Wednesday, 4 December 2013

Love Is You..




Love

Love is real, real is love
Love is feeling, feeling love
Love is wanting to be loved

Love is touch, touch is love
Love is reaching, reaching love
Love is asking to be loved

Love is you
You and me
Love is knowing
We can be

Love is free, free is love
Love is living, living love
Love is needing to be loved






Wednesday, 17 July 2013

Sungguh Alloh Itu Tidak Tuli, Simpan TOA-mu yang Mengganggu Itu!

Oleh: Dodi Sanjaya


Haji Sayed Hasan bin Sayed Abbas adalah seorang kakek yang berumur 75 tahun. Saat Banda Aceh diterjang tsunami yang sangat dahsyat pada 2004, ia kehilangan istri tercintanya. Sejak saat itu, ia tinggal hanya bersama seorang anaknya. Rumahnya berada sekitar 10 meter dari masjid Al Muchsinin, Gampong Jawa, Kecamatan Kutara Raja, Banda Aceh. Tahun 2010, di usia yang sudah senja itu, ia mengalami sakit jantung koroner. Dokter menyarankan ia untuk banyak istirahat.


Demi kesehatannya, ia mengikuti saran dokter. Saat bulan ramadhan, pengeras suara  masjid sangat keras volumenya dan hal itu membuat dia menjadi sulit tidur. Ia sempat berpikir mungkin ini hanya sesaat, tapi pengeras suara itu ternyata terus hidup dari menjelang shalat taraweh hingga pukul 4 dini hari. Dan hal itu terus berlangsung selama bulan Ramadhan.


Karena merasa suara speaker terlalu keras bunyinya, dia menjumpai Drs. Tgk. Muchtar Tawi selaku Imam Masjid Al Muchsinin pada saat pengajian di masjid. Ia meminta agar pengeras suara itu volumenya dikecilkan dan di atas jam 12 malam dimatikan. Namun permintaan itu ditolak oleh Tgk. Muchtar Tawi. Ia mengatakan ini adalah sebuah masjid dan tidak boleh mengecilkan suara speaker masjid. Tgk. Tawi hanya mau mengecilkan suara speakernya kalau ada fatwa dari ulama. Namun, Tgk. Tawi tidak ingin mendatangi ulama, ia hanya mau ulama yang mendatanginya. Sebagai orang kecil tentunya itu hal yang sulit. Merasa permintaannya ditolak, ia pulang ke rumah dengan perasaaan kecewa.


Karena Tgk. Tawi hanya mau mengecilkan volume pengeras suara  masjid jika ada fatwa ulama, akhirnya Tgk. Sayed pun mendatangi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh. Dia meminta MPU memberi fatwa, namun MPU mengatakan fatwa itu hanya bisa diberikan kalau ada anggota masyarakat lain yang juga ikut menanyakan permasalahan ini. Tgk. Sayed pun kembali ke rumahnya dan mencari dukungan orang yang mempunyai permasalahan sama dengan dia. Ia mendapat 15 dukungan dan kemudian kembali ke MPU. Ternyata itu belum cukup dan ia disuruh kembali lagi dengan dukungan yang lebih banyak.


Setelah beberapa hari berlalu, dia kembali mendatangi MPU dengan 30 dukungan. Lagi lagi MPU menolaknya. Menurut MPU, harus lebih banyak lagi. Tgk. Sayed lalu bertanya kepada MPU, “ Banyaknya itu berapa? Yang pasti jumlahnya biar saya mencarikannya lagi.“ MPU hanya berkata pokoknya banyak.


Karena kecewa dan merasa dipermainkan, dia kembali ke rumah. Kemudian dia mendengar dari tetangga bahwa yang boleh mengeluarkan fatwa adalah MPU Provinsi. Mendengar itu, dia semakin kecewa dan kesal dengan sikap MPU Kota Banda Aceh. Kenapa tidak dari awal saja mereka mengatakan bahwa mereka tidak berhak mengeluarkan MPU sehingga ia tidak perlu bolak balik ke MPU Kota.


Sebelum dia berangkat menunaikan ibadah haji, ia mengirim surat Ke MPU Provinsi Aceh. Dalam surat itu, dia meminta fatwa larangan penggunaan speaker masjid secara berlebihan. Kemudian MPU membalas suratnya. Namun isi surat MPU membuat dia kecewa, karena secara substansi sudah berubah. Dalam surat itu, MPU mengatakan bahwa “Muazzin mengumandangkan azan bukanlah suatu kedhaliman, tapi merupakan panggilan tibanya waktu shalat.” Tentu ini adalah sebuah pergeseran makna. Tgk. Sayed tidak pernah meminta pelarangan azan dengan menggunakan pengeras suara. Yang diminta untuk dilarang adalah pengajian tadarus, zikir dan ceramah tape recorder dengan menggunakan pengeras suara  secara berlebihan dan pada waktu yang tidak tepat. ”Silahkan menggunakan pengeras suara , namun janganlah sampai jam 4 pagi,” ujar beliau.


Sepulang dari ibadah haji, dia kembali mendatangi imam masjid. Ia mendatangi rumah sang imam dengan harapan suasana akan berubah. Ternyata harapannya tidak sesuai kenyataan. Ia mendapat jawaban yang sama seperti sebelumnya. Kemudian ia ke Malaysia untuk mencari fatwa dari ulama Malaysia yang kemudian dia tunjukkan ke imam masjid. Imam tetap menolaknya dan berkata bahwa tulisan Arab hadist itu benar, namun terjemahannya salah. Ia sempat mengatakan, di mana pun di dunia ini hadist tetap sama, hanya redaksinya saja yang berbeda, tapi tidak dengan substansinya.


Ia juga pernah berkata bahwa ia memiliki dalil tentang larangan penggunaan pengeras suara  dengan suara yang berlebihan. Dan jika ada dalil yang menyarankan penggunaan pengeras suara secara berlebihan, ia minta agar dalil itu ditunjukkan kepadanya. ”Silahkan Tgk. beri dalil yang menganjurkan penggunaan pengeras suara yang berlebihan. Namun sampai sekarang tidak ditampakan pada saya,” ungkap Tgk. Sayed.


Karena masih mengalami hal yang sama, dia menulis surat kepada aparatur desa dan juga camat, namun tak ada respon. Akhirnya saya melaporkan permasalahan ini ke Polsek Kutaraja, Banda Aceh. Jawaban yang didapat sangat mengecewakan dirinya. “Kami tidak bisa menangani kasus bapak, karena ini berhubungan dengan orang ramai,” ujar Tgk Sayed yang mengulang jawaban Polsek Kutaraja.


Pada bulan puasa di tahun 2011 dan 2012, ia menyuruh anaknya untuk bertemu kembali dengan imam masjid, namun dia mendapatkan jawaban yang sama. Akhirnya, pada suatu pagi, karena kesal, dia pergi ke masjid dan menggeser sendiri pengeras suara itu ke arah lain. Ternyata, siangnya, massa mendatangi rumah beliau. Mereka memaksa dia untuk memutar kembali speaker masjid ke arah semula. Saat itu ia merasa terancam, sehingga akhirnya dia memutar pengeras suara kembali ke arah rumahnya, bahkan dengan suara yang lebih besar.


Setelah kejadian itu, ia kembali melapor untuk kedua kalinya ke Polsek kutaraja. Dalam laporan itu, dia melaporkan perbuatan tidak menyenangkan, namun polisi juga tidak merespon laporan tersebut. Akhirnya, dia memperkarakan kasus pengeras suara  ini ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. Dalam laporannya, kasus ini sudah sampai pada tahap mediasi. Namun pada Rabu, 20 Februari 2013, massa mendatangi rumahnya dan ia dibawa ke masjid untuk mediasi. Di masjid ternyata sudah ada Wakil Walikota Banda Aceh, Sekda Banda Aceh, MPU Banda Aceh, Camat Kutaraja, imam masjid, Danramil, unsur Polresta dan Kapolsek Kuta Raja. Awalnya dia berpikir ini sebuah mediasi, ternyata ini adalah sebuah paksaan untuk berdamai. Tgk. Sayed setuju tetapi dengan syarat perdamaian harus sesuai dengan Sunnah Rasul. Saat itu massa sangat ramai, suara cacian dan ”bunuh” membuat ia terintimidasi. Dan tidak sampai disitu saja, Sekda sebagai utusan dari Negara mengeluarkan kata-kata penuh fitnah dan membuat Tgk. Sayed semakin terintimidasi, “ini orang yang larang mengaji dan adzan.”  Padahal Tgk. Sayed tidak pernah melarang orang mengaji dan azan, tetapi yang dilarang adalah penggunaan speaker masjid secara berlebihan. Wakil Walikota yang merupakan orang kedua di Kota Banda Aceh pun mengeluarkan kalimat yang tidak menyenangkan, “Bikin malu orang Aceh saja.“ Karena merasa terintimidasi, akhirnya ia menandatangani surat di atas materai yang isinya mencabut gugatan, dan tidak akan menggugat lagi. Setelah Tgk. Sayed menandatangani surat itu, camat berkata, jika ia menggugat lagi, maka ia akan diusir dari kampong.


Sekarang masyarakat punya anggapan yang lain. Ia dianggap sesat, karena melarang orang shalat dan mengaji. Padahal ia hanya melarang penggunaaan pengeras suara  secara berlebihan.
Tgk. Sayed merasa dimusuhi, namun tidak semua masyarakat berpikir seperti itu. Ia berharap pemerintah pusat menegur Wakil Walikota dan Sekda Banda Aceh, karena tidak mengormati haknya sebagai warga negara yang mencari keadilan. Mereka telah memaksanya untuk mencabut gugatan. Selain itu, ia berharap semoga hal seperti ini tidak dialami oleh orang lain lagi.



Kebutuhan Pengeras Suara

Belajar dari apa yang dialami H. Sayed ,tentunya kita harus melihat fungsi dan kebutuhan pengeras suara di masjid. Adalah sebuah kenyataan bahwa dengan kemajuan teknologi seperti zaman sekarang ini, hampir semua masjid dan mushola di seluruh dunia telah memiliki dan menggunakan alat pengeras suara. Tujuan digunakanya alat tersebut tidak lain adalah untuk menunjang tercapainya dakwah Islam kepada masyarakat luas di dalam maupun di luar masjid. Maksudnya juga agar jamaah atau umat Islam yang tinggal agak berjauhan dari masjid dapat mendengar suara azdan. Selain itu, dengan pertumbuhan penduduk yang pesat dan jamaah masjid menjadi membludak, diperlukan pengeras suara agar suara imam atau khatib dapat didengar oleh jamaah.


Memang keberadaan pengeras suara di masjid sangat membantu dalam kegiatan dakwah Islam saat ini. Namun, kita tidak boleh berlebihan dalam menggunakannya. Tentunya sebagai manusia, ada segelintir di antara kita yang tidak tepat dalam menggunakan sebagaimana patutnya.


Padahal aturan penggunaan pengeras suara sudah jelas dalam dalil agama maupun aturan pemerintah. Namun, di beberapa tempat, masih banyak masjid yang menyimpang dan menyalahi aturan yang diizinkan agama maupun pemerintah. Dalam shalat dan doa yang hanya untuk kepentingan jama’ah (dalam masjid), tidak perlu corongnya diarahkan ke luar, sehingga tidak melanggar ajaran Islam yang melarang bersuara keras dalam shalat dan doa.


“Dan janganlah engkau keraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula terlalu merendahkannya, dan carilah jala tengah di antara keduanya.” (Al Isra`: 110).

Dalam ayat lain: “Dan berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Ala’raf: 55).

Kemudian, zikir merupakan ibadah individu langsung kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, tidak perlu menggunakan pengeras suara baik ke dalam maupun ke luar.


“Dan berzikirlah (ingatlah) kamu akan Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri serta lembut tanpa mengeraskan suara pada pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (AlA’raf: 205).


Terutama di perkotaan, pengurus masjid harus benar-benar memperhatikan penggunaan pengeras suara. Di perkotaan, sudah tidak aneh lagi jika di sekitar masjid terdapat tempat tinggal non-muslim, sehingga keadaan dan kondisi mereka tetap harus dipertimbangkan. Karena kita juga perlu menelaah hadits nabi yang mengatakan: “Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman.” Lalu ada orang yang bertanya: ”Siapa itu ya Rasulullah (orang yang tidak beriman).” Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang tidak beriman itu adalah orang yang tidak (pernah) aman tetangganya karena gangguan (kejahatannya). Jangan sampai akibat salah dalam menggunakan pengeras suara masjid membuat tetangga-tetangga menjadi merasa terganggu, lebih-lebih jangan sampai menimbulkan kebencian tetangga yang non-muslim terhadap masjid.


Dalam suatu riwayat, pernah Ali RA membaca keras-keras bacaan shalat dan doanya, padahal orang-orang sedang tidur. Lalu Rasulullah menegurnya: “Bacalah untuk dirimu sendiri, karena engkau tidak menyeru Tuhan yang tuli dan jauh. Sesungguhnya kamu menyeru Allah Yang Maha Mendengar dan Dekat.”


Soal pengeras suara di masjid sebenarnya sudah diatur dalam Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala. Keputusan itu ditandatangani Dirjen Bimas Islam saat itu, H.M. Kafrawi, MA., pada 17 Juli 1978.


Syarat-syarat penggunaan pengeras suara adalah perawatan penggunaan pengeras suara oleh orang-orang yang terampil dan bukan oleh yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian, tidak ada suara bising dan berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau mushola. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam shalat, pembaca Al-Qur’an, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak, dan tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid, dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati dari mereka yang mendengar, selain dari menjengkelkan.


Syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan shalat, harus dipenuhi, karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri atas ketidaktaatan yang bersangkutan terhadap ajaran agamanya.


Syarat-syarat lain, di mana orang yang mendengarkan berada dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara, juga harus ditaati. Dalam keadaan demikian (kecuali azan), penggunaan pengeras suara tidak akan menimbulkan kecintaan orang, bahkan sebaliknya.


Di dalam instruksi itu juga diatur bagaimana tata cara memasang pengeras suara baik suara ke dalam ataupun ke luar. Juga penggunaan pengeras suara di waktu-waktu shalat. Secara terperinci penggunaan pengeras suara di masjid adalah sebagai berikut:

1. Waktu Subuh
Sebelum waktu subuh dapat dilakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum waktunya. Kesempatan ini digunakan untuk pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dimaksudkan untuk membangunkan kaum muslimin yang masih tidur, guna persiapan shalat, membersihkan diri, dan lain-lain.
Kegiatan pembacaan ayat suci Al-Qur’an tersebut dapat menggunakan pengeras suara ke luar. Sedangkan ke dalam tidak disalurkan agar tidak mengganggu orang yang sedang beribadah dalam masjid.
Adzan waktu subuh menggunakan pengeras suara ke luar.
Shalat subuh, kuliah subuh, dan semacamnya menggunakan pengeras suara (bila diperlukan untuk kepentingan jama’ah) dan hanya ditujukan ke dalam saja.


2. Waktu Dzuhur dan Jum’at
Lima menit menjelang dzuhur dan 15 menit menjelang waktu dzuhur dan Jum’at supaya diisi dengan bacaan Al-Qur’an yang ditujukan ke luar.
Demikian juga suara adzan bilamana telah tiba waktunya.
Bacaan shalat, do’a, pengumuman, khutbah, dan lain-lain menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam.


3. Ashar, Maghrib, dan Isya’
Lima menit sebelum adzan pada waktunya, dianjurkan membaca Al-Qur’an.
Pada waktu shalat datang dilakukan adzan dengan pengeras suara ke luar dan ke dalam.
Sesudah adzan, sebagaimana lain-lain waktu hanya ke dalam.


4. Takbir, Tarhim, dan Ramadhan
Takbir Idul Fitri, Idul Adha dilakukan dengan pengeras suara ke luar. Ketika Idul Fitri dilakukan pada malam 1 Syawal dan hari 1 Syawal. Pada idul Adha dilakukan 4 hari berturut-turut sejak malam 10 Dzulhijjah.
Tarhim yang berupa do’a menggunakan pengeras suara ke dalam. Dan tarhim dzikir tidak menggunakan pengeras suara.
Pada bulan Ramadhan sebagaimana biasa pada siang dan malam hari, diperbanyak pengajian, bacaan Al-Qur’an yang ditujukan ke dalam seperti tadarusan dan lain-lain.
Belajar dari apa yang dialami Haji Sayed tentunya ini adalah bentuk ketidaktahuan pemerintah dan pengurus masjid tentang aturan penggunaan pengeras suara, atau memang sengaja pura-pura tidak tahu. Semoga kejadian seperti ini apalagi sampai ada stigmatisasi sesat pada seseorang tidak terulang lagi untuk generasi ke depan.


Diambil dari judul asli : Ketika Pengeras Suara Masjid Berakibat Mudharat

Monday, 6 May 2013

Seks dan (tanggung jawab) Masa Depan




Pelecehan seksual sepertinya semakin sulit untuk dikendalikan. Setiap hari ada saja berita yang membuat air mata menetes dan dahi berkerut. Sementara bicara tentang seks, meski mendidik tetap dianggap tabu. Untuk mengakui kita menghadapi masalah seks yang memprihatinkan pun sulit. Bagaimana nasib masa depan?

Tidak bisa dimungkiri bahwa kata "seks" saja sudah bisa membawa pikiran dan khayalan seseorang ke mana-mana. Cenderung ke arah porno dan hanyut larut dalam nafsu kebinatangannya. Maklum saja karena seks masih dijadikan sebagai obyek yang tabu, kotor, porno, amoral, asusila, dan segala perbuatan maksiat yang menjerumuskan. Padahal kita semua menyadari bahwa seks itu diberikan oleh Sang Pencipta sebagai anugerah yang seharusnya bisa dipandang secara positif bila seka itu dijadikan subjek.

Seks sendiri  merupakan ilmu pengetahuan yang sangat mendidik. Mempelajari organ seks, perilaku seks, dan seks semua makhluk hidup mampu membuat manusia tercengang dan terpana. Betapa tidak? Sehebat-hebatnya manusia, hingga saat ini belum ada satu manusia pun yang membuat sperma dan sel telur. Bahkan tak mampu juga menduplikasikannya. Lantas, mengapa sulit sekali bagi manusia untuk melihatnya sebagai kebesaran Ilahi?

Menjadikan seks sebagai objek pemikiran negatif sudah membuktikan bahwa kita belum mampu menghormati dan menghargai apa yang sudah diberikan oleh-Nya. Kesalahan ini tidak juga mau diakui, sehingga tidak heran bila pemikiran kotor dan negatif terus berkembang. Masalah yang berhubungan dengan seks semakin sulit untuk diatasi dan dibenahi.

Ketabuan atas seks itu sendiri berawal dari kesakralan seks. Dibutuhkan kematangan, kedewasaan, jiwa besar, dan nalar yang tinggi untuk mampu mempelajari seks tanpa berpikir negatif, sehingga tabu dipelajari bagi yang tak mampu. Kesulitan inilah yang membuat pengetahuan seks menjadi tertutup karena memang ditutupi. Seiring perjalanan waktu, justru tabulah yang kemudian menjadi subjek dan seks adalah objeknya. Apa mau dikata, mungkin orang dulu sudah berpikir jauh ke depan. Seleksi alam berdasarkan kemampuan manusia di dalam berpikir jernih semakin menurun, sehingga tidak pantas mempelajari seks. Mereka yang berpikiran kotor tentang seks tidak akan mampu mempelajari dan mengerti tentang seks dengan baik dan benar.

Sebagai salah satu contohnya adalah pemikiran tentang kondom. Kondom dianggap penyebab perilaku seks bebas dan menjerumuskan. Bila kita mau melihatnya lebih jauh lagi, kondom merupakan benda mati. Kondom adalah alat kontrasepsi dan pencega penularan penyakit kelamin yang berbahaya, termasuk HIV dan AIDS. Pengguna kondom sendiri, di Indonesia masih sangat minim, sekitar 5% dari total jumlah penduduk di Indonesia. Sementara pelaku seks bebas jumlahnya apakah sama dengan pengguna kondom atau kurang? Pertumbuhan HIV AIDS di Indonesia pada generasi muda saja sudah mencapai angka 600 persen per tahun, siapakah yang mampu berpikir dan memutuskan untuk melakukan seks bebas? Ingat, kondom tak mampu berpikir, tetapi manusia mampu. Kondom bisa menjadi apa saja, tergantung kepada niat dan tujuan penggunanya sendiri.

Kasus pemerkosaan  dan pelecehan seksual juga sering dikaitkan dengan film porno. Film porno diaalahkan dan diruding menjadi penyebab utama dan biang keladinya. Menurut penelitian sebuah media international disebutkan bahwa pecandu film porno di. Indonesia berjumlah 38 persen dari jumlah penduduk pria. Apakah jumlah pemerkosa di Indonesia sama dengan jumlah pecandu film porno tersebut? Jika seseorang mampu mengendalikan dirinya untuk tidak melakukan kejahatan seks, maka kenapa ada yang tidak mampu? Tentunya banyak alasan lain seperti faktor psikologis, kesehatan jiwa, pendidikan, ekonomi,  lingkungan, dan lain sebagainya yang mempengaruhi. Tidak hanya semerta-merta seseorang bisa melakukan kejahatan seksual hanya karena menonton film porno. Memicu, bisa jadi, tetapi bukan penyebab utama dan biang keladinya.

Pelacuran pun banyak yang ditutup dengan berbagai alasannya. Tidak juga mau mengakui betapa sulitnya menghapus pekerjaan tertua di muka bumi ini. Menutup pelacuran tidak kemudian pasti bisa menghapuskan dunia hitam itu, apakah ada yang berani menjamin? Jika memang dijamin tidak ada, maka untuk apa penjaringan atas Pekerja Seks Komersial di jalanan dan tempat-tempat lain masih terus saja dilakukan? Apakah jumlah yang tertangkap dan tercatat lebih berkurang sejak ditutupnya tempat pelacuran? Para sukarelawan yang biasanya mudah mendata dan memberikan penyuluhan serta memberikan obat-obatan untuk mencegah penyebaran penyakit pun semakin kesulitan.

Anehnya lagi, masalah penanganan soal pelacuran ini hanya difokuskan kepada para PSK-nya saja, para "klien" mereka lebih bebas berkeliaran. Padahal, mereka itulah yang lebih berbahaya karena bisa membawa penyakit ke rumah dan menyebarkannya ke yang lain. Belum lagi perilaku masyarakat yang saat ini melakukan seks bebas di mana-mana, tanpa ikatan, tanpa komitmen, tanpa cinta, hanya untuk seks semata. Plus ditambah dengan seks di dunia maya dan dalam lingkungan kerja, yang tidak juga mau diakui sebagai masalah. Demi pulsa, makan siang, merasakan tidur di hotel, dapat proyek, bergaul dengan kalangan tertentu, ikut trend, gaya hidup dan lain sebagainya, seseorang bisa merendahkan dirinya, tapi tetap tak mau dianggap rendah. Banyak sekali alasan-alasannya.

Menuding, memaki, marah-marah, mengucilkan, dan menghina jauh lebih mudah dibandingkan dengan mau turun langsung menekuni dan berkutat dalam menyelesaikan masalah ini. Untuk mau menyentuh dan merangkul orang-orang yang sudah dianggap hina dan sampah oleh masyarakat saja tak mau. Lebih memilih tetap bersih dan cuci tangan, merendahkan yang lain untuk ditinggikan, itu sudah biasa, kan?! Apa yang diketahui juga hanya sekedar omong-omong bukan hasil dari penelitian langsung, sehingga sebetulnya apa yang diketahui, sih?! Membersihkan rumah yang sudah bersih maka tak ada guna, beranikah membersihkan langsung rumah yang kotor tanpa banyak omong-omong belaka?! Jiwa besar, kesabaran, ketekunan, kedisplinan, dan mau terus berpikir lebih jauh itu mutlak, jauh lebih sulit dari sekedar omong-omong.

Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang tidak pernah bersalah dan siapa yang bisa memastikan lebih berdosa atau tidak?! Derajat manusia di mata Tuhan pun sama, tidak ada yang lebih hina. Manusianya saja yang merasa lebih dari yang lain dan berlaku sudah melebihi Tuhan serta merasa sudah menjadi malaikat tanpa dosa. Mengakui salah saja tidak berani?! Maunya menutupi kesalahan saja terus, sementara kesadaran bahwa kemunafikan itu adalah sebuah perbuatan yang paling dibenci tetap ada. 

Berpikir positif tentang seks juga tidak memiliki keberanian. Lebih takut dengan cemooh dari masyarakat dan kebanyakan orang dibandingkan menghormati dan menghargai anugerah dari-Nya. Lantas, untuk apa mengaku baik bila menjadi lebih baik dan melakukan yang lebih baik saja tak mau?!
Bicara tentang seks bukan hanya sekedar bicara soal tempat tidur.

Membicarakan seks dengan menjadikannya sebagai subjek akan memperluas wawasan dan mendewasakan diri.  Untuk membantu langsung menangani masalah kejahatan seksual barangkali sulit, tetapi kita bisa membantu.

Sekecil-kecilnya bantuan akan sangat berharga meski hanya dengan mengubah pola pikir dengan menjadikan seks sebagai subjek. Menghormati dan menghargai seks sebagai anugerah dengan tidak merendahkan, melecehkan, ataupun menghinakannya. Tidak perlu menunjuk jari, tapi lakukanlah dari, oleh, dan untuk diri sendiri. Pikirkanlah masa depan.


Oleh : Mariska Lubis
Judul Asli : Seks dan Masa Depan
Courtesy : www.kompas.com 


Editor :
Jodhi Yudono (kompas.com)

Thursday, 25 April 2013

Kartini dan vested interest Paham Emansipasi


Judul Asli : PENIPUAN SEJARAH ALA KARTISME

21 April bagi kaum hawa di negeri ini tentu saja merupakan hari yang istimewa. Karena pada tanggal tersebutlah salah seorang putri “kebanggan” Indonesia dilahirkan di bumi Jepara, Jawa Tengah. Raden Ajeng Kartini (1879-1904) namanya. Sebagai salah satu anak manusia yang pernah mengenyam bangku sekolah di negeri ini tentunya saya juga menaruh rasa hormat yang dalam kepada sosok wanita yang oleh masyarakat kadung dianggap sebagai figure teladan perempuan pejuang dan tokoh emansipasi wanita ini. Hal itu memang sudah terdoktrinkan secara sistematis ke dalam otak saya dan juga kepada jutaan alumni sekolah di republik tercinta ini bahwa memang demikianlah sosok harum Kartini. Namun setelah Liang Pikir saya (baca: Otak) perlahan beranjak dewasa, kini saya mulai sadar bahwa Kartini ternyata tak se-sakral itu. Dan kini saya juga tertarik tuk meng-kritisi sosok Putri Kebanggan Indonesia ini, secara Objektif tentunya.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada sang “Putri Yang Mulia” (Sebutan beliau dalam salah satu lirik lagu nasional Ibu Kita Kartini), izinkanlah saya mengungkapkan beberapa kegundahan yang mengganjal di benak saya tentang Raden Ajeng Kartini ini.

Pertama-tama bolehlah saya cuplikkan beberapa lirik dalam Lagu Ibu Kita Kartini yang juga bisa menjadi renungan kita bersama. Berikut beberapa petikan lirik lagu “Sakral” tersebut yang masih saya ingat :

Ibu Kita Kartini//

Putri sejati//

Putri Indonesia//

Harum namanya//

Wahai ibu kita Kartini//

Putri yang mulia//

Sungguh besar cita-citanya//

Bagi Indonesia//

Dalam lirik lagu tersebut nampak jelas begitu terpujinya Kartini ini. Terbukti dengan diproklamirkannya penyebutan putri yang mulia pada beliau. Dan ada lagi satu bait dalam lirik lagu tersbut yang juga dapat kita kritisi bersama, yaitu pada kata”Sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia.”

Sebenarnya apakah gerangan cita-cita besar Kartini yang oleh banyak orang disebut sebagai cita-cita yang mulia itu. Jawabannya konon adalah perjuangan mengenai emansipasi dan kesetaraan Gender. Untuk membahas masalah ini (Emansipasi dan Kesetaraan Gender) sungguh membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan tentunya akan selalu menimbulkan Pro dan Kontra setelahnya. Maka dalam seduhan (tulisan) ini saya mencoba mengambil sisi lain yang juga layak tuk dicermati. Yaitu mengenai kelayakan Kartini menyandang gelar Tokoh Emansipasi sehingga dijadikan Inspirator dan simbol sakral para wanita di negeri ini hingga hari ini.

Kisah “Mini” Kartini

Nama Kartini sebenarnya baru meledak sedemikian tenar pasca diterbitkannya kumpulan surat-menyuratnya (Korespondensi) dengan para Nonik Belanda. Kumpulan surat yang diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) itu sendiri diterbitkan 14 tahun setelah kematiannya. Dan inilah yang patut digaris bawahi, penerbitnya adalah Belanda sang penjajah negeri ini. Menjadi menarik jika kita cermati apakah gerangan maksud Belanda di balik semua itu. Mengapa kita patut curiga dengan maksud negeri yang tlah mengeruk kekayaan perut Indonesia selama 3,5 Abad ini.

Karena tidak mungkin negara yang tabiatnya adalah penjajah melakukannya dengan tanpa tujuan yang besar di baliknya. Belanda boleh saja tak menjajah Indonesia lagi secara fisik namun haram bagi mereka jika melepaskan Indonesia secara cuma-cuma karena negara inilah (baca: Indonesia) yang telah menghidupi negeri Kincir Angin tersebut selama 350 Tahun. Pengkultusan Kartini adalah salah satu buah manis yang dihasilkan dari penanaman benih sejarah oleh Belanda melalui diterbitkannya buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Melalui buku itu Belanda ingin mendoktrin otak-otak generasi Indonesia selanjutnya (utamanya wanitanya) agar mempelajari sosok Kartini dan meniru serta melanjutkan ide-ide Kartini yang tentunya telah dipoles sedemikian rupa oleh Belanda.

Jika kita berfikir lebih jernih, mengapa hanya Kartini saja tokoh wanita yang di Blow-Up sebegitu besarnya dalam sejarah yang dikonstruksi oleh Belanda? Bukankah di negeri ini dahulu juga banyak tokoh wanita yang juga tak kalah dengan Kartini dan bahkan lebih hebat dan besar jasanya bagi bangsa ini daripada Kartini. Jika Kartini hanya berkutat pada ide-ide dan diskusi dengan para Tokoh Belanda melalui surat-menyurat, maka masih lebih hebat Dewi Sartika (1884-1947) yang tidak hanya sekedar berwacana tentang pendidikan kaum wanita, namun juga mendirikan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung.

Kemudian ada lagi Rohana Kudus yang menyebarkan ide-idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan). Apalagi dengan Cut Nyak Dhien yang merupakan sosok wanita pejuang yang sangat tangguh hingga membuat Belanda sangat merasa terancam dengan pengaruh wanita yang satu ini di tengah-tengah masyarakat Aceh kala itu. Beliau berjuang bahkan dengan mengangkat senjata bahu-membahu hingga akhir nafasnya bersama sang suami, Teuku Umar. Nah, bandingkan dengan Kartini. Sungguh mereka lebih hebat daripada Kartini yang masih berkutat pada wilayah ide-ide dan cita-cita saja.

Contohnya adalah Rohana Kudus yang sangat kenyang dalam merasakan tekanan pihak penjajah Belanda. Terbukti dengan sering dibredelnya media massa yang dipimpinnya oleh Belanda kala itu. Cut Nyak Dhien, jangan tanya lagi, meski seorang perempuan namun Belanda menganggapnya sama berbahayanya dengan para pejuang laki-laki. Jiwa, harta dan segala miliknya adalah sesuatu yang sungguh sangat ingin dimatikan oleh Belanda. Lantas mengapa hanya Kartini yang dielu-elukan hari ini.

Awas Proyek Kartini-sasi


Di balik Kartini
Mengapa hanya Kartini sosok wanita yang hingga kini dikultuskan sebagai Tokoh Inspirator bagi para kaum hawa di negeri ini. Hal ini nampaknya tak lain adalah merupakan sisa-sisa proyek Belanda yang ingin meracuni otak anak-anak Indonesia melalui pembelokkan sejarah yang dibentuknya. Ingat, Kartini mulai melejit namanya pasca diterbitkannya kumpulan surat-menyuratnya oleh Belanda. Kartini lebih disukai Belanda karena tidak membahayakan kepentingan Belanda. Karena tidak ada gerakan nyata darinya yang memberi pengaruh luas pada masyarakatnya kala itu.

Kartini adalah anak priyayi alias dari kalangan ningrat yang pergaulannya sangat terbatas, hingga tak mungkin baginya bergaul dengan rakyat jelata, karena kala itu masih berlaku sistem Kasta Sosial. Maka wajar saja jika Harsja W. Bahtiar dalam artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” yang terangkum dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4) melakukan gugatan terhadap penokohan Kartini. Harsja W. Bahtiar menilai bahwa selama ini kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia sebenarnya lebih kepada konstruk (bentukan) orang-orang Belanda.

Jika tokoh-tokoh Muslimah seperti Dewi Sartika, Rohana Kudus, Cut Nyak Dhien dan masih banyak tokoh wanita hebat lain tidak diangkat sejarahnya seperti yang dilakukan Belanda kepada Kartini maka itu sangat beralasan. Karena Belanda memiliki beberapa alasan penting, diantaranya adalah :

Cut Nyak Dhien, Rohana Kudus, dan Dewi Sartika selain merupakan para sosok wanita yang sumbangsih nyata-nya sangat besar bagi masyarakat dan bangsa, mereka juga adalah figur Muslimah yang taat dan Belanda sangat takut akan hal itu. Karena menurut pendapat Snouck Hurgonje (Orientalis kesohor) yang merupakan tokoh yang pendapatnya sangat mempengaruhi Belanda dalam mengambil tiap kebijakan bagi daerah jajahannya pernah mengatakan bahwa golongan yang paling keras terhadap Belanda adalah Islam.

Nah jika para wanita Islam dan generasi penerusnya mewarisi semangat dan karya para tokoh muslimah seperti Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika dan Rohana Kudus maka dapat dipastikan Belanda tidak akan bisa bertahan lama tuk terus mencengkram Indonesia. Apalagi jika wanita Muslimah itu berpendidikan dan memiliki semangat belajar dan mengamalkan ilmunya seperti Dewi Sartika dan Rohana Kudus yang berjuang melalui jalur pendidikan bagi masyarakat, tentunya akan membuat Belanda semakin sulit menggenggam Indonesia lebih lama lagi.

Hal ini berbeda dengan Kartini yang paham ke-Islamannya kala itu masih rendah dan cenderung berpaham Pluralisme alias menyamaratakan semua agama yang tentunya daya militansi “Pemberontakannya” tidak keras dan cenderung jinak. Ingat, Kartini baru tertarik mendalami Islam lebih dalam hanya sebentar saja di saat akhir hidupnya dimana kala itu beliau banyak mengaji kepada Kyai Sholeh Darat dari Semarang. Berikut salah satu isi suratnya yang nampak jelas menggambarkan bahwa agama dalam benaknya tak lain hanya sekedar hal sepele belaka,”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih.

Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan,adalah bunyi tanpa makna.” (Surat Kartini Kepada E.C Abendanon, 15 Agustus 1902) Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika dan Rohana Kudus sangat anti penjajah Belanda dan sangat gigih melawan mereka dalam bidang masing-masing. Berbeda dengan Kartini yang pergaulannya agak eksklusive yaitu dengan para tokoh Belanda meski lewat korespondensi (surat-menyurat). Selain itu Kartini juga nampaknya amat kagum dengan negeri Belanda sang penjajah negaranya. Terbukti dengan cita-citanya yang sangat ingin belajar ke Belanda. Seperti yang tertuang dalam suratnya yang berbunyi,“Aku mau meneruskan pendidikan ke Holland (Belanda), karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah aku pilih” (kepada Ny. Ovinksoer, 1900).

Bandingkan dengan Cut Nyak Dhien yang tak mau berkompromi dan sangat membenci Belanda. Sungguh inilah nampaknya juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Kartini sangat di-anak emas-kan oleh Belanda sehingga sejarah mengenai dirinya begitu agung, meski sesungguhnya dia tak layak untuk itu. Maka dari sini kita dapat menarik sebuah benang merah mengapa kini hanya Kartini yang sejarahnya begitu gencar dipublikasikan dan bahkan hari kelahiranya sering diperingati secara meriah mulai dari pemakaian Kebaya oleh para wanita negeri ini di hari tersebut hingga kegiatan-kegiatan seremonial lainnya. Padahal jika boleh dikata tokoh ini masih dalam tahap bercita-cita serta bermimpi dan belum bergerak secara nyata dan sumbangsihnya bagi masyarakatnya kala itu juga tidak terlalu mencolok.

Lantas mengapa justru Kartini yang diagung-agungkan sebagai Putri Indonesia yang mulia dan membanggakan? Ah nampaknya kita memang lebih senang kepada tokoh yang koar-koarnya dan ucapannya indah meski tindakannya belum nyata ada (No Action Talk Only). Sama seperti kasus penganugerahan Nobel Perdamaian bagi Obama yang banyak dikritik oleh banyak masyarakat dunia karena sebenarnya dia tidak layak untuk itu sebab Obama –menurut mereka- hanya pandai berpidato namun Actionnya jauh dari apa yang diharapkan.

So, jika hingga hari ini Kartini masih dikultuskan sedemikian rupa, itu adalah hasil rekayasa manis pihak-pihak tertentu yang ingin terus membelokkan sejarah bangsa ini yang Shahih dan asli. Belanda dan pihak-pihak yang berkepentingan mencengkeram Indonesia ingin agar generasi baru Indonesia, terutama wanitanya,supaya menjadi seperti Kartini yang jinak pada Barat, dan paham keagamaannya Pluralis alias tidak fanatik dan taat pada agamanya. Mengapa demikian? Karena Islam adalah musuh yang sangat ditakuti Barat/penjajah (seperti kata Snouck Hurgonje). Dan jika semua itu berjalan sesuai Proyek mereka, maka bangsa Indonesia ini akan tetap mudah mereka kontrol.

Jadi kesimpulan yang dapat kita tarik dari pembahasan ini adalah, ternyata jikalau kita dapat berpikir secara akal sehat maka kita akan dengan sangat yakin tuk mengatakan bahwa masih lebih layak Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika, Rohana Kudus dan tokoh-tokoh wanita pejuang lainnya yang Actionnya bagi bangsa ini telah terbukti nyata ada dan bukan hanya sekedar cita-cita/mimpi/dan Talk Only belaka yang dapat dianggap sebagai wanita pejuang dan Inspirator sejati bagi wanita. Karena kita sebenarnya lebih butuh action nyata dari seorang manusia yang ditokohkan dan bukan hanya sekedar omongan belaka.

Jika hanya karena memiliki cita-cita yang besar bagi Indonesia Kartini tlah dicap sebagai Putri Indonesia yang sejati nan mulia (seperti dalam lirik lagu di atas), lantas apa gelar yang layak disematkan kepada tokoh-tokoh wanita pejuang yang tidak hanya bercita-cita namun telah berkarya dan bergerak nyata bagi bangsa ini??? toh kalau hanya bercita-cita saja seperti Kartini, maka saya, anda dan semua rakyat negeri ini juga bisa, kan?

Sekarang terserah anda bagaimana menilai Kartini. Apakah memang masih sebegitu agungkah Kartini?

Talk Less Do More, Dont Talk More Do Less like …???

SUMBER: http://bioarabasta.blogspot.com/2013/04/pembodohan-sejarah-ala-kartinisme.html