Monday 30 June 2008

Manusia




Manusia...
Dia pikir dia segalanya, dia pikir dia siapa??!
Kekayaan dijadikan ukuran,
Keindahan diri ditelanjangi untuk dibangga-banggakan,
Rasa malu dipinggirkan sejauh-jauhnya,
Mengaku mulia nyatanya lebih hina dari seekor binatang gembala,
Tidak ingat-kah manusia berasal dari satu tetes najis...

(Manusia...) Berani menganggap Tuhan telah mati,
Seburuk iblis pun masih mengakui keberadaan-Nya...

Anak domba dilahirkan dapat langsung berdiri,
(Sedang) Anak manusia lahirnya bisa menangis saja,
Sambil bergetar dia kedinginan... Menangis!

Manusia...
Merasa Adidaya, apa (hanya) karena mampu melintas menembus angkasa?
Telur busuk itu semua!
(Manusia) Menahan satu bisul tumbuh di badannya pun tidak bisa,
Sedetik saja hidup lebih lama dari kematiannya tidak mungkin bisa

Manusia (ingat!)
Memang orang bilang manusia tempatnya salah dan lupa,
Sayang itu bukan alasan yang memberikan jaminan selamat-Nya..

Wednesday 18 June 2008

Dia Yang Pernah Muda, Cantik, dan Dikejar



















Manisnya anggur putih tidak semanis senyumannya,
Terangnya Bulan purnama tidak seterang mata bersihnya,
Tenangnya lautan teduh tidak setenang tutur bahasanya,
Sejuknya udara pegunungan tidak sesejuk peluk ciumnya,
Lembutnya sutera Thailand tidak selembut kasih sayangnya,

Sinar mukanya yang cantik jelas terlihat,
Bahwa Dia Pernah Muda, Cantik, dan Dikejar,
Puja puji teruntuk dirinya, Mama..

Tuesday 17 June 2008

Merajut Harapan



Bumi ini mengikuti isi hati seakan mengerti,
Langitnya menatap seakan penuh tanya,
Teduhnya itu tawaran untuk berbagi (keluh),
Hamparan pohon meranggas, begitu pula hatiku...
Cat usang di tembok tua mengelupas, begitu pula harap-ku...
Apakah gugurnya daun mewakili runtuhnya akal-ku...

Selusin anak kecil bermain, bernyanyi lagu gembira
Merpati betina putih menetaskan telur terakhir,
Seoarng kakek memandikan sepeda setua dirinya,
Nah, Ikuti saja mereka!

Mereka bergeliat karena masih mempunyai harapan,
Karena manusia yang baik merajut harapan,
bukan merajut keluhan...

- Ben Putt-

Satu Sen




" Barang siapa memiliki uang Satu Sen maka ia berdaulat (Sejauh satu sen) atas seluruh manusia; memerintah para juru masak agar menyajikan santapan baginya, memerintah para cendekia-bijak untuk memberinya pelajaran, dan memerintah penguasa manjaganya;
sejauh Satu Sen.."
- NN -

Monday 16 June 2008

It's Your Life Anyway

People talks, their shout, loud like sound of thunder from first storm of the year
(But) What makes it complete, that finally you're realize this life; your life is an arsehole! Indeed..
Don't interupt, hold your Ego to penetrate coz now is my Id's turn to feeling the process..
when my Id is working , then my Ego make it move to be one of actualization..

I might not further wondering, while this life is totally arsehole from the very beginning!
The Superego way to voracious to hold me stand at the back of the door,
Door with five different appendage locks that i'm not barely knowing to release free & to unlocked,
To know and embraces my deserving...

Shit all this Supraempirics matter, coz i'll lose in the end anyhow!


My duty is only one,only to learn how to deserve entirely, how to take it all the way,
non-bargaining term, yes i could not..
It's an evil, that Superego would be so very much an evil if they forbid me even; only to wondering, dreaming as if Ego will be like waht's in ma mind, me Id..

Your life, mine as well is an arseholes!
Learn to release what you really wants, no r is wiser than dat!
I want to be the force of the night, though some part of people hates my dark,
But others are really amuse me for honest, loves how me arrange the view,
Admire me to create the silence..
Otherwise, people who hated ma force would be ended in miserables night of dreaming..
Coz The Night that they use is mine..

They hate me,
I hates no one, coz i still have friends among the haters;
Yes, Life is Arseholes!
But it's your life anyway...

Sunday 15 June 2008

serpihan-serpihan kelam the secret annex



















" Mereka Menertawakan Saat Aku Serius... Sebaliknya Mereka Serius Saat Aku Bergurau... ".
- Anne Frank -

Dalam buku " Men Againts Death " Aku dibuat terkagum-kagum oleh kenyataan bahwa saat melahirkan, perempuan biasanya menderita kesakitan dan kesengsaraan yang melebihi apa yang pernah dialami pahlawan perang (sekalipun). Dan imbalan apa yang diterima kaum perempuan sebagai bayaran atas rasa sakit yang abadi itu? Mereka bahkan dipinggirkan atas cacat yang mereka terima karena melahirkan, anaknya segera meninggalkan, kecantikannya pun menghilang. Perempuan telah berjuang dan sakit (menderita) demi menjamin kelangsungan hidup ras manusia, Ia bahkan menyiapkan tentara-tentara yang lebih kuat dan lebih pemberani daripada yang disiapkan para pahlawan dan pejuang kebebasan besar mulut itu!

Aku mendapat tempat dimana Aku tidak diperhatikan, apakah Aku masih hidup atau sudah mati.
Toh, dunia akan terus berputar tanpa diriku, dan Aku sendiri tidak mampu melakukan apapun untuk mengubah peristiwa. Cukup Aku hanya membiarkan segalanya berakhir, segalanya terjadi. Aku konsentrasi belajar, sambil berharap semuanya akan berakhir, berakhir dengan baik.

Obat ampuh bagi mereka yang ketakutan, kesepian, atau sedih; adalah pergi (keluar). Ke tempat mereka dapat menyendiri, hanya dengan langit, alam, dan Rob. Kemudian kamu merasakan bahwa segala sesuatu ada pada tempatnya. (Dan) bahwa Rob sendiri menginginkan manusia bahagia ditengah-tengah keindahan dan kesederhanaan alam.

Biarkan segalanya terjadi, biarkan segalanya cepat terjadi; bahkan serangan nuklir sekalipun menghujam sekalipun. Tidak ada yang lebih menghancurkan, tidak ada yang lebih menggetarkan, daripada kegelisahan ini. Biarkan kiamat datang, apapun orang menamakannya. Meskipun menyakitkan paling tidak kita akan tahu akhirnya nanti; Apakah kita menjadi pemenang, ataukah... Kita menjadi orang-orang terkelabui yang kalah...

Anne Frank.

Wednesday 11 June 2008

the interactionism-symbolics chronichels


The Interactionism-Symbolics Chronicles



By Haris Mahdiredha Mosa, S.Sos


Similar to many other theories, paradigm, and scientific perspectives, the ground-roots of interactionism-symbolics (most of its explainations; based on reliable source and references) depart from deep-thought of philosophy basics. Interactionism-symbolics were one of among them, and many experts agreed that its theory mentioned as a pragmatic perspective to projecting every kind of social reality that emerge, and all other kinds of phenomena within societies. To answer your question about reason why its theory classified as a pragmatics perspective, this following explaination might help you to understand. The philosophy of pragmatism should required several elementary factors, at least there are four indicators; First, reality within social situation is a result of active process, continues and surely not constant. Reality should be recognized in ‘the real world’, it means (at least) objective reality should visualize and noticeable by each single unit, which were part of the system. Secondly, pragmatics perspective always be assure, that such social pattern, values, social norm, social structure, etc. is applicable and works effectively fulfilling the common needs. Instead of those norms, values, structures, and other social procedures failed on the fulfillment in common requirements; it would be over as a main standard procedure on social life. It would be changed to be other form of social procedure. Third, each social unit is conscious and rational; so that they will actively redefined or reinterpreted of each social reality that emerge to the surface. This process always be driven to personal consideration of beneficial purposes. Fourth, one last pragmatics philosophy indicator is; an actor(s) would be noticed and fully-considered by others instead of actions, activities, etc., within community that he taking part. For instance, an actor(s) are what they have been doing.

MEET Mr. MEAD

George Herbert Mead (1863-1931) was the experts; social scientist, behind this brilliant conception (social behaviorism, then known as interactionism-symbolics nowadays). As an expert in social science in early 20th century, progressively Mead tend to describe and look-up social reality with ‘psychological frames’. Nevertheless, at the end of his ‘socioculture-reality readings’ Mead succeeded to correlate his analysis with his basic competence; sociology. As well as a philosopher, based on his thought, Mead classified as a social-realism philosopher. Since pragmatism philosophy divide in two major categories, and each of them were opposition one to another. Social-realism philosophy in pragmatics perspective stood in conception that each individual as an actor is under-influenced by his surroundings. It includes personal consciousness, interactional pattern, behavior of common, values, and all kinds inside each certain community. Each one of it, need a place first before taking an implementation of actions. Lets stressing our attention on word of ‘under-influenced’. It contained precisely clear meaning, that actor(s) ‘under-influenced’ means each one of them were still has optional decisions in-term of social activity they would have made. So that, an actor does improvising, pick those several action options to negotiate with his surroundings. Not in backwards; surroundings insisted what actor(s) to do.

On the other hand, known as nominalist in pragmatics philosophy. Nominalist has different view from perspective in advance, that reality objective (macro aspect in social system) has less influence to each actor(s) instead. Social structure has nothing to do with individual decisions, choices, ideas, and other kinds of subjective factors. This paradigm consider individual as an “extential independent agent“, in term of receive, refuse, modify; to define values, norm, roles and community regulation, all that ‘rules’ purely use as fulfillment tools for personal beneficial through rational planning and anticipation further. This perspective is the extended shape of todays interactionism-symbolics. For a short hint, this improvement held by Blumer; Mead’s student.

BEHAVIORISM 101

Word of behaviorism more common in psychology knowledge. Mead himself, whom brought it to be more broaden than it has. Mead introduce social behaviorism, to explain his mind of society and reality within. There were three major point of behaviorism, and it requires more of your attention actually. First one, behaviorism in psychological side; devided into realism and empirical, and we’re not supposed to talk about this further. Second, social behaviorism; where Mead involved quit significant. This type of behaviorism tells about pattern and process either to individual (actor) in correlation with his ‘social environment’. There are several things to take-a-look deeper; such as individual as an actor, personal interpretation, action, response, interaction, and (certain) community. Each one of them has it power to influence one to another, so we can tell that within each variable is actively interact and influenceable. To give you a better picture about social behaviorism from Mead, following diagram path might be a sufficient explaination.

Actor -----> personal interpretation----> action --> response ---> community

I--------> social interaction <-------I

This picture help you to understand, connections within each variable is dynamic through the continuity process. It held in every social context that require plural roles in term of social interaction. Community as a “social battle-field” emerge through only this process, there is no room for any type of community without interaction such like process above. One major thing that important to recognize, is personal interpretation. Before its action taking part, actor has certain level of capacity and ability to maintaining his action. It means, our action was not a spontaneous response of external. We configure, manage, and anticipate the result of our action up come. This what makes actor(s) has far-away different from other human beings, such as animal for example. This Mead conception, became a trigger of argumentation from the other (earlier) perspective.

Third type of behaviorism paradigm is radical behaviorism, held by Watson. He stand for his conception that analyzing people behaviors should only focusing at behavior instead. He denied of any kind interpretation beneath social interaction. In order individual as well as another human being, has experiences and adequate instinct to measure and overcomes his needs. Watson do believe, between Man and Animal is just similar; there’s nothing significant differences among them. Unless how the way they run their life, and it was all. Now, shall we see table diagram below, to show you differences between this two behaviorism perspective.

Social behaviorism (Meadian)

Radical behaviorism (Watsonian)

1. Relatively more complex, involving cognitive element in personal interpretation instead of social interaction. It means, social interaction is collectivity of interpretation among them whom interact

2. Actor(s) consciousness and rationality is the most important element in behavior that occur

3. Actor(s) is active, creative, and dynamics to decide his action

1. More simple to see behavior in manifest form. What we see is what really happen, without consider any rational factor

2. Behavior is beyond actor(s) consciousness. Rationality is denied as a ground element for any interactional form within community

3. Actor more like a puppet, that any of his action has been arranged. Everything rely on human instinct

We already knew, cross-statement and perspectives, and denial statement among theories and conceptions in science is became a regular basis eversince. Or it might be one of the reason why science is always improving time to time. So do this interactionism-symbolics theory, as far as it’s thought contributes acknowledgement in ‘Chicago school’, conflict of conception over several perspectives are getting loud. Especially, among reductionist (psychology, Freud is one of them) and functional-structural as a major opponent. What are they? How far the dialectic of denials and defendant going? Lets discuss about interactionist opponents.

Reductionist have been through their glory, handled by Sigmund Freud. Anyhow, this psychology perspective also explain about interaction within individuals. Reductionist believe that interaction leave any aspect either macro and micro inside ‘the need fulfillment’. There is no such kind of complex form of process within interaction. We ought to remember about libido and id concept, and this what all measure individual action in term of fulfillment. It clearly explaining that continuity process between actor(s) and their surrounding are never exist. Human, at this context same like animal, tend to fulfill their biological needs based on libido over id existence. In short telling, libido is biologically rules every individual and reality spectrum. By that conception, interactionist like Blumer, consider that reductionist look up for social reality with meaningless thought. Contra flow thinking with interactionism-symbolics theory, reductionist psychology never affirmed social reality emerge by interactional process.

Next one we’ll discuss about functionalism structural theory, one of the toughest interactionism-symbolics opponent. Can you imagine if the way we dress or how we doing our life, entirely managed by structural authority. Individual roles, including improvising our way of living is helpless; because all our living methods are being arranged and adjusted. That’s what functionalism-structural conception upon society. Anykind of individual contributions are discredit. Living procedures were customized in the form of social values, social norms, etc., called ‘social fact’. And any of individual effort is forbid to influence the social fact. Its theory can only running in well-strength structure condition, it means social control, social solidarity, and intimacy among them must be powerful.

As an avant garde, Blumer, strongly denied those point of view to describing each kind of social organization. As we know, he said reductionist is a meaningless thought. Again he continues this perspective way to mechanistic to explain an individual action. As reductionist belief, that each action is depend to personal attitude. Different attitude would result a different action, this concept certainly contra flow in term of subjective interpretation process on people thought in order to execute action he’d take in certain social situation. Subjective interpretation containing clear explain about configure, manage, and anticipate the result of individual action. Anticipating explains about negotiation within actor(s), so exchanging process is clearly running in certain social interaction. Blumer admit, that action is not as simple as attitude (where libido and id is a main ingredients) taking fully control. This denial over denial is a strong evidence in Blumer’s major conflict over psychology-reductionism.

Blumer integrity as a Median pioneer also tested to answer functionalism-structure conception over relation between individual and society. Blumer answered, its way to naive to mention individual behavior is a fully-measurement of external factor (structure). Since Meadian always considered the process of social construction; internal process within subjective interpretation on social reality, has never been admitted by functionalism-structure perspective. Individual in this case has a certain role to measure reality within social reality and social structure. For further complete explaination, writer recommend Ritzer’s Modern Sociological Theory as an adequate reference; page 271.

MEDIAN IDEAS

All the writings above, makes you wonder roots of symbolic interactionism, don’t you? How this perspective so confident and courageous to facing established paradigm in advance. To overcome your curiousity, we should discuss further about Mead elementary perspective. Firstly we ought to recognize him as an important person in social-psychology.

Based on his definition, social psychology is a powerful form of relation between individual (independent) with social system (dependent). Social system contents behavioral procedures held by collectivity of thought, ideas, attitude, etc. At this phase, the emerge of subjective interpretation that actualized in collectivity of actions, taking significant role to measure and to build every kind of social adjustment. Both subjective interpretation and social system require a space, one spectrum of implementation. Then, the answer for space fulfillments of interactional demands; is community. Community is the spectrum; space of emergence, where subjective interpretation could perform in shape of actions, it gathered and reproduce as an adjustment of social systems relatedly impact the development of personal mentality and individual consciousness. Those process visualized how both sides were stood in equal level, either to sending and receiving influence as long as community is remain in existence. That’s how Mead explain about social psychology.

Actions, is one important tool to emerge individuals with their surroundings. In term of action, we need to focusing our attention in stimulus and response concepts. Here’s the key, each form of response is result from action that interpreted in advance (estimate, anticipate, considered, etc.). Otherwise, stimulus is only an efforts and didn’t assure of any escort to certain form of response. Stimulus will only provides form of chance, opportunity, possibility; beyond expectation. Stimulus is not a command, or even insisted order. Action is form of relation between stimulus and response, we knew that already. Now, Mead made conception upon this.

Manifest form of actions always follow this phases :

1. Impulse

impulse is a spontaneous stimulation that interconnected to human sense. Stimulation producing needs to respond, in reciprocal form.

To give you a better picture, here is a simple case. When you feel starve, either animal and human spontaneously will respond feeling of starving. What makes different between animal and human is, human will interpreted first, and configure which reaction would be taken then. For example, human might consider when, what, where will be eat. Therefore, human rationally consider, include impacts and consequences that might be shown by his reaction in future. How human considering impact and consequences based on experience in the past as an anticipative step of each kind of reaction taken.

2. Perception

To overcome something, each actor would first identify and reacts based on impulse he received. It doesn’t mean that an actor spontaneously respond the stimuli he felt. In the first place, human will project in their mental imagination (estimate, anticipate, etc.). Someone’s reaction clearly unautomatically coming from external stimuli; otherwise it require certain process of estimation and anticipation that might be occur as a result of following reaction that taken. Human would receive plenty of stimuli from outside, but they have certain capacity to decide which one to consider, and which other to ignore.

3. Manipulation

Afterwards the impulse mentioned an object that considered, the next phase would be manipulating the object. Manipulating object means taking actions instead of that object. The ability to organizing mentality aspect is one of betterness being a human over animal, instead of other motorics excellence. Especially the ability to organize mentality, it’s a crucial phase as an interval period for actor to make unspontaneous actions. By that interval period actor can arrange his decision to predict and anticipate the response received in form of action making. Interval period become an opportunity for actor to consider his experience in the past that would be pluck in the future. This phase give us a better picture how action is not a human spontaneous reaction by impulse he has received. It explain how contrasly different between human and animal, where psychology reductionist mention backwards.

4. Consumption

This point is the phase of actualization or we called it consumation. It’s the time when human fulfill of what his really wants. For analogy, either human and animal might eat mushroom they found. What makes different among them, is the possibility that human pick poisonous mushroom is smaller than animal, and why is that? It’s because human has ability to manipulate the mushroom instead, and to anticipate the implication of consuming it. Animal used to acknowledge everything by trial and errors, which not quit efficient method to follow. Despite of trial and error method is much more risky, human has its certain knowledge by reference, information, and documentation related to anykind of things around them.

That’s were phases of manifest form actions made by Mead. Separation and grouping in numbers above only for simplification of the concepts and make it easy to explain, and to understand afterwards. Numbering doesn’t mean each phase is occurs orderly, each phase could (in many cases) making a dialectic process. Each phases might influence one to another instead certain reality is occur in people’s life. Right at this page, gladly writer presented conceptions, ideas, thought, and definitions of George Herbert Mead. Those conception written above is only the beginning from further ideas from Mead and his interactionism-symbolics theory he found. Following writing we would more to talk about are gestures, significant symbols, mind and self, society, and interactionism-symbolics in the end. See you then. . .

Any of corrections, suggestions, and comments. Please send to this following address:

e-mail: harismosa@yahoo.co.uk

+6281806089541

MAY DAY!











DILEMA KAUM BURUH DAN MAKRO EKONOMI

World Labor Day, demikian tajuk yang cukup hangat diperbincangkan khususnya pada tanggal 1 Mei kemarin, yang kebetulan bertepatan dengan hari buruh sedunia. Apa kabar kaum buruh dunia saat ini? Menjadi sebuah retorika klasik yang tidak kunjung lelah untuk terus diusik dan ditilik dalam-dalam. Sejak awal mula periode industrialisasi pasca ditemukannya mesin uap di Inggris Raya di kawasan eropa barat, hingga hari ini buruh memang tetap saja “buruh”. Satu bagian dalam masyarakat yang di cap sebagai warga kelas dua yang selalu terinjak nasibnya, atau mungkin lebih tepatnya sengaja dibuat untuk dapat diinjak dengan begitu mudahnya. Penciptaan kondisi ketidakberdayaan yang direkayasa sedemikian rupa, kita tahu benar hal itu namun apa daya tangan tak sampai, hingga keadaannya bertahan dengan begitu mapan. Potensi kuantitas dan peran yang demikian besar dalam mempertahankan roda industrialisasi dunia ternyata belum cukup bagi buruh untuk ‘menggoyang’ atau sekedar lantang bersuara menuntut posisi tawar yang memadai. Walaupun tidak sepenuhnya benar apabila keadaan buruh pada sektor industri formal-legal dikatakan tanpa ada perubahan sama sekali berkenaan dengan masalah nasib perburuhan dan para kelas pekerja ini. Bila dibandingkan dengan jam kerja masa-masa industri terdahulu yang dikontribusikan oleh buruh, memang terdapat penyesuaian humanitas yang terbilang signifikan. Belum lagi beberapa program standar perlindungan dan keselamatan kerja yang diperbaiki beserta dengan jaminan asuransi kesehatan, kecelakaan, hingga kematian; harus kita akui memang terdapat perubahan disana. Namun, yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, apakah besaran pertukarannya cukup bagi kelas pekerja dengan kontribusi yang sudah dikeluarkan selama ini?

Merujuk pada satu poin pemikiran Richard Templar dalam buku yang ditulisnya, The Rules Of Wealth. Templar dengan yakin bersuara bahwa dalam salah satu poin pemikirannya disebutkan bahwa sebesar apapun upah yang diberikan perusahan atau industri yang memperkerjakan Anda, tidak akan sepadan dengan apa sudah Anda lakukan. Artinya adalah tenaga dan potensi kita terlampau besar untuk diupah seperti sekarang ini. Manusia merupakan sumber daya (resource) yang tak ternilai harganya, terlebih dengan upah yang diterimanya sekarang atau hingga kapan pun, dia melanjutkan. Menjadi lumrah jika kaum Marxis menyebut para pemilik alat produksi (kapitalis) tadi disebutnya sebagai ‘pencuri’ terbesar dalam Negara, dan ‘para pencuri’ tadi harus ‘ditertibkan’ melalui jalan revolusi pekerja (proletar) dengan mengembalikan penguasaan alat produksi kepada seluruh rakyat secara bersama-sama tidak lupa dengan menghilangkan kelas-kelas sosial didalam masyarakat Negara itu sendiri. Seandainya konsepsi Karl Marx tadi seindah dan sesederhana kedengarannya, mungkin akan menjadi berita baik bagi kita kaum kebanyakan (baca: buruh). Jika penulis boleh sekptis terhadap pemikiran Marx, keadaannya sekarang tidaklah sama. Urusan nasib buruh bukan sebatas pada penguasaan alat produksi saja, sebaliknya kompleksitas sistem ekonomi dunia yang semakin kusut dengan globalisasi ekonomi hingga ke masalah terkecil dalam hidup semua orang ikut memperunyam masalah. Selain itu, watak buruh hari ini tentu berbeda dengan para buruh pada abad terdahulu; para pekerja dan buruh saat ini bukanlah elemen yang haus darah para kapitalis untuk menyelesaikan keterhimpitan situasi dengan jalan revolusi. Wajar saja jika beberapa diantara kita masih takut mendengar kata ‘revolusi’. Memang revolusi bukan melulu gerakan yang meminta tumbal dan pertumpahan darah, tetapi pernyataan Ernesto Guevara sebagai bapak revolusi dunia yang menyebutkan revolusi tanpa senjata hanyalah ilusi, buah bibir yang diselimuti kebohongan. Maksud penulis sebenarnya adalah sebetulnya buruh dan pekerja saat ini tidaklah neko-neko, para pekerja hanya inginkan perbaikan keadaan hidup, memiliki posisi yang berimbang dalam hal negosiasi dan dalam hukum pertukaran sosial, kemudian buruh juga mendambakan bentuk penghargaan yang sewajar dan semestinya; apakah hal-hal diatas terlalu muluk untuk dipertanyakan? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Karena buruh yang sudah mencurahkan potensi dirinya berhak untuk mendapatkan bentuk penghargaan yang semestinya, sebuah penghargaan material dan moral yang ditempuh melalui komunikasi bersama.

Jika para pembaca masih menganggap tulisan diatas masih bergerak dalam angan-angan naif belaka, mari kita lanjutkan pembahasan kepada siapa analisis permasalahan ini seharusnya diarahkan. Mau tidak mau, suka ataupun tidak peran Negara dalam masalah perburuhan harus kita sertakan. Karena selain Negara sebagai bagian integral dari aspek struktural yang diperkuat dengan otoritas dan landasan undang-undang berkekuatan hukum tetap, Negara yang dikelola oleh pemerintahan yang dibentuk oleh rakyatnya sendiri seyogyanya harus mampu mengakomodasi penuh seluruh rakyatnya yang menjadi buruh khususnya dan rakyat biasa umumnya, dalam suatu bentuk regulasi yang berimbang dan akomodatif. Baiklah, memang pernyataan tersebut sifatnya masih sangat das solen (yang seharusnya), padahal kenyataan das sein (yang terjadi) sangat bertolak belakang. Bukannya berperan seimbang dan menyeimbangkan, Negara yang direpresentasikan oleh pemerintah malah menjadi ‘tangan kanan’ para pelaku industri-industri besar. Yang sudah besar dibuat menjadi semakin kuat dan semakin besar lagi, sebaliknya kaum buruh yang terjepit kian dibuat terhimpit kesakitan. Secara pertimbangan strategi ekonomi, pemerintah kini sangat jelas menganut paradigma yang pragmatis. Apa yang tampak riil dan menjanjikan dalam jangka pendek didepan mata sedaya upaya diusahakan untuk digarap. Urusan elementer rakyat seperti masalah kesejahteraan dan kondisi hidup kembali diposisikan menjadi nomor kesekian. Mungkin kebijakan konversi subsidi pada bahan bakar minyak (BBM) seperti bensin premium masih dijadikan sebagai dalih pemerintah untuk dianggap tetap pro-rakyat, padahal rakyat Indonesia sudah semakin pintar. Sudah menjadi rahasia umum jika langkah-langkah populis macam itu sangat menyengat aroma politiknya dibandingkan ketulusan akan sebuah keberpihakkan kepada rakyat. Agenda pemilihan umum yang semakin dekat hari pelaksanaannya makin memperjelas tendensi-tendensi berupa asumsi rakyat yang mengarah kesana, yaitu agenda politik strategis. Jika pemerintah masih saja berpegangan pada kebijakan subsidi yang mempercepat kebangkrutan Negara, hasilnya sama sekali tidak sepadan. Apa guna premium dipertahankan harganya pada level tertentu, jika disisi lain pengangguran, harga sembako, praktek korupsi dan kolusi terus dibiarkan tumbuh dengan subur. Pemerintah ibarat menyembuhkan tumor ganas di otak dengan obat pencegahan demam dosis ringan, maka tidak akan mumpuni hasilnya.

Sudah semestinya Negara ini belajar dari sejarah. Proiritas pembangunan yang sebatas menekankan orientasi ekonomi makro sangatlah rapuh pondasinya. Sama-sama sudah kita rasakan pahitnya krisis multidimensional awal mei 1998 silam, yang sudah sepuluh tahun berselang namun dampak kerusakaannya masih kita rasakan hingga hari ini. Efek tetesan (trickle down effect) dari ekonomi makro pada teori pembangunan sudah terbukti gagal dan kalah. Namun ironisnya konsepsi tadi tetap dipertahankan dan ditingkatkan dalam regulasi ekonomi untuk investasi “buka pintu penuh” bagi industri besar luar negeri; dengan harapan yang sama, yaitu efek tetesan dari ekonomi besar bagi elemen terkecil bangsa ini. Sudah menjadi daya tarik yang kurang menarik berupa opsi yang ditawarkan pemerintah bagi para investor asing. Upah murah masih dijadikan slogan murahan pemerintah dalam ‘jualan’ investasi industri di Indonesia. Mari kita hitung sudah berapa banyak investasi yang kabur dan angkat kaki dari Indonesia, bahkan sekelas pabrikan sepatu macam Nike yang ‘cabut’ investasi tidak meninggalkan apapun selain gonjang-ganjing dan saling lempar tanggung jawab. Upah murah sudah bukan menjadi daya tarik utama, tetapi kualitas buruh juga harus menjadi pertimbangan penting para penanam modal itu. Dengan situasi kekurangan yang dirasakan rakyat seperti sekarang rasanya sulit meningkatkan kualitas manusia Indonesia baik dalam bidang kesehatan dan pendidikan untuk bersaing dengan Negara-negara lain. Upah buruh di Negara kita memang murah, namun apakah upah buruh kita yang termurah? Selain itu apakah jaminan kondisi usaha yang kondusif mampu dipenuhi oleh pemerintah jika melihat birokrasi yang masih terlalu korup dan inefisien seperti sekarang, pastinya kita kalah jauh. Menjadi mudah ditebak apabila banyak investor lebih memilih Negara lain macam Vietnam, Thailand, India, atau bahkan China.

Kondisi riil yang dirasakan buruh saat ini adalah kondisi ketidakberdayaan yang kronis. Menjadikan mental manusianya berbunyi “kerja apa saja, dibayar berapa saja”, menjadi pilihan getir yang harus diambil. Belum lagi sistem kerja kontrak dan upah minimum yang ditetapkan pemerintah sangat minim untuk hidup membikin buruh dan pekerja susah tidur pulas di malam hari. Ironisnya, lagi-lagi pemerintah mengakomodasi regulasi berat sebelah macam itu. Bagaimana produktivitas kerja dapat ditingkatkan jika tidak ada jaminan karir yang memadai. Ujung-ujungnya umur kontrak diputus sepihak dengan pertimbangan produktivitas yang minim, padahal suatu keadaan harus dipahami sebagai suatu yang saling terintegrasi satu dengan yang lainnya, dan semestinya otoritas struktrulal paham akan hal ini bukannya malah tutup mata dan tidak ambil perduli dengan kondisi yang berlaku macam ini.

Dilema kaum buruh dan pertimbangan kebijakan makro ekonomi harus diperbaiki menjadi harga mati untuk dapat diselesaikan dengan arif, bijaksana, tepat, dan menyeluruh. Komunikasi antara stake holders harus difasilitasi dengan baik dan berimbang, pemerintah sebagai otoritas legal-formal menanggung tanggung jawab ini. Mekanisme social exchange theory harus dijalankan dengan baik disini. Dengan demikian semua pihak akan diuntungkan dan tidak ada stupun pihak yang dikorban. Semoga momen peringatan hari buruh yang dijadikan agenda bersama diseluruh dunia menjadi momentum perubahan yang berpengaruh pada perubahan sejarah perlindungan bagi kaum pekerja diseluruh belahan dunia dimanapun, terlebih lagi di Negara kita tercinta Indonesia. Selamat Hari Buruh Sedunia wahai kaum Buruh!

harismosa@yahoo.co.uk

haris@virus-communications.com

Gagasan, Propaganda, dan Film


Ada banyak sekali cara dalam menyuarakan gagasan dalam diri seseorang. Ide dan gagasan memang mutlak hadir dalam benak setiap orang, menanti untuk digarap dan mampu mentransmisikan pesan dalam format kontekstual, tematik, bahkan propagandis. Bila media podium dalam masa modern saat ini semakin membatasi jika tidak ingin dikatakan melelahkan sebagai wahana penyampaian ide, saluran lain yang lebih terkesan intelek dan estetik dengan ‘efek getaran’ yang lebih luas menjadi metode alternatif yang sulit untuk ditampik. Umumnya bahasa tulisan merupakan opsi kebanyakan, selain keluasan raihan akses yang mampu dijangkau baik dalam tulisan artikel media cetak, internet, bahkan ruang-ruang blog yang kian ramai disambangi menjadi target utama perantaraan gagasan seseorang. Dari sekian banyak cara dan saluran yang tersedia dalam penyampaian gagasan tadi, media film yang menawarkan kekuatan visual dan audio yang maksimal; dapat dijadikan gulungan dialektika yang relatif paling baik. Walaupun sama sekali bukan barang baru bila ‘dunia layar’ ini dimanfaatkan sebagai lahan garap untuk mewacanakan sesuatu.

Film adalah sebuah media yang mampu memadukan banyak aspek dalam berwacana. Dalam film dibutuhkan rangkaian cerita, rangkaian bahasa, penokohan, tatanan busana serta riasan lainnya, plot-plot dengan sequence dramatis yang diharapkan, music scoring yang mampu membangkitkan suasana, pilihan visual fotografis, efek visual sebagai penyempurna, dan banyak aspek lainnya bila secara rigid kita mau membahasnya. Anda mungkin bergumam, “ bukankah media lain juga mampu meng-cover aspek-aspek diatas tadi? ”. Mungkin yang Anda maksud buku novel, otobiografi, bibliografi, dan seterusnya. Memang media buku mampu memenuhi aspek rangkaian cerita, plot, bahasa dan penokohan dalam lembaran-lembarannya. Namun, harus diakui bahwa keterbatasan audio dan visual dalam buku menjadi handicapped yang mampu dipenuhi dengan sempurna dalam produksi film. Sama halnya keterbatasan media radio dalam menyampaikan pesan-pesannya, dimana kebutuhan visual belum cukup terpenuhi dengan baik kecuali Anda mengikuti jalan produksinya on the spot. Atau sebagian Anda bergumam lebih dalam lagi ” Saya menonton pertunjukkan teater, panggung teater cukup akomodatif kok!? ”. Memang seni pertunjukan macam teater menjadi media transmisi yang paling mendekati, didalamnya ada cerita, penokohan, tata bahasa dan visual gestures dari para pemerannya, plot, busana dan tata riasan, efek suara, tata cahaya dan efek khusus, dan seterusnya. Sekali lagi, namun pertunjukkan teater hanya digelar pada satu waktu, satu tempat, dan suatu kesempatan saja. Untuk memenuhi ‘efek getar’ yang lebih luas, pertunjukkan teater sangat mengandalkan review dalam media massa terbitan hari selanjutnya, atau syukur-syukur jika saja para penonton yang merasa puas ikut menyisipkannya dalam obrolan informal kepada teman maupun kerabat dekatnya pada suatu kesempatan informal; karena belum pernah penulis mendengar penyelenggaraan bedah teater layaknya bedah buku yang khusus membicarakan content dari karya dialektis tersebut

Jika dibandingkan dengan penyampaian gagasan lewat film yang mampu dipertunjukkan secara massal, dan diakses publik yang jauh lebih luas bahkan berskala worldwide yang mendunia; maka tentu saja hal ini menjadi tambahan bahwa karya film memang menjadi karya dialektis yang paling efektif dalam menyampaikan suatu gagasan. Tentu kita masih ingat film G 30 S PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia) karya Arifin C. Noer yang ditelurkan dari orderan khusus pemerintahan orde baru pada masa itu. Betapa efek pembentukan wacana yang terjadi sangatlah hebat. Dengan penggarapan yang sangat baik, film itu mampu menanamkan pemahaman yang diharapkan mengenai siapa musuh, siapa pahlawan, dan siapa yang menjadi korban; jika tidak mau dikatakan sebagai propaganda pemerintah. Atau ada karya docudrama garapan Michael Moore lewat Bowling for Columbine, Fahrenhite 9/11, dan Sicko yang mencatatkan namanya sebagai penerima piala Oscar. Atau Al Gore yang popularitasnya diperbaiki setelah kalah pemilu dengan meraih nobel perdamaian dan penghargaan lainnya lewat film An inconvenient truth mengenai pemanasan global. Tidak kalah sumbangan Nia Dinata dalam menyampaikan perspektifnya soal gay lewat film Arisan dan tema poligami lewat Berbagi Suami yang sempat mampir di De Cannes Film Festival dan beberapa festival film lainnya yang berskala dunia. Melalui film juga penanaman gagasan seseorang yang dibungkus dalam ruang produksi, mampu direkayasa sebagai bahan tontonan yang membuai dan memanjakan hingga publik luas yang sedang ditanami gagasan itu tidak terasa bahwa merekalah yang dijadikan sebagai target penanaman dari suatu gagasan itu sendiri.

Bila Anda yang membaca, tulisan ini dianggap terlalu hiperbolis hal itu sah-sah saja karena siapa yang bisa menghalangi seseorang untuk berpikir dan beranggapan atas sesuatu, kan?. Penulis sendiri sangat menikmati aksi James Bond yang mampu menghindar dari terjangan peluru para teroris dengan begitu luar biasa, atau kehebatan John Rambo yang meluluh lantahkan satu batalyon pasukan untuk membebaskan tahanan perang di tengah hutan tropis Vietnam. Karena film sebagai hiburan (sedikitnya kita menganggapnya begitu) sudah menjadi industri besar yang memang menawarkan kalkulasi laba hingga mencapai angka miliaran. Toh tidak ada yang memaksa Anda untuk menonton atau tidak, bukan?. Akan tetapi, ada semacam ekspektasi lebih dalam diri pribadi penulis, yaitu ekspektasi akan sebuah skeptisme dan kesadaran terhadap suatu realitas yang diangkat dalam karya film. Apa jadinya jika skeptisme sama sekali dihilangkan terutama dalam hal membicarakan theme content dalam suatu film. Bayangkan segmentasi remaja pada film-film semacam American Pie yang dibuat hingga berseri melebihi seri trilogi yang tanpa diikuti dengan daya skeptis serta kewaspadaan yang cukup, tentu konten dalam ‘film-film sampah’ itu dapat berimplikasi destruktif dalam sebuah bentuk konflik budaya yang serius. Dalam beberapa kesempatan forum-forum diskusi yang penulis ikuti, klarifikasi beberapa narasumber yang sempat berproses di negeri paman sam itu menekankan bahwa American Pie bukanlah representasi murni budaya remaja Amerika secara umum, bahkan diakhir diskusi tak lupa disisipkan ungkapan “ jangan lupa untuk skeptic terhadap sesuatu muatan budaya! “. Dalam hal ini skeptis harus dipahami sebagai bentuk kritis yang dapat berfungsi sebagai bentuk filter budaya. Skeptisme menjadi ‘pola kesadaran’ dalam menginterpretasikan sesuatu menjadi lebih dialektis, atau sedikitnya memenuhi aspek diskursif yang argumentatif.

Beberapa waktu lalu, saya bersama beberapa teman yang mengaku sebagai maniak film menonton sebuah film berjudul The Great Debaters. Tidak didukung dengan perlengkapan sound istimewa dalam ruang kedap dan peralatan visual sekelas home theatre sekalipun, kami berlima sudah cukup excited dan antusias. Tanpa diawali overture panjang, Scene film diawali dengan Amerika dalam setting masa-masa depresi tahun 1930-an didaerah Texas. Musik tribal yang dijadikan scoring scene awal malah mengingatkan saya film Apocalypto arahan Mel Gibson. Disebuah pondokan kayu, gemuruh kumpulan afro-amerika menyanyikan lagu-lagu gospel yang sangat lirih, selirih nasib mereka pada masa itu. Stereotipe kaum terbelakang dan belum beradab seakan sangat melekat pada diri orang-orang kulit berwarna. Pada titik ini, film yang diproduksi oleh presenter kenamaan Oprah Winfrey dengan embel-embel Harpo Productions, sarat akan tendensi dalam misinya merehabilitasi citra kaum kulit berwarna di Amerika lewat sebuah karya film. Untungnya film ini diangkat dari sebuah kisah nyata, sehingga mampu sedikit mengurangi aspek subjektivitas dan bias dari pembuatnya; walaupun aspek rekayasa tentu saja pasti tetap ada demi melanggengkan gagasan yang ingin disampaikan pembuatnya. Secara garis besar film ini ingin menyampaikan sebuah perjuangan dalam format wacana pada karya film, yaitu perjuangan akan suatu bentuk persamaan tanpa sekat rasialisme di negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanitas itu, Amerika. Lupakan film Missisipi Burning yang sama-sama mengangkat kegelapan sejarah rasial Amerika, bila Missisipi Burning masih setengah hati mengangkat isu rasial dengan masih menempatkan si kulit putih sebagai superhero atas si kulit hitam, dalam film ini perjuangan kulit hitam sepenuhnya dilakukan oleh kaum kulit hitam sendiri; dengan Danzel Washington (American Gangster) sebagai bintang utama sekaligus sutradara.

Danzel Washington memerankan Mr. Tolson yang berprofesi sebagai profesor di Wiley College, kampus khusus kulit hitam, karena memang universitas di Amerika waktu itu masih memisahkan antara pelajar kulit putih dengan yang berwarna. The Great Debaters menekankan pentingnya pendidikan sebagai senjata paling ampuh untuk merubah keadaan seperti diskriminasi rasial. Beda dengan konsepsi Marx yang hanya percaya pada revolusi proletar untuk memperbaiki ketimpangan sosial ekonomi kaum kebanyakan (baca: buruh). Melalui kompetisi adu debat antar Negara bagian, tim Wiley College sedikit demi sedikit berhasil menanamkan pemahaman baru akan nilai-nilai keragaman dan kebersamaan. Setelah melalui banyak konflik internal dan sosial, akhirnya Harvard University mengundang Wiley College dalam forum debat terbuka yang disiarkan secara nasional lewat radio. Untuk mengetahui kisah selengkapnya, silahkan para pembaca menyaksikannya sendiri.

Oprah Winfrey tentu semua orang sudah mengenalnya, sebagai perempuan kulit hitam dia menjadi salah satu ikon perubahan nasib yang sangat fenomenal. Tentu ada banyak banyak gagasan dalam dirinya untuk disebarkan, terutama bagi kaum-nya sendiri. Dengan sumber daya yang dimilikinya, memproduksi sebuah karya film tentu bukan menjadi halangan yang berarti. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin menekankan betapa gagasan yang ada dalam diri seseorang memiliki kekuatan yang sangat besar untuk diaktualisasikan menjadi sesuatu. Suatu gagasan dapat dianalogikan layaknya sebuah bisul yang mengganggu, toh suatu saat pasti akan meledak juga. Suarakan gagasan kita, mungkin ada banyak manfaat dibaliknya, bukan hanya bagi diri kita, jauh lebih penting menjadi hikmah kepada yang lain. Selamat menyuarakan gagasan Anda!

harismosa@yahoo.co.uk