Wednesday 23 July 2008

Selamat Pagi ' Hidup' "...


Suatu saat saya pernah menulis " What Is Better Than Working? " di message status YM saya. Ternyata ada beberapa teman mengomentari, karena memang awal tujuannya sih sekedar curhat atau nyindir diri sendiri aja (syukur-syukur ada juga yang senasib sama) untuk kepenatan, bahkan tekanan pekerjaan yang bobotnya makin bertambah, terutama bagi saya belakangan ini. Sebetulnya cuma buat seru-seruan aja, gak ada tujuan macem-macem kok.

Nah, kalo sebelumnya saya tulis " What Is Better Than Working? ", sekarang saya mau coba sebaliknya. " What Is Better Than Vacations? ". Ceritanya, satu waktu ditengah minggu (orang bilang sih weekdays) saya mikir-mikir, mau apa lagi ya? kerja cukup keras udah, hasilnya juga pas-pasan, karena mau kurusan jadi diet; diet ketat juga udah tapi 'tas pinggang' masih aja gak bisa lepas euy.. atau baca-baca buku juga dicoba, siapa tau bisa nambah wawasan, dan hasilnya stuck aja di halaman 94 (padahal cuman sisa 6 halaman lagi untuk jumlah psikologis 'banyak'), terus mau ngapain lagi dong? Jelas gue butuh liburan..

Satu minggu rasanya lewat lalu aja, Senin terus ke Rabu, Kamis eh nggak taunya udah Minggu lagi; artinya siap-siap untuk hari Senin dan begitu seterusnya, huuh.. tapi apa saya memiliki pilihan lain untuk hal ini?! Sebagian orang (sangat mungkin) menjawab TIDAK. Saya maklum dan mengerti, ada semacam dedikasi disana, jika tidak mau dibilang sebagai suatu keharusan untuk bekerja dengan totalitas tertinggi. Jadi kepikiran ceramah-ceramah waktu kuliah, apa ini pembuktian dari konsep Alienasi kaum pekerja dalam industri kapitalisme yang sudah diterawang Karl Marx ratusan tahun sebelumnya? Mungkin saya Cuma bisa bilang : Apa boleh buat, sambil membiarkan saya sendiri berada didalamnya, ikut ngambang dideras arus kebanyakan aja dulu sambil merangkai rakit dan menambal layar supaya bisa melaut lebih jauh dikemudian hari.. hehe apology kaum false consciousness (Marx), hipokrit, atau leisure class (Torstein Veblen) atau apapun istilahnya untuk gambaran Zona Aman yang teramat ringkih ini.

Bicara soal pilihan untuk menjadi pekerja yang seakan-akan hidup nggak punya pilihan seperti diatas, tidak sepenuhnya benar juga loh! (lah terus gimana toh, mbok sing genah wae). Maksud saya, kalau dipandang dari perspektif psikologi sosial atau para behavioris, nggak ada tuh ceritanya orang hidup yang nggak sadar sama kehidupannya. Karena segala macam bentuk tingkah laku, ucapan, keputusan, pandangan mata, raut (gesture) muka, bahkan isi otak yang sangat implisit, sembunyi didalam kepala semua orang, adalah kita sendiri juga yang nentuin. Kesimpulannya semua realitas yang ada dan kita jalanin sekarang itu asalnya dari proses otonomi individual untuk berpikir, menimbang, mengukur, mengelompokkan, memperhitungkan (estimasi), dan lain-lain dan lain-lain. Karena Anda pintar, pasti Anda paham yang saya maksud? Hehe.. dilarang berasumsi.

Sederhananya sih, manusia itu elemen yang sangat independen, jadi jangan pake complain kalo penat karena pekerjaan. Pekerjaan yang ada sekarang kan pilihan kita sendiri, masa mau complain sih sama keputusan yang diambil sendiri? Malu dong..


Pernah denger nggak kalo kehidupan kita itu ditentuin sama struktur yang lebih kuat, hegemoni, atau fakta sosial yang punya kecenderungan untuk memabukkan (karena seakan-akan kita bisa dibuat jadi nggak sadar)?. Konsepsi begini yang asalnya dari Karl Marx (pengikutnya disebut Marxis). Terus terang, gue nggak setuju! Enak aja gue diatur-atur sama kekuatan diluar diri sendiri.. Bukan maksud mau sombong atau gimana, tapi kehidupan kita ya kita juga yang nentuain, bukan? Tapi jangan aprori dulu terus nge-cap saya seorang anti-struktural, anti-sistem, apalagi anarkis. Menurut saya, mau nggak mau emang yang namanya aspek struktual dan fakta sosial itu pasti dan harus ada, tapi ya sifatnya bukan menentukan kehidupan kita dong.. struktural emang ada dan kadang-kadang memaksa, tapi sifatnya cuma bisa mempengaruhi; cukup segitu aja, memepengaruhi! Bukan menentukan. Tentang gimana kita mendefinisikan ya itu urusan individual sampai tahap mengimplementasikannya ke kehidupan nyata. Sekarang kenapa pas lampu merah di Mampang Prapatan, masih ada aja motor yang nyelonong padahal lampu juga belum ijo; sisanya masih tertib nunggu durasi lampu merah ganti warna.

Kita analogi lampu merah itu sebagai fakta sosial (aturan) yang harus ditaati. Individu-individunya ya pengendara mobil, motor, sepeda, bajaj, gerobak, dlsb. Das sollen-nya (seharusnya_pen) semua yang ada di perempatan lampu merah tadi jalan dan berhenti sesuai simbol lampu yang nyala dong. Tapi, Das Sein-nya (yang terjadi_pen) kan nggak semua pengendara taat tata tertib, misalnya motor nyelonong tadi. Nah ini buktinya kalo fakta sosial mempunyai peran mempengaruhi, tapi sama sekali nggak menentukan. Urusan mendefinisikan fakta sosial ada didalam benak masyarakatnya, sekaligus konsekuensi-konsekuensi empiris-nya either mau taat atau mau melanggar.

Karena apa? Karena kita manusia yang diproduksi sangat kompleks, baik fisik dan non-fisik nya; tentu jauh beda sama hewan.

So, kehidupan hewan tidak kompleks, begitu? ooh.. tentu saja pandangan ini termasuk keliru, hewan adalah makhluk yang juga sama-sama kompleks. Coba aja perhatikan rumitnya perkawinan sepasang burung merak, tidak sembarang jantan mampu memikat merak betina; karena hanya merak jantan dengan pola paling indah pada sayapnya (yang dimekarkan sangat lebar) yang bisa mengambil hati si merak betina. Supaya merak betina bisa jatuh hati tentu ada teknik-teknik tersendiri, melalui getaran sayap, suara si jantan, gerakan berjalannya, dan lain sebagainya. Padahal ini baru satu contoh pada satu spesies burung,parahnya lagi contoh tadi cuma satu dari banyak saekali fase-fase dalam kehidupannya. Belum lagi kita bisa memecahkan misteri dibalik sistem navigasi yang dimiliki penyu atau ikan paus, bukan kapasitas saya, silahkan deh tonton Animal Planet atau Discovery Channel.

Tapi, dalam segala hal tentu manusia akan jauh lebih kompleks lagi dibandingkan makhluk hidup lainnya di muka bumi ini. Apalagi soal ide, gagasan, kebutuhan dan pemikiran, sampai kehidupan sosialnya. Dengan kemampuan pikiran yang dibebankan kepada manusia, menjadikannya sebagai elemen yang sangat luar biasa kompleks.

…to be continued

Wednesday 9 July 2008

Good Will Hunting; hunting will (be so) good


Kemarin, Rabu (9/7) saya membongkar-bongkar kotak koleksi film-film saya yang sudah berumur. Padahal saya pulang kerja sudah cukup larut, sekitar jam 9.30 malam (larut karena seharusnya pekerjaan saya masuk kategori pekerjaan nine to five, only in many cases happen otherwise) tapi nggak ngerti kenapa kok ada semacam tuntunan menuju ke bawah tempat tidur, ke box rotan anyaman yang lumayan berdebu itu. Padahal film-film yang baru dibeli minggu lalu juga belum khatam juga. Guess what?! ternyata saya baru sadar, disitu sebagian harta pribadi saya tersimpan. Banyak film-film yang emang gue bangeeet!! Karena emang pada dasarnya urusan beli, pilih-pilih, sampe nyimpen-nya juga emang dilakuin sendiri. Berapa jumlah pasti koleksi film didalam box itu nggak sempet saya hitung, gak penting lah!! malahan saya lebih tertarik mengingat-ingat kapan, dimana, dan gimana ceritanya saya bisa dapetin film-film itu. (anehnya) Kalo di kantor saya dikenal dengan "si Pelupa", baik untuk urusan time line kerjaan, materi-materi untuk briefing dan meeting, bahkan yang terparah urusan deadline sering terlupakan, wah payah sekali pokoknya. Tapi coba kita balik lagi ke obrolan tentang koleksi film saya, setiap keping film yang saya beli saya bisa ingat dengan tepat tanpa kurang suatu apa. Mulai dari siapa director-nya, cast-cast-nya, scenes utama didalam film itu, endingnya, sampe tetek bengek cerita dibalik film itu. Wow, saya kok bangga dengan kemampuan saya ini yah, yang saya bisa banggakan pada diri sendiri juga, hehe... sounds like phatetic?!

Coba deh, sekarang kita bongkar se-berharga apa sih koleksi film didalam brankas rotan itu. Sebelumnya, ngomong masalah film berarti ngomong juga soal selera, macam makanan favorit, pakaian & penampilan, atau milih-milih pacar. Ada yang suka masakan Padang, Thailand, atau Mexico; karena memang kesukaannya ya masakan yang spicy. Atau sebagian yang lain suka gaya penampilan retro, sedangkan sisanya lebih milih apa yang paling up to date di majalah-majalah terbitan terbaru, sama halnya milih-milih pacar juga gak beda-beda jauh, pasti milih juga kan?.

Di tumpukan paling atas, saya masih ketemu sama American Gangster, Run Fatboy Run, Michael Clayton, The Great Debaters, 300, dan kawan-kawannya itu. Satu syarat film (DVD bajakan-pen) yang saya beli itu harus punya kualitas gambar yang paling bagus. Nggak heran kalo lagi kalap di Ratu Plaza, Mangga Dua, dan beberapa ITC di Jakarta; kadang-kadang saya beli 10-15 film, yah harus dicoba tuh satu-satu, bajakan biar bajakan tetep gak mau rugi yah pokoknya?! terus kenapa saya ikut-ikutan beli yang bajakan? Coba di posting selanjutnya nanti kita obrolin bareng-bareng deh, tapi saya sama sekali nggak alergi kok beli DVD bajakan. Anyway, saya makin menggali tumpukan film lebih dalam lagi. Beberapa kali saya Hang sesaat, gimana nggak coba?! ditangan ini saya pegang Malena, Bridget Jones Diary 1 & 2, American Beauty, Great Expectation, Pulp Fiction, Russian Dolls, Irreverseable, Trainspotting, Natural Born Killer, Perfume, Pleasantville, 24Hour Party People, Borat, Taxi Driver, Schindler List, Unfaithfull, Wicker Park, Enemy At The Gates, Boys Don't Cry, Freedom Writers, Grease 1 & 2, Mystic River, Crash, Saving Private Ryan, waduh masih banyak sekali yang lainnya; dan saya ingat semua hal yang berhubungan dengan film-film itu, tentunya sejauh yang saya tahu.

Jarum jam dinding mengarah tepat 10.17 malam sekarang, jadi sekitar 45 menit lebih kurang saya dibuai ke alam lain, alam memori yang sudah lewat tapi kenangannya pasti terus terawat disini (telunjuk mengarah ke arah kening). Aneh, satu hal ini yang rasanya sih cukup aneh, seperti cerita saya tadi ada banyak sekali film yang saya genggam, saya bolak-balik cover-nya, saya baca sinopsisnya sedikit dibagian belakang sekaligus credit title-nya juga, satu per satu! Tapi apa boleh buat, pencarian saya berhenti juga di satu film berjudul Good Will Hunting. Semua orang pasti sudah tahu film ini, yah minimal pernah dengar kan. Ini salah satu film yang saya klasifikasi sebagai film yang gue bangeeet!

Film gue bangeeet, adalah film yang ceritanya sederhana tapi kuat, men. Real, itu dia intinya! Film yang hebat (versi saya) adalah film yang merefleksikan keadaan sekitar kita dengan dibumbui pesan-pesan dari si pembuatnya, apapun bentuk pesan yang coba ditransform dalam film itu. Bisa secara simbolis, ingat film Perfume yang memakai simbolisasi harum minyak wangi untuk memikat calon-calon korbannya?, bisa juga lewat dialog verbal yang eksplisit, seperti halnya kita tersentuh kata-kata Russel Crowe di Beatiful Mind dan Cinderella Man; atau gesture tertentu yang bisa mengantarkan pesan-pesan tadi (seperti Tom Hanks dalam Cast Away yang minim dialog tapi sarat makna). Dan, jelas tentu aja Good Will Hunting memenuhi kriteria diatas.

Ada Matt Damon (jangan ngebayangin dia pas main di trilogi Bourne), Ben Affleck (beda jauh waktu main Jersey Girl bareng Liv Taylor), Minni Driver (masih sehebat waktu main di Meet Joe Black bareng Brad Pitt), dan ini dia nih si Embah-nya aktor, Robin Williams. Betul-betul pas banget castingnya Williams sebagai seorang Shrink yang loner, nyentrik, dan sensitif; se-sensitif film ini. Gak salah juga kalo di masa-nya Good Will Hunting diganjar segunung pujian dan selusin penghargaan baik itu Oscar, Golden Globe, dan festival film bergengsi lainnya. Tapi, ada tapinya juga nih, bukan saya sok sok-an jadi kritikus, tapi saya agak ganjel aja sama ending-nya film ini, bikin nanggung dan tipikal Hollywood. Harusnya bisa dibuat sebaik American Beauty atau sedramatis Pleasantville. Overall, Good Will Hunting is one of the best motion picture i've ever witness.

Selamat membongkar koleksi film-film lama kamu, dan selamat menonton film (mau original terserah, mau bajakan juga boleh)


harismosa@yahoo.co.uk