" :) kalo memang memungkinkan, kenapa nggak, toh?? Tapi satu pesan saya yah teman-teman, kalo istri kamu udah kontraksi; jangan pernah sekali-kali berharap ada sistem persalinan virtual, ok.. Operasi persalinan hanya dapat dilakukan di kamar operasi :D

Selamat bervitual ria..